URnews

Soal Pertanyaan TWK Pegawai KPK, Ray Rangkuti: Banyak Irrelevant

Nivita Saldyni, Senin, 31 Mei 2021 15.53 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Soal Pertanyaan TWK Pegawai KPK, Ray Rangkuti: Banyak Irrelevant
Image: Ilustrasi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (Dok. KPK)

Jakarta - Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti menyebut ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak relevan di tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara (ASN). 

"Saya kira banyak sekali itu pertanyaan-pertanyaan yang irrelevant dengan tes itu," kata Ray saat dihubungi Urbanasia, Senin (31/5/2021).

"Jadi misalnya pilih Pancasila apa Al-Quran. Itu kan menjawabnya bagaimana? Pilihannya cuma dua, kalau pilih Al-Quran, 'Loh kok saya kaya ninggalin Pancasila'. Nanti kalau saya pilih Pancasila, 'Kok saya seperti ninggalin Al-Quran?'. Dilematik menjawab yang seperti itu karena pertanyaannya cuma pilih dua, pilihan Al-Quran atau Pancasila," ungkap Ray lebih lanjut.

Hal ini menurut Ray sama halnya jika seseorang muslim ditanya apakah dia melaksanakan salat dengan membaca doa qunut atau tidak. 

"Nah apa yang mau dicari dari pertanyaan itu? Kalau saya qunut, apa lebih nasionalis? Kalau saya nggak qunut, tidak nasionalis? Padahal itu perbedaan mazhab saja di dalam Islam dan itu tidak menunjukkan kecintaan terhadap republik, kan?" ungkapnya.

"Banyak lah soal, kamu sudah kawin apa belum? Kalau kamu dulu pacaran bagaimana? Itu pertanyaan genit-genitan saja menurut saya, nggak (ada) korelasi dengan wawasan kebangsaan seseorang," tegas Ray.

Untuk itu Ray pun menanyakan, sebenarnya siapa yang ingin didengar pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi hingga saat ini sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi, pernyataan dari puluhan akademisi dari Koalisi Guru Besar Antikorupsi, sejumlah organisasi agama, hingga aktivis yang ikut menyuarakan soal masalah tersebut.

"Itu kan sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua sudah ada pernyataan saya kira lebih dari seratus akademisi, profesor, doktor yang menolak ke sini. Kaum intelektual. Belum lagi para aktivis dan macam-macam yang menyatakan bahwa tes itu tidak patut. Belum lagi media yang jungkir balik juga memberitakan protes itu. Sekarang tinggal pemerintah, dalam hal ini Presiden. Beliau ini mau mendengarkan siapa?" ungkap Ray.

Belum lagi, Ray juga menyinggung soal ratusan pegawai KPK yang lolos TWK meminta agar pelantikan pegawai KPK jadi ASN ditunda.

"Apalagi sekarang lebih dari setengah yang dinyatakan lolos itu juga meminta supaya ditunda dulu deh pelantikannya. Itu kan artinya bahasa yang lain mereka juga merasa ada sesuatu dalam tes itu yang membuat 75 orang ini dan sekarang 51 orang ini diperlakukan tidak wajar," imbuhnya.

Selain itu, permasalahan lain yang menurut Ray juga muncul dalam hal ini adalah etika. Menurutnya, tes TWK yang ingin menilai sejauh mana wawasan kebangsaan yang dimiliki pegawai KPK itu malah minus etika kebangsaan.

"Menurut saya tes wawasan kebangsaan ini minus etika kebangsaan. Kenapa? Lagi-lagi dengan faktor yang pertama, kalau sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi supaya pegawai-pegawai ini gak boleh dirugikan dari perubahan undang status KPK itu. Kedua juga ada pernyataan ratusan profesor, doktor, yang menyatakan bahwa tes kebangsaan itu tidak tepat,” ungkapnya.

“Sudah ada tiga organisasi keagamaan, NU, Muhammadiyah, dan PGI yang menyatakan bahwa tes itu juga tidak tepat untuk melihat dan menguji wawasan kebangsaan seseorang. Juga sudah ada presiden, bahwa tes wawasan kebangsaan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk memecat atau memberhentikan 75 pegawai itu," jelasnya panjang lebar.

Sehingga, menurut Ray, jika KPK tetap memaksakan kehendak untuk memecat 75 pegawainya yang tak lolos TWK, maka patut dipertanyakan etika mereka.

"Jadi kalau tadi presiden mau dengar siapa, sekarang etika mana yang mau dipakai oleh BKN, Kemenpan RB, dan KPK?" ungkap Ray.

"Kalau sudah sedemikian banyak, mereka tetap memaksakan pemecatan itu karena ada alasan undang-undang dan segala macam, undang-undang itu sudah dikoreksi oleh Putusan MK. Kedua, sudah ada pernyataan kaum moralis, intelektualis dari ratusan orang yang menolak itu, sudah ada pernyataan setidanya tiga lembaga organisasi keagamaan besar di republik ini, NU Muhammadiyah, dan juga PGI. Presiden juga sudah mengatakannya. Jadi jangan sampai wawasan kebangsaan itu justru meminggrikan etika kebangsaan," terangnya.

Oleh karena itu, menurut Ray jalan terbaik adalah menerima kembali 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK tersebut. Kemudian barulah dilakukan seleksi sesuai dengan jenjang dan struktur ASN di dalam undang-undang Negara Republik Indonesia.

"Oleh karena itulah sebaiknya betul semuanya dilantik jadi ASN, tinggal seleksinya patutnya mereka di mana. Jadi bukan soal ASN nya tapi posisinya mereka yang patut di mana," tutup Ray.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait