URstyle

Takotsubo Cardiomypathy, Sindrom Patah Hati yang Meningkat saat Pandemi COVID-19

Kintan Lestari, Jumat, 17 Juli 2020 14.33 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Takotsubo Cardiomypathy, Sindrom Patah Hati yang Meningkat saat Pandemi COVID-19
Image: Ilustrasi sindrom patah hati. (Freepik)

Jakarta - Berdiam diri di rumah selama pandemi COVID-19 sangat dianjurkan. Namun dalam pelaksanaannya, imbauan tersebut membuat beberapa orang stres dan merasa cemas.

Akibat stres emosional selama pandemi, ilmuwan menyatakan ada peningkatan penderita 'Sindrom Patah Hati (Broken Heart Syndrome)'. Apa itu?

Melansir Medical News Today, stres kardiomiopati (cardiomyopathy), yang juga disebut Takotsubo cardiomyopathy dan broken heart syndrome, terjadi sebagai respons terhadap stres fisik atau emosional.

Itu adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh stres emosional atau fisik yang hebat yang menyebabkan disfungsi jantung yang cepat dan parah. Ilmuwan menyatakan gejala yang ditunjukkan mirip dengan serangan jantung, termasuk nyeri dada dan sesak napas. Namun tidak ada yang menghalangi arteri koroner.

Meskipun para ilmuwan tidak tahu mekanisme pasti yang mendorong sindrom ini, beberapa percaya bahwa hormon stres mungkin mengganggu kemampuan jantung untuk memompa darah secara memadai.

Untuk menyelidiki masalah ini, peneliti Cleveland Clinic menyelidiki catatan medis retrospektif. Mereka mengidentifikasi individu yang tiba di rumah sakit dengan gejala sindrom koroner akut (ACS).

ACS (Acute Coronary Syndrome) adalah istilah umum untuk situasi di mana otot jantung menerima suplai darah yang berkurang dari arteri koroner. ACS termasuk serangan jantung dan angina tidak stabil.

Para ilmuwan mengambil data pasien dari dua rumah sakit di Ohio, Amerika Serikat, pada bulan Maret-April 2018, Januari-Februari 2019, Maret-April 2019, dan Januari-Februari 2020, yang merupakan kelompok kontrol. Mereka membandingkan ini dengan data dari Maret-April 2020.

Total orang yang menderita ACS di rumah sakit tersebut sebanyak 1.914 orang. Dari jumlah tersebut, 1.656 kasus terjadi sebelum pandemi, dan 258 selama pandemi. Semua individu dengan ACS yang berada di rumah sakit selama pandemi diuji dan hasilnya negatif corona.

Selama analisis, peneliti menemukan peningkatan yang signifikan dalam kejadian stres kardiomiopati pada pasien dengan ACS selama periode COVID-19.

Dalam sampel pra-COVID, stres kardiomiopati menyumbang 1,5% -1,8% dari pasien, tetapi pada kelompok Maret-April 2020, dokter mencatat stres kardiomiopati pada 7,8% pasien.

Meskipun tidak ada perbedaan antara tingkat kematian, para peneliti mencatat bahwa individu dengan stres kardiomiopati selama pandemi secara signifikan lebih lama tinggal di rumah sakit daripada orang-orang sebelum pandemi.

Tidak adanya individu dalam kelompok studi yang positif COVID-19, penulis percaya ini mendukung teori bahwa tekanan psikologis selama pandemi meningkatkan risiko stres kardiomiopati.

Namun, data ini sifatnya terbatas. Pasalnya penelitian ini hanya melibatkan individu dari Ohio bagian timur laut. Dan juga kemungkinan pasien tidak ke rumah sakit karena gejalanya tidak parah.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait