URnews

Runtuhnya Kebenaran dan Matinya Akal Sehat

Firman Kurniawan S, Senin, 24 Oktober 2022 16.36 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Runtuhnya Kebenaran dan Matinya Akal Sehat
Image: Ilustrasi. (Freepik)

ANEKA malfungsi yang menjangkiti media sosial, tak menihilkannya dari manfaat yang diperoleh para pengguna. Manfaat itu contohnya, adanya unggahan yang memuat perilaku guru memukul dan menendang muridnya di Poso pekan lalu.

Memang bukan peristiwa  pertama yang beredar di media sosial. Peristiwa kekerasan di ruang kelas, di rumah tangga, di tempat kerja, yang dipicu oleh ketimpangan relasi kuasa, kian kerap terjadi. Cerita ‘guru ngamuk’ yang entah disebabkan oleh pikiran buruk apa, akhirnya berujung damai. Ini setelah diadakan pertemuan pejabat sekolah dengan keluarga siswa.

Nampaknya ada peran media sosial. Unggahan yang memuat kesewenang-wenangan itu, tersebar luas dan menimbulkan tekanan pada sekolah maupun guru pelaku kekerasan, untuk segera mencari penyelesaian.  

Cerita yang serupa, juga jadi perhatian publik lantaran unggahan media sosial. Ini ketika terjadi perbedaan sudut pandang, antara polisi yang dituduh pungli dengan pengemudi yang melanggar aturan.

Pihak pengemudi mengunggah keadaan dirinya, yang mengaku jadi korban pungli. Sebaliknya pihak polisi, lewat keterangan juru bicaranya, justru merasa jadi korban pembuatan konten oleh pihak lain. Peristiwa ini terjadi di jalan Tol Lebani Gresik, beberapa saat lalu.

Perkara saling tuduh dan menyalahkan ini menemukan titik temu, setelah masing-masing pihak berdasar sudut pandangnya mengungkap peristiwa yang dialami lewat media sosial.

Masih banyak penyimpangan-penyimpangan perilaku, yang terkuak berkat media sosial. Ibarat satu gelas kopi dengan ampas di bagian bawahnya, media sosial adalah sendok pengaduk. Sendok yang mengangkat endapan ke permukaan gelas.

Memang kopinya jadi tak enak kalau langsung diminum. Tapi terangkatnya endapan, mengundang perhatian: ada bagian yang perlu dipisahkan, agar mendapatkan kenikmatan utuh.

Media sosial adalah sendok pengaduk kestabilan. Ia mengungkap peristiwa-peristiwa yang mengendap, luput dari mata yang memperhatikan. Keadaan memang sementara jadi tak enak. Mental publik tak nyaman oleh terkuaknya penyimpangan. Namun dengan memberi perhatian pada penyimpangan, situasi dapat diperbaiki.

Lewat perdebatan sengit di antara warga media sosial, tercipta sintesa norma. Ini memunculkan pembelajaran, keadaan diperbaiki lewat konsensus berperilaku patut. Walaupun tak jarang juga, masing-masing pihak tetap mempertahankan pendapatnya. Memilih tak sepakat.

Dalam skala tertentu, media sosial berfungsi jadi pengawas publik. Baik publik pengguna media sosial, maupun yang tak menggunakannya. Mata publik yang  diberdayakan oleh kamera smartphone, tak ubahnya sensor yang mencatat tindakan-tindakan yang tak patut. Ini kemudian dilaporkan pada publik yang lebih luas.

Walaupun tanpa kewenangan, pengawasan lewat media sosial mampu menekan subyek dalam unggahan, agar berperilaku patut. Media sosial malih wujud, jadi sensor pengawas paling sigap. Sayangnya, fungsi pengawasan bisa mendatangkan rasa tak nyaman. Saat tak jelas lagi, batas menjalankan kewenangan mengawasi: masih urusan publik atau sudah urusan domestik.

Fungsi pengawasan media sosial, terwujud sejalan hak bersuara yang tersematkan bagi seluruh penggunanya. Sirkuit kebebasan, produksi-distibusi-konsumsi, konten, sebagai relasi bersuara-menyimak suara, jadi rangkaian yang akhirnya mengendalikan perilaku publik.

Baca Juga: Pengalihan Isu

Ini sesuai uraian Kalev Leetaru, 2018 dalam tulisannya yang dimuat Forbes, berjudul ‘Is Social Media Empowering or Silencing Our Voices?’. Pengawasan lewat terwujudnya kebebasan bersuara di media sosial, contohnya terjadi dalam relasi publik dengan pemerintahan di Negara-Negara Arab.

Manakala dari pengawasan didapati penyimpangan, pengguna media sosial mengunggah gugatan seraya menggalang dukungan. Bentuknya jaringan yang tak terbatas. Bahkan dapat melampaui batas negara. Ini dapat menekan pemerintah.

Namun respons akibat tekanan, tak selalu sesuai harapan. Pemerintah yang tak berpengalaman dengan kekuatan media sosial, tak menggubris solidaritas virtual. Dianggapnya, akumulasi emosi di media sosial, tak ada relevansinya dengan dunia nyata. Itu semua terbukti keliru.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait