Lagi Jadi Tren Fashion, Budaya Thrifting Sudah Ada Sejak Akhir Abad 19
Jakarta - Urbanreaders, udah tau belum apa itu thrifting? Kalau secara bahasa Thrift diambil dari kata thrive yang berarti berkembang atau maju.
Sementara kata-kata thrifty diartikan sebagai cara menggunakan uang dan barang lainnya secara baik dan efisien.
Dari situ, bisa diartikan bahwa thrifting adalah kegiatan membeli atau berburu barang bekas. Saat ini, kegiatan thrifting bisa dilakukan oleh kaum muda atau milenial.
Baca Juga: 5 Prediksi Tren Fashion 2021, Ada yang Baru?
Pasalnya, kamu bisa tetap tampil fashionable dengan low budget. Mencegah kantor biar nggak kering banget.
Nah, tahukah kamu ternyata thrifting bukan sebuah tren yang baru 1-2 tahun terjadi loh. Nyatanya, kegiatan ini sudah hadir sejak 1 abad yang lalu, tepatnya saat revolusi industri terjadi.
Berikut ulasan mengenai awal mula thrifting yang dilansir dari portal Time, Kamis (19/11/2020).
Berawal dari Tahun 1760 – 1840
Sumber: Revolusi Industri di Amerika tahun 1760 – 1840. (Foto: Welgos via history.com)
Pada akhir abad ke-19, terjadi revolusi industri yang memperkenalkan mass-production of clothing (produksi massal pakain). Sebuah kegiatan yang mengubah cara pandang masyarakat saat itu mengenai dunia fashion.
Kala itu, harga pakaian baru sangat murah dan terjangkau sehingga masyarakat menganggap pakaian adalah barang sekali pakai lalu dibuang (disposable).
Seiring dengan pertumbuhan populasi perkotaan, hal tersebut membuat ukuran ruang hidup menyusut dan banyak barang-barang yang dibuang menjadi menumpuk. Biasanya barang-barang bekas itu akan diambil dan dipakai oleh para imigran.
Melihat fenomena itu, membuat komunitas Gereja Protestan, Salvation Army memutuskan untuk fokus mengumpulkan barang-barang yang tidak terpakai tersebut menjadi sebuah donasi.
Salvation Army membagikan barang-barang tak terpakai tersebut kepada mereka yang kurang mampu.
Di tahun 1897, Salvation Army mengeluarkan sebuah shelter bernama 'Salvage Brigade', sebuah pengumuman bagi orang-orang yang merasa sudah kelebihan pakaian dan menumpuk bisa disumbangkan ke Salvation Army.
Penduduk lingkungan biasanya berkeliling dengan gerobak dorongnya untuk meminta pakaian bekas. Tidak hanya pakaian, komunitas ini juga membagikan makanan dan layanan sosial lainnya.
Berlanjut tahun 1920 an
Pada tahun ini, Amerika mengalami krisis besar-besaran. Banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, dan tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membeli pakaian baru saat itu.
Akibatnya, ide untuk memilih alternatif untuk berbelanja adalah di thrift shop (toko barang bekas). Pada masa itu, thrift store dikategorikan sebagai department store.
Goodwill Industries misalnya, salah satu thrift shop terbesar di Amerika yang memiliki stok lebih dari 1.000 pakaian dan peralatan rumah tangga.
Pada 1935, ada hampir 100 toko Goodwill di seluruh negeri, dan toko barang bekas menghabiskan setengah dari anggaran tahunan Salvation Army saat jatuhnya pasar saham tahun 1929.
Semakin Berlanjut ke tahun 1970an
Di tahun ini ada Buffalo Exchange yang menjadi thrift shop pertama yang besar dan sukses. Buffalo Exchange memiliki berbagai cabang di Amerika dengan total cabang mencapai 49 gerai.
Di Buffalo Exchange pengunjung dapat melakukan berbagai transaksi, seperti menukar, membeli, ataupun menjual barangnya.
Tahun 1990an, Era Kurt Cobain
Sumber: Kurt Cobain. (Foto: Frank Micelotta via TIME)
Pada masa Kurt Cobain sedang jaya-jaya nya, yaitu tahun 1990 an, penampilannya secara tidak sengaja mempromosikan thrifting style. Pasalnya, pada masa itu Kurt Cobain bisa dibilang panutan setiap remaja.
Kurt Cobain seolah mempopulerkan thrifting style lewat gaya khasnya yang kerap tampil mengenakan jeans bolong, flannel shirt, dan lapisan atau layering yang cukup banyak.
Dia juga beberapa kali tampil dengan kaos atau kemeja yang sudah bolong-bolong. Dari situ, untuk mengikuti mode Kurt Cobain, orang-orang mencarinya di thrift shop karena barang-barang tersebut tidak ada di retail shop.
Saat Ini
Sumber: freepik
Menurut laporan IBISWorld, saat ini thrift shop adalah bagian dari industri besar yang bernilai hingga US$ 14,4 miliar atau sekitar Rp 205,149 triliun.
Studi tentang preferensi konsumen pun menunjukkan bahwa kaum milenial suka berbelanja dan bangga menggunakan barang bekas karena mereka begitu menikmati proses mendapatkannya.
Di Indonesia pun industri thrifting saat ini sudah meningkat tajam loh.