URguide

Romantisasi Depresi, Terlalu Gampang Klaim Diri 'Lagi Depresi'

Itha Prabandhani, Jumat, 4 Desember 2020 13.22 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Romantisasi Depresi, Terlalu Gampang Klaim Diri 'Lagi Depresi'
Image: Ilustrasi depresi. (Freepik)

Jakarta - Apakah kamu sering ngomong “Duh, aku depresi banget nih. Kerjaan kantor menumpuk.”? Atau, “Aku sempet depresi loh, waktu dengar kabar bakal ada bos baru yang killer banget.”

Saat ini, kata depresi menjadi terlalu mudah diucapkan untuk menggambarkan situasi yang bikin mood jelek. Padahal, faktanya, kondisi depresi mesti ditentukan dari hasil diagnosa dari ahli kejiwaan, guys.

Saking akrabnya di telinga, kata ini pun jadi lebih luas maknanya. Bahkan, jika dulu dianggap tabu atau memalukan, sekarang malah dipakai buat mendapatkan perhatian atau justifikasi atas sikapnya. Akibatnya, pemahaman atas istilah depresi pun makin kabur.

Kebiasaan inilah yang disebut dengan romantisasi depresi, guys. Dilansir The Atlantic, romantisasi depresi adalah membungkus istilah depresi dengan kondisi lain sehingga mudah dipahami, mudah dikatakan, bahkan menjadi sesuatu hal yang keren atau menarik perhatian orang lain.

Misalnya, “Gue lagi depresi nih, jadi maklumin aja ya kalau tugas gue tertunda.”

Nah, perlu kamu ketahui bahwa depresi nggak sama dengan sedih, galau, atau bad mood saja. Lebih dari itu, depresi memiliki sejumlah gejala psikologis yang dampaknya sangat mengganggu dan memberatkan penderitanya.

Jika melansir dari The Mighty, depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan suasana hati yang terus-menerus merasa tertekan atau kehilangan minat dalam beraktivitas, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup sehari-hari.

Untuk memastikan hal ini, kamu perlu berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Jadi, kamu nggak bisa dengan mudah klaim diri ‘lagi depresi’ hanya karena kamu lagi galau.

Lantas, apa sih yang mendorong banyak orang meromantisasi depresi?

Penyebabnya ada beberapa, guys. Misalnya, ingin mendapatkan perhatian, permakluman, atau perlindungan dari orang lain. Dengan mengatakan diri ‘lagi depresi’, kamu mengharapkan bahwa orang lain bisa memberi perhatian, memaklumi sikap dan perbuatan negatif yang kamu lakukan, atau melindungi kamu dari konsekuensi yang mesti ditanggung.

1607062887-romantisasi-depresi3.jpgIlustrasi depresi. (Freepik)

Selain itu, adanya figur-figur idola di luar sana, membuat dalih ‘depresi’ menjadi alibi yang bisa diterima untuk melakukan hal yang negatif. Hayo siapa yang masih sering menggunakan kalimat dari Joker yang bilang, “Orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti”, untuk memberi pembenaran atas perbuatan buruknya? Gambaran-gambaran inilah yang turut meromantisasi depresi menjadi suatu stigma yang baru.

Lebih lanjut, peran media sosial zaman sekarang juga turut mendorong munculnya romantisasi depresi ini, guys. Di media sosial, orang bebas mengungkapkan apa saja yang ada dalam benaknya dan apa saja yang sedang dialaminya, tanpa ada filter yang memastikan bahwa semua itu benar.

Media sosial semakin mengaburkan batas antara depresi yang sebenarnya, dengan yang hanya sekadar terucap. Dampaknya, semakin banyak orang yang meyakini bahwa depresi itu 'keren', umum terjadi, dan sangat ampuh untuk menarik perhatian.

Akibatnya, kisah-kisah yang dimunculkan sebagai penyebab terjadinya depresi abal-abal ini, tersebar di media sosial dan hanya berujung pada drama belaka.

Meski buat beberapa orang kebiasaan ini dipandang sebagai gurauan yang nggak serius, dampak ke depannya bisa menyesatkan loh, Urbanreaders. Salah satunya, makin banyak orang yang nggak teredukasi dengan benar tentang masalah kesehatan mental yang satu ini. Karena itu, jangan mudah bilang “Gue lagi depresi” kalau itu nggak serius, ya?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait