URnews

Sindir 'Demam' Rapid Test, Dahlan Iskan: Ilmiah Sering Kalah dengan Bisnis

Nunung Nasikhah, Jumat, 10 Juli 2020 19.05 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sindir 'Demam' Rapid Test, Dahlan Iskan: Ilmiah Sering Kalah dengan Bisnis
Image: Dahlan Iskan. (Instagram @dahlaniskan19)

Jakarta – Rapid test saat ini tengah ‘digandrungi’ oleh banyak pimpinan wilayah di Indonesia untuk mendeteksi apakah warganya berpotensi terjangkit virus corona atau tidak.

Penggunaannya yang mudah dan instan menjadi pilihan yang menggiurkan. Maka tak ayal jika pengadaan alat tes cepat satu ini juga menjadi sumber pengeluaran anggaran negara dan daerah yang cukup besar saat ini.

Fenomena tersebut belakangan disoroti oleh Dahlan Iskan dalam media barunya, harian DI’s Way. Beberapa kali ia menulis soal fenomena yang ia sebut sebagai ‘demam’ rapid test.

Yang terbaru, ia menuliskannya dalam sebuah tulisan berjudul “Rapid Test” yang dipublish pada 9 Juli 2020.

Di sana, Dahlan Iskan menceritakan bagaimana pemerintah Sumatera Barat (Sumbar) memilih untuk tidak menganggarkan pembelian alat rapid test dengan alasan rapid test tidak bisa dipercaya.

“Di sana (Sumatera Barat) semua test dilakukan dengan PCR --swab test. Yang hasilnya praktis 100 persen bisa dipercaya,” tulis Dahlan Iskan.

Dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium Universitas Andalas Padang telah menemukan cara melakukan test swab secara cepat, hasilnya bisa diketahui dalam 24 jam, dengan kapasitas yang sangat besar yakni 3.500 sehari.

“Sudah lebih tiga bulan Sumbar melakukan itu. Sampai hari ini sudah 55.000 yang dites di sana. Padahal penduduknya hanya sekitar 7 juta. Satu laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites,” kata Dahlan.

“Karena itu tidak ada zona merah di Sumbar. Paling tinggi oranye. Itu pun hanya di satu kota: Padang. Sumbar juga sudah memutuskan akan membuka sekolah yang sudah lama mulai Senin depan. Khususnya di 4 daerah,” lanjutnya.

Bahkan, jika daerah lain malah kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai bisa menggratiskan. Misalnya untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.

“Seharusnya yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ. Tapi tidak bisa. Peraturan menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk perjalanan,” ujarnya.

Melalui harian DI’s Way, Dahlan Iskan telah bolak-balik menuliskan penemuan dokter Andani tersebut sampai tiga kali.

“Sampai sungkan. Sampai seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar,” tuturnya.

“Padahal tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain. Sayang kebaikan ini sulit menular. Kalah dengan penularan demam rapid test,” lanjutnya.

Ia mengatakan, respons dari daerah lain terhadap penemuan itu sangat minim. Begitu pula dalam skala nasional, tidak ada kebijakan yang mendukung penyebaran temuan itu.

“Padahal penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy. Dokter Andani sendiri mau membagi ilmunya itu. Secara suka rela,” tandasnya.

“Semua uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis. Pun dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya. Secara gratis,” imbuhnya.

Dokter Andani pun mengatakan bahwa penemuannya termasuk merupakan wujud jihad. Karena baginya, rakyat harus diselamatkan dari COVID-19.

Dahlan mengaku, telah banyak “promosi” soal penemuan melakukan test swab secara lebih cepat ala Sumbar itu. Namun, respon yang diinginkan tak kunjung muncul.

Ia lalu mengingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya saat memberikan tribute lecture dua tahun tahun lalu, yang mengatakan, "Sering sekali masalah ilmiah kalah dengan ego”. "Masalah ilmiah juga sering kalah dengan subyektivitas”.

“Tentu tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu. Lembaga seperti laboratorium pun seharusnya juga. Tapi begitu sulit untuk mengakui penemuan ilmiah oleh laboratorium lain,” tegasnya.

Sama halnya di laboratorium, di kalangan kampus, kata Dahlan, ego masih lebih sering tampil daripada ilmu. Termasuk dalam hal penyelamatan manusia.

“Akibatnya lebih enak ambil jalan pintas: rapid test. Tinggal beli alat. Yang bisa diimpor dengan mudah. Soal efektivitas bisa disisihkan,” terangnya.

“Dan rapid test sudah menjadi bisnis besar. Juga sudah ikut menguras anggaran publik. Siapa pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu. Yang ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait