URtech

Zaman Media Sosial, Zaman Matinya Realitas

Firman Kurniawan S, Senin, 7 November 2022 17.57 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Zaman Media Sosial, Zaman Matinya Realitas
Image: Ilustrasi - Media sosial. (Freepik)

TAK mudah menjelaskan realitas dalam pengertian yang tepat. Manakala kata ini diberi contoh: pohon di samping tempat saya duduk, kursi tempat saya menempatkan tubuh, angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah saya, serta kicauan burung yang memperdalaman lamunan saya, maka apakah kesedihan, kegembiraan, kesejahteraan, kesengsaraan, keadilan, kezaliman, kebanggaan, rasa malu, tak termasuk dalam pengertian kata itu?

Yang disebutkan dalam golongan pertama bersifat kasat mata, sedangkan yang berikutnya, alih-alih kasat mata, pikiran pun tak seragam memahaminya. Pada kelompok kasat mata, yang terwadahi hanya yang material: dapat ditangkap panca indera, dapat diukur, sering jadi sasaran dimodifikasi dan dapat dibuktikan keberadaannya. Sedangkan yang berikutnya bersifat substantial. Tak material.

Adanya dua modus realitas itu, diikuti terbelahnya kelompok pemikir, jadi dua aliran juga. Pertama realisme. Kelompok ini menyebut realitas sebagai hal yang kasat mata, hadir lewat panca indera. Sedangkan yang kedua, idealisme. Kelompok ini memberi pengertian realitas, sebagai yang hadir di dalam pikiran. Nyata, dengan menghuni pikiran. Tak dituntut wujudnya.

Seandainya pun dua aliran itu berhasil didamaikan, penjelasannya masih tak mampu mewadahi realitas jenis yang ketiga. Hal-hal semacam surga, neraka, dosa, pahala, takdir, nasib. Terhadap jenis yang ini, jangankan wujudnya yang sempat mampir di panca indera, bahkan pikiran pun jarang menjangkaunya. Kecuali ketika diulas oleh para pemuka agama. Karenanya, realitas ketiga ini sering disebut sebagai realitas agama. Bersifat supra inderawi, tak terjangkau oleh akal budi, keberadaannya dijangkau oleh keyakinan.

Maka, ketika sekarang ketiga modusnya digabungkan, spektrum realitas mulai dari yang material, yang substantial, hingga yang suprainderawi-supraakali. Dari yang hadir berupa materi hingga yang dibangun oleh keyakinan. Dengan keluasan cakupan itu, lebih jelaskah realitas? Tidak. Tetap membingungkan.           

Terhadap kebingungan ini, duet Sosiolog Amerika: Peter L. Berger dan Thomas Luckmann lewat bukunya yang terbit di tahun 1966, ‘The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociologi of Knowledge’, menjelaskan apa itu realitas. Juga, bagaimana realitas hadir sebagai pengetahuan. Mengingat penjelasannya yang bukan saja menguraiakan soal realitas, buah pikiran Berger dan Luckmann sering digolongkan sebagai sosiologi pengetahuan.

Begini uraian Peter L. Berger dan Thomas Luckmann: realitas yang mewujud sebagai pengetahuan, ditangkap manusia lewat kesadaran yang dimilikinya. Merujuk pada Filsuf Edmud Husserl, Berger maupun Luckmann menyebut, kesadaran manusia selalu terarah pada sesuatu.

Kesadaran, yang diterjemahkan secara sederhana sebagai keadaan terjaga, tak pernah ada dalam keadaan kosong. Manusia meresapi dinginnya ruang yang ditempatinya atau lezatnya makanan yang disantapnya. Juga meresapi, cemasnya batin oleh ancaman resesi akibat krisis pangan maupun energi. Kesadaran selalu terarah. Tak mungkin terjaga, dengan tak menyadari sesuatu.

Dalam kategori obyek kesadaran, yang dapat disadari manusia terdiri dari banyak hal. Namun dalam praktiknya, keterarahan itu terbatas obyek kesadaran tertentu. Itu mewujud sebagai obyek yang dapat bersifat jasmaniah maupun batiniah.

Obyek kesadaran yang kehadirannya nampak terserak, sesunguhnya tertata sebagai lapisan-lapisan. Pada lapisan utamalah, kesadaran terarah. Atau berlaku juga, kesadaran terarah pada obyek kesadaran yang utama. Yang lain hadir, namun terabaikan.    

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait