URnews

Soal Karikatur Nabi Muhammad, Dosen UB: Kebebasan Pers yang Lewat Batas

Shelly Lisdya, Senin, 2 November 2020 14.15 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal Karikatur Nabi Muhammad, Dosen UB: Kebebasan Pers yang Lewat Batas
Image: Surat kabar Charlie Hebdo. (Ilustrasi/Al Jazeera)

Malang - Ketua Prodi S2 Komunikasi Fisip Universitas Brawijaya (UB), Rahmat Kriyantono mengungkapkan, jika negara-negara yang menganut kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan menghargai pendapat individu perlu berpikir ulang (rethinking) lagi. 

"Karena tidak ada kebebasan yang mutlak, kebebasan mesti terbatas, meskipun tidak ada yang membatasi," ujar Rahmat melalui keterangan tertulisnya, Senin (2/11).

Ia menyatakan ini terkait dengan pasca penerbitan surat kabar satir Charlie Hebdo yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad SAW.

Rahmat pun menyebutkan, peristiwa penghinaan seperti ini bukan pertama kali terjadi, dan terus berulang di beberapa negara Eropa, seperti Denmark dan Prancis.

"Kebebasan itu ada, tetapi kebebasan mutlak tidak akan pernah ada. Karena kebebasan itu pasti dibatasi sesuatu atau dibatasi kebebasan orang lain," ungkapnya.

Lebih lanjut, ia juga menilai, media massa harus paham makna kebebasan pers. Pada dasarnya, kebebasan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. 

Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.

"Kebebasan pers bukan bebas  sebebas-bebasnya. Tapi, bebas yang bertanggung jawab, yakni tanggung jawab memajukan bangsa, tanggung jawab menjaga harmoni dan keutuhan bangsa dan masyarakat dunia," terangnya.

"Kebebasan media massa wajib mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari dimuatnya berita," imbuhnya.

Untuk itu, karikatur sebagai bentuk ekspresi individi seharusnya ada batasnya. Seperti misalnya, tidak mengganggu kepercayaan umat Islam. 

"Kebebasan pers harus menghormati kebebasan beragama orang lain," tegasnya.

Menurut Rahmat, Presiden Peacis, Emmanuel Macron seharusnya meminta maaf karena telah melukai hati umat Islam

"Harus minta maaf, karena telah menyinggung umat muslim. Tapi saya juga tidak setuju juga atas aksi pemenggalan itu. Persoalan itu lebih baik diselesaikanmelalui jalur hukum," tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait