URnews

Soal Netizen Indonesia Beri Ulasan Buruk Sungai Aare Swiss, Apa Dampaknya?

Nivita Saldyni Adiibah, Selasa, 31 Mei 2022 10.15 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal Netizen Indonesia Beri Ulasan Buruk Sungai Aare Swiss, Apa Dampaknya?
Image: Sungai Aare (Pinterest/Pixels)

Jakarta - Bukan satu atau dua kali sikap netizen Indonesia jadi sorotan dunia. Kali ini netizen Indonesia menjadi perbincangan setelah memberi rating bintang satu dan komentar jelek pada kolom review Sungai Aare, Swiss di Google Maps saat proses pencarian Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril, putra sulung Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil yang hilang saat berenang di sana masih berlangsung.

Pemerhati Komunikasi Budaya dan Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan menilai sikap buruk netizen Indonesia seperti ini punya implikasi yang besar bagi masyarakat kita. Sebab jika hal itu terus menerus terjadi, bukan tak mungkin kita dikucilkan dalam pergaulan internasional di masa mendatang.

"Kita bisa dikucilkan di dalam pergaulan internasional, kerjasama-kerjasama internasional. Misalnya adik-adik kita yang bermain game saja, mungkin sudah ada stigma pemain game dari Indonesia kita seperti ini atau seperti itu. Nah kalau (perilaku) buruk terus itu akan merugikan, kita tidak bisa diterima di pergaulan internasional," ungkap Firman saat dihubungi Urbanasia pada Senin (30/5/2022).

Nah menurut Firman masalah ini merupakan tanggung jawab bersama, khususnya mereka yang paham soal etika dan komunikasi yang baik.

"Tanggung jawab tentang bagaimana beretika, komunikasi yang baik itu adalah (tanggung jawab) mereka yang memahaminya dan mereka yang lebih dewasa. Kalau di rumah maka para orang tua, kalau di sekolah maka para guru, kemudian juga secara terorganisasi yaitu negara dalam hal ini misalnya Kominfo," katanya.

Mereka-mereka inilah yang kemudian harusnya mengajarkan dan menuntun kita agar selalu memperhatikan tata krama yang berlaku secara internasional sehingga tak dikucilkan dalam pergaulan internasional. Sebab berkomunikasi dengan media sosial bisa menjangkau masyarakat internasional.

"Nah ini perlu kita ajarkan mulai dari rumah. Dari rumah saja kalau kita meminta sesuatu harus dengan sopan, kalau ngobrol juga harus penuh sopan santun. Padahal itu dengan orang yang sudah dikenal, apalagi dengan orang yang tidak dikenal atau orang baru. Itu kan harus sangat berhati-hati," jelasnya.

Firman mencontohkan, sikap netizen Indonesia yang memberi review buruk untuk Sungai Aare, Swiss di Google Maps. Menurutnya itu merupakan contoh sikap yang tak lazim dalam pergaulan internasional.

"Kalau tentang kecelakaan, siapa sih yang menghendaki negaranya jadi tempat kecelakaan? Kan kemudian mereka sibuk harus mencari korban, membuat keterangan pers dan sebagainya. Namun kemudian disalahkan, nah ini kan kemudian namanya gak lazim dalam pergaulan internasional," terangnya.

Oleh sebab itu menurut Firman bukan hanya cara kita menggunakan dan memanfaatkan perangkat digital saja yang harus diperbaiki di negeri ini. Namun cara kita berhubungan dan menjalin komunikasi dengan orang lain secara langsung atau tatap muka juga harus diperbaiki.

"Sebelum literasi digital, yang juga harus diperbaiki ya berelasi secara tatap muka. Itu harus beres. Budaya untuk mengekspresikan diri dengan cara yang baik, menghargai orang lain, beretika dan sebagainya itu harus beres," ujarnya. 

Namun upaya ini tak bisa dilakukan hanya satu atau dua tahun. Kita harus terus melakukannya karena akan selalu ada tantangan baru yang bakal kita hadapi.

"Ini harus terus menerus dilakukan karena tantangannya berubah-ubah setiap hari. Hari ini mungkin orang menganggap platform digital lebih untuk mendapatkan keuntungan dan sebagainya. Kemudian nanti ke depan mungkin untuk medium kampanye politik. Nah itu semua perlu penyesuaian, perlu pengetahuan yang semakin luas untuk menggunakannya secara tepat," pesan Firman.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait