URguide

Sosok Buya Hamka: Profil, Kiprah, dan Deretan Karyanya

Urbanasia, Senin, 10 April 2023 14.29 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sosok Buya Hamka: Profil, Kiprah, dan Deretan Karyanya
Image: Buya Hamka. (PP Muhammadiyah)

Jakarta - Nama Buya Hamka belakangan santer dibicarakan. Hal ini menyusul film berjudul Buya Hamka produksi Falcon yang akan segera tayang di bioskop di seluruh Indonesia. 

Hamka adalah singkatan dari nama lengkap sang Pahlawan Nasional yaitu Abdul Malik Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan asal Indonesia.

Berikut adalah profil singkat Buya Hamka sejak masa kecil hingga menjadi seorang tokoh besar di Republik Indonesia. 

Profil Buya Hamka

Abdul Malik Karim Amrullah, lahir di Agam, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908. Ia merupakan putra dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Sitti Shafiah.

Ketika remaja, sang ayah sempat mendaftarkannya ke Thawalib Sumatra yaitu sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Namun, pada tahun 1922 ia memutuskan pindah ke Jawa Tengah dan belajar tentang pergerakan Islam modern ke sejumlah tokoh, salah satunya H.O.S Tjokroaminoto.

Setelah cukup lama merantau, Hamka kembali ke Padang Panjang dengan fokus mengurus Persyarikatan Muhammadiyah di sana.
Dikarenakan pada masa itu ia belum bergelar diploma, Hamka melanjutkan pendidikan bahasa Arab sekaligus belajar mengkaji lebih dalam ilmu agama Islam ke Mekkah.

Kemudian atas saran Agus Salim yang merupakan salah seorang temannya dari Indonesia yang juga berada di Mekkah, Hamka kembali pulang ke Tanah Air untuk berkarier sebagai penulis.

Kiprah

Saat menimba ilmu di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari para penulis besar Islam. Ia mulai merambah ke dunia literatur ketika menetap di Medan dan menjadi editor majalah Islam. Dari situlah ia menjadi dikenal dengan nama pena Hamka.

Setelah pulang dari Mekkah, Hamka bekerja sebagai penulis di Majalah Pelita Andalas, Medan, Sumatra Utara. Ia pun banyak membuat karya tulisan dan artikel selama di sana.

Pada 1928, Hamka diangkat sebagai redaktur majalah Kemajuan Zaman yang didasarkan pada hasil mufakat Muhammadiyah di Padang Panjang.

Kariernya semakin meluas setelah terpilih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975 dan menjabat selama 5 tahun.

Tahun-tahun sebelumnya ia juga pernah memimpin anggota Majelis Darurat pada masa pendudukan Jepang untuk menangani persoalan pemerintahan dan Islam.

Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada Hamka dan sejak 2011 ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Karya-karya Buya Hamka

Buya Hamka banyak meneliti karya-karya pujangga besar dari Timur Tengah. Ia juga adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan yang mahir berbahasa Arab.

Saat bekerja di majalah, ia merilis karya tulisan pertama bertajuk Chatibul Ummah yang berisi kumpulan pidato dari yang pernah didengarnya di Surau Jembatan Besi.

Kemudian ada Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Dalam bagian isinya terdapat ceramah atau kuliah subuh yang pernah ia sampaikan di Masjid Agung Al-Azhar sejak 1959.

Lahir dan besar di tanah Minang membuatnya banyak tahu akan adat dan tradisi di sana, sehingga terbitlah berbagai novel nya dengan latar tanah dan budaya Minang.

Di antara banyaknya karya-karya yang Buya Hamka tulis, empat karya ini menjadi karya paling populer yang dimilikinya:

1. Di Bawah Lindungan Ka’bah

Diterbitkan pada tahun 1938, buku ini menceritakan tentang Hamid seorang muslim kelahiran Minangkabau yang hanya dibesarkan oleh ibunya. Hamid disekolahkan oleh Haji Ja’far bersama anak perempuannya yang bernama Zainab.

Ketika menamatkan pendidikannya di Hindia Belanda mereka mulai menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Meski begitu, tidak ada yang berani untuk mengutarakan perasaan mereka satu sama lain.

Hamid pun memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Sejak saat itu, mereka hidup sendiri-sendiri sampai akhirnya takdir mencoba untuk menyatukan mereka berdua.

2. Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Buku yang diterbitkan pada tahun 1938 ini mengisahkan tentang persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih, Zainudin dan Hayati, hingga berakhir dengan kematian. 

Dalam buku ini Hamka mengkritik tentang isu kawin paksa di masyarakat pada saat itu.

3. Merantau ke Deli

Dalam novel Merantau ke Deli, lagi-lagi Buya Hamka mengkritik adat dan budaya dari Minangkabau. 

Mengisahkan perkawinan campuran antara perempuan Jawa, Poniem dengan seorang laki-laki Minang, Leman. Poniem adalah seorang kuli perkebunan di Deli.

Selain itu, Poenim juga menjadi istri peliharaan mandor dan berniat ingin keluar dari jeratan kehidupan yang berat dan hina itu. Poenim akhirnya melarikan diri dari perkebunan dengan mengikuti Leman, dan bersumpah untuk sehidup semati dengannya.

Mereka sempat hidup bahagia. Namun, takdir menginginkan hal lain, Leman dipaksa untuk menikahi gadis yang berdarah Minang.

4. Tuan Direktur

Terbit pada tahun 1939. Novel ini menceritakan tentang seseorang bernama Jazuli, yang meninggalkan kampung halamannya di Banjarmasin untuk bekerja menjadi pedagang emas di Surabaya.

Jazuli, yang semulanya rendah hati dan taat agama berubah menjadi sombong dan materialistis setelah ia sukses dengan bisnis emasnya. 

Hal ini membuat Jasin, menolak tanahnya dibeli oleh Jazuli untuk membangun pabrik, meskipun ia diberikan uang yang sepadan.

Jasin sangatlah berbeda dengan Jazuli, ia sangat rajin ibadah tekun sampai menjadi kaya raya, hingga membantu orang lain menjadi pengusaha.

Jasin pun menjadi korban takhayul dari seseorang bernama Kadri yang berniat menjatuhkan karir Jasin dengan melaporkannya kepada polisi dan menuduhnya telah mengadakan rapat rahasia. 

Polisi mempercayai Kadri, hingga akhirnya Jasin dan Jazuli yang sedang berada di dalam satu rumah ditangkap dan dibawa oleh polisi. Jazuli pun stres dan mengalami depresi ketika itu hingga jatuh sakit.

Buya Hamka meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait