URedu

Sambut Hardiknas, Pakar: Profesi Guru Tak Bisa Diganti dengan Teknologi

Nunung Nasikhah, Sabtu, 2 Mei 2020 12.36 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sambut Hardiknas, Pakar: Profesi Guru Tak Bisa Diganti dengan Teknologi
Image: Ilustrasi guru. (https://www.kuningankab.go.id/)

Malang – Tahun ini, tak ada euphoria dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga telah meniadakan upacara bendera yang biasanya diselenggarakan di satuan pendidikan, kantor Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, serta perwakilan pemerintah Republik Indonesia di luar negeri.

Meski demikian, momentum hardiknas ini sudah seyogyanya jadi media refleksi oleh kita semua tentang pentingnya pendidikan dan pendidik di tengah pandemi coronavirus disease (COVID-19) seperti saat ini.

Pengamat pendidikan Universitas Brawijaya (UB) Aulia Luqman Aziz mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan selama pandemi COVID-19 ini memberikan sebuah pelajaran bahwa kegiatan belajar mengajar secara tatap muka lebih efektif dibandingkan dilakukan secara online.

"Selamanya profesi guru tidak akan tergantikan oleh teknologi. Pembelajaran penuh secara daring akhir-akhir ini banyak menimbulkan keluhan dari peserta didik maupun orang tua,” kata Luqman.

“Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat. Bagaimanapun, pembelajaran terbaik adalah bertatap muka dan berinteraksi dengan guru dan teman-teman," sambungnya.

Pria yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB tersebut mengungkapkan, dalam proses belajar mengajar secara tatap muka terdapat nilai yang bisa diambil oleh siswa.

Misalnya seperti proses pendewasaan sosial, budaya, etika, dan moral yang hanya bisa didapatkan dengan interaksi sosial di suatu area pendidikan.

Perubahan sosial yang tiba-tiba terjadi sebagai akibat merebaknya penyebaran COVID-19, kata Luqman, menyebabkan kegagapan dalam proses penyesuaian kegiatan belajar mengajar.

Dengan begitu, menurut Luqman, tidak mungkin jika sebuah pembelajaran ideal bisa dicapai di masa pandemi seperti saat ini.

"Oleh karena itu, guru dan dosen harus cepat menyesuaikan keadaan dengan mengubah target capaian, dan kemudian metode pembelajarannya,” ujar Luqman.

Jangan sampai guru dan dosen membebani siswa dengan pembelajaran  di saat siswa mengalami keterbatasan sosial dan ekonomi,” lanjutnya.

Kegagapan dalam menyesuaikan metode belajar mengajar seharusnya bisa secara efektif dilakukan jika pemerintah mengantisipasi penyebaran COVID-19 di Indonesia sejak awal.

Luqman mengatakan, jika memang belum siap dengan datangnya pandemi, maka seharusnya pemerintah memberikan kelonggaran target yang dituju.

"Siswa tidak dapat fasilitas akademik dan sosial yang memadai untuk belajar, tapi targetnya tetap. Gambarannya seperti pemain bola yang cedera kakinya, maka latihan-latihan yang  ditargetkan untuk dia otomatis dikurangi dulu hingga kondisinya normal kembali,” papar Luqman.

“Yang awalnya harus bisa nendang bola sejauh 100 meter, sekarang yang penting bisa lari-lari kecil dulu," sambungnya.

Meskipun masih banyak kelemahan dalam proses pembelajaran, namun Luqman mengakui bahwa pelajaran positif yang bisa diambil dari pendidikan di masa COVID-19 ini adalah kembalinya peran orang tua sebagai “madrasah” (tempat belajar) belajar anak.

"Fondasi penting dari segala pendidikan adalah waktu yang berkualitas yang dihabiskan oleh orangtua bersama anak2nya,” terang Luqman.

“Bimbingan, aturan, ilmu, dan wawasan yang dibagikan oleh orangtua akan banyak bermanfaat bagi sang anak," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait