URguide

Psikolog Ungkap 5 Penyebab Korban KDRT Sulit Lepas dari Pelaku

Izzah Putri Jurianto, Sabtu, 15 Oktober 2022 18.28 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Psikolog Ungkap 5 Penyebab Korban KDRT Sulit Lepas dari Pelaku
Image: ilustrasi perempuan korban KDRT (Foto: Freepik)

Jakarta – Bagi beberapa perempuan, terjebak dalam hubungan abusive menjadi hal yang rumit, sebab sulit bagi mereka untuk meninggalkan pasangan dan keluar dari hubungan toxic.

Ternyata, ada penjelasan dari sisi psikologis mengenai fenomena semacam ini. Kepada Urbanasia, psikolog klinis Denrich Suryadi mengungkap setidaknya ada 5 alasan mengapa wanita sulit untuk keluar dari hubungan yang abusive, walau sudah sampai mengalami KDRT dari pasangan.

1. Budaya Patriarki dan Perspektif Masyarakat

Di masayarakat indonesia sendiri, budaya patriarki sudah sangat melekat. Pandangan ini menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi daripada perempuan dalam hal apapun, mulai dari pendidikan, hukum, hingga hubungan keluarga.

Sementara itu, wanita selalu diposisikan sebagai pihak yang submisif. Padahal harusnya hubungan pernikahan merupakan persoalan kerjasama antara suami dan istri. Akibatnya, ketika mengalami perilaku KDRT, perempuan umumnya tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berdaya sebab sejak kecil, pemikiran bahwa wanita harus menurut sudah ditanamkan.

2. Pandangan Bahwa Perempuan Itu Dipilih, Bukan Memilih

Pernah mendengar ungkapan bahwa perempuan kodratnya adalah dipilih dan bukan memilih? Nah, ini adalah salah satu pemikiran yang sebenarnya keliru, Guys. Namun begitu dipercaya oleh banyak orang hingga tampaknya menjadi sesuatu yang normal.

Perempuan jadi cenderung takut untuk memutuskan sesuatu. Mereka khawatir dianggap salah, dijuluki sebagai perempuan pemberontak, tidak tahu diri, dan semacamnya. Karena itulah, perempuan seringkali terjebak dan sulit untuk keluar dari hubungan yang abusive.

3. Khawatir Merusak Nama Baik Keluarga

Ini juga menjadi faktor yang membuat perempuan sulit untuk melepaskan diri dari para abuser mereka. Bahkan sebenarnya, para perempuan ini tidak khawatir soal dirinya sendiri, melainkan tidak ingin mempermalukan keluarga.

Kita tahu bahwa terkadang image perempuan yang bercerai cenderung negatif. Kembali lagi, hal tersebut juga terjadi karena budaya patriarki. Berpisah dengan pelaku kekerasan menjadi persoalan yang rumit, karena keluarga khawatir nama baikmya akan tercoreng. Padahal, harusnya keluarga jadi tempat untuk berpulang, serta jadi pendukung bagi korban untuk memperjuangkan kebahagiaan dan keadilan mereka.

4. Latar Belakang Pendidikan

Permasalahan lain yang jadi faktor adalah latar belakang pendidikan. Korban kekerasan dengan jenjang pendidikan yang kurang tinggi, misalnya, mereka cenderung kesulitan untuk menghidupi diri sendiri. 

Secara ekonomi, perempuan selaku korban juga harus bergantung pada pasangannya. Sebagai konsekuensi, mereka dianggap tidak bisa mandiri. Hal inilah yang membuat para pelaku KDRT jadi merasa semakin semena-mena karena menganggap dirinya sendiri sebagai sosok 'penyelamat'.

5. Kesulitan Akses Bantuan Psikologis

Para korban KDRT tentunya menderita kerugian fisik, mental, dan material yang tak terkira. Mereka menderita, dan belum tentu punya tempat untuk berkeluh kesah, seperti teman atau kerabat dekat. Makanya, melakukan konseling dengan bantuan psikolog menjadi salah satu alternatifnya.

Sayangnya, beberapa perempuan tak cukup beruntung untuk bisa menikmati fasilitas konsultasi dengan psikolog. Hal ini bisa disebabkan kurangnya informasi atau finansial yang kurang memadai. Alhasil, para korban KDRT jadi memilih untuk bertahan dengan pasangannya, walau sudah sangat menderita.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait