URnews

PUKAT UGM Nilai Omnibus Law UU Cipta Kerja Bermasalah

Nivita Saldyni, Rabu, 7 Oktober 2020 13.14 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
PUKAT UGM Nilai Omnibus Law UU Cipta Kerja Bermasalah
Image: Ilustrasi demo tolak Omnibus Law. Sumber: Tribratanews Polri

Yogyakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020 itu memiliki kecacatan, baik secara formil maupun materiil.

"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya," kata Ketua PUKAT UGM, Dr. Oce Madril lewat keterangan tertulis yang diterima Urbanasia, Rabu (7/10/2020).

Menurutnya, proses pembentukan RUU Cipta Kerja (kini UU) selama ini berlangsung cepat, tertutup, dan dilakukan tanpa partisipasi publik yang maksimal.

Lewat pernyataanya tersebut, Oce menjelaskan setidaknya ada empat poin penting yang menjadi sorotan pihaknya terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja. Pertama adalah tak terpenuhinya asas keterbukaan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan.

"Pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup. Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu," jelasnya dosen Fakultas Hukum ini.

Selain itu, kehadiran UU Cipta Kerja untuk mengatasi persoalan regulasi yang tumpang tindih menurutnya tidak terjawab. Sebab menurutnya Omnibus Law hanyalah teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan jawaban atas masalah regulasi di Indonesia.

"RUU ini membutuhkan ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk dengan potensi kelahiran 'anak-anak' peraturan pelaksana di bawahnya. Justru peraturan-peraturan di bawah Undang-undang merupakan peraturan yang rawan untuk 'diselundupkan' oleh kepentingan karena minimnya kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam perumusannya," ungkapnya.

Secara substansi, ia juga menilai bahwa UU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi.

"Walaupun pada faktanya konsep desentralisasi tidak serta-merta menurunkan angka korupsi, tetapi setidaknya dapat memperluas jaring pengawasan yang melibatkan berbagai pihak," kata Oce.

"Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menyisakan persoalan tentang bagaimana memastikan control terhadap kekuasaan Presiden itu," lanjutnya.

Terkahir, Oce menyampaikan bahwa dalam UU Cipta Kerja terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi. Sebab, UU ini menghapus persyaratan 'tidak bertentangan dengan UU' yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah.

"Ini membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. Apalagi jika mencermati bahwa Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi," tutupnya.

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait