URnews

RUU KUHP: Suami Perkosa Istri Bisa Dibui 12 Tahun

Eronika Dwi, Rabu, 16 Juni 2021 14.24 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
RUU KUHP: Suami Perkosa Istri Bisa Dibui 12 Tahun
Image: Ilustrasi Masuk Penjara. (Freepik/Racool_studio)

Jakarta - Publik saat ini tengah ramai menyoroti Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Salah satunya terkait pasal RUU KUHP yang mengatur tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya.

Dalam Pasal 479 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

Tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:

a. Perbuatan persetubuhan dengan cara kekerasan memaksa seseorang karena orang tersebut percaya bahwa orang yang disetubuhinya itu merupakan suami/istrinya yang sah.

b. Persetubuhan dengan Anak; atau

c. Persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Kemudian, diatur pula perbuatan cabul yang dapat dipidana. Perbuatan cabul yang dimaksud tertuang dalam Pasal 479 ayat 3, berbunyi:

Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa:

a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;

b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau

c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.

Menanggapi hal ini, Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari, dengan tegas setuju terkait pasal pemerkosaan terhadap istri atau suami masuk dalam RUU KUHP.

Menurut Eva, penyusunan RUU KUHP yang benar dan komprehensif akan membantu UU lex specialis agar tidak dobel, serta tidak memberi ruang yang malah menyebabkan ketidakadilan terhadap korban, baik anak-anak, perempuan, maupun laki-laki.

"Jadi, KUHP itu pentingnya di situ karena dia sebagai payung untuk rujukan yang lain, misalnya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kini masih berupa RUU PKS)," kata Eva, sebagaimana yang dikutip dari Antara, Rabu (16/6/2021).

Lebih lanjut, Eva mengingatkan bahwa kejahatan seksual di Indonesia sudah lebih dari 20 tahun berada pada tahun emergency (keadaan darurat).

Dia menilai, kalau ada undang-undang yang tegas yang fair bagi korban, maka akan sangat membantu Indonesia keluar dari jebakan tahun-tahun kekerasan yang emergency kejahatan seksual.

"Jadi, saya mendukung pasal rudapaksa masuk dalam RUU KUHP karena ini tidak dibenarkan oleh agama maupun konstitusi demi menjunjung values kemuliaan rumah tangga," katanya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait