URtainment

Kenikmatan Menonton, Mempertontonkan dan Ditonton

Firman Kurniawan S, Senin, 1 Agustus 2022 17.56 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kenikmatan Menonton, Mempertontonkan dan Ditonton
Image: Citayam Fashion Week (Foto: AntaraNews/HafidzMubarak)

Dalam tulisannya 'The Strong need to be Seen and Why it Matters', Luminita D Saviuc, 2020, menguraikan salah satu kebutuhan terbesar manusia, adalah kebutuhannya untuk dilihat. Termasuk dalam pengertian dilihat adalah ditonton. Menurutnya, dengan ditonton walaupun tak selalu kasat mata, manusia merasa terhubung dengan manusia lain. Adanya keterhubungan ini membuat manusia tak merasa sendirian. Dalam relung kesadaran terdalamnya, manusia takut dalam kesendirian. 

Hal yang diuraikan Saviuc membawa pengertian lebih dalam, ditonton tak hanya urusan suatu episode pertunjukan. Ditonton sebagai material pertunjukan sering berarti, menampilkan diri sebagai yang lain. Kebutuhan ditonton muncul, sebagai perasaan ingin  terlihat sebagai diri, apa adanya. Relasi ditonton dan menonton menjadikan kehidupan itu sendiri adalah tontonan. Manusia di dalamnya sebagai pelaku. 

Batasan mempertontonkan diri apa adanya ini, relevan dengan fungsi dasar komunikasi. Gary P. Radford, 2005 dalam 'On the Philosophy of Communication' menyebutkan, salah satu fungsi dasar komunikasi adalah memenuhi motif ritual. Sedangkan fungsi lainnya untuk memenuhi motif transmisi. Pada komunikasi bermotif ritual, terindikasi adanya aktivitas berrelasi dengan pihak lain, namun sekedar untuk menunjukkan keberadaan diri. Orang yang masih hidup dapat ditonton. Demikian pula menonton orang lain, untuk menyaksikannya masih hidup. Cakupan tontonan sebatas pada pihak-pihak yang telah dikenal, dan dijalankan sebagai rutinitas. Lewat rutinitas diperoleh kenikmatan: tahu dan diketahui, diri sendiri maupun diri orang lain, masih ada.  

Lalu apa tesis sebagai penjelasan, yang terjadi di SCBD? Euphoria ini masih berlangsung jadi tontonan, tak pula berkesudahan dibicarakan. Jika dilihat asal-usul pelakunya, berawal dari lingkaran anak-anak yang berasal dari akronim CBD ~Citayam, Bojong Gede, Depok, walaupun ada anak-anak dari suburban lainnya. Motif mereka sederhana: eskapisme. Kabur dari lingkungan tinggalnya yang sumpek kurang ruang terbuka. 

Dalam eskapismenya, anak-anak ini menampilkan diri beraneka tingkah. Mulai mondar-mandir melintasi zebra cross yang diperlakukan bak catwalk bagi fashionista, duduk bercengkrama sambil menikmati minuman yang jauh dari kata mahal, apalagi mewah, hingga berkenalan dengan teman sepantaran dari daerah lain. Tak heran ada yang berujung dengan terjalinnya asmara. Mereka berpacaran. 

Sebagai anak kandung teknologi digital, representasi semua aktivitas di SCBD dihadirkan sebagai artefak budaya : konten media sosial. Konten inilah yang jadi ajang adu seru di antara SCBDers untuk menambang respon: like, komen, juga tambahan pengikut. Tak jarang pula anak-anak ini diajak oleh influencer terkenal untuk memeriahkan konten dagangannya. Karakterstik media sosial yang memberi kekuatan menular, menjadikan konten jadi tontonan yang makin luas. Bahkan mampu menggundang perhatian media negara lain. Umumnya, bernada memuji. 

Tak heran, lingkaran pelaku tontonan SCBD makin luas. Bukan hanya anak-anak yang jadi pelopor keramaian yang terus hadir. Para pejabat publik, penghuni kota Jakarta, Jakselian, pemilik brand, media gaya hidup, pengamat sosial, bahkan para pemburu keuntungan ekonomi turut hadir dan berkomentar. Tebaran aneka komentar lengkap tersedia. Mulai dari yang bernada dukungan hingga geram ingin segera menggusur keramaian. Komentar-komentar ini turut hadir sebagai tontonan. Terbentuk lingkaran kenikmatan yang makin masif, menonton, mempertontonkan dan ditonton. Tak jelas kapan dan oleh apa, bakal menemui titik jenuh. 

Jika fenomena ini dijelaskan mengikuti pandangan Luminita D Saviuc maupun Gary P Radford di atas, tak bakal jadi jawaban yang memuaskan. Untuk siapa pelaku tontonan yang lingkarannya makin besar itu mempertontonkan kehadirannya ? Apa pula perlunya para pelaku, menonton hidup pihak lain yang tak dikenal? Motif tontonan, sebagai komunikasi ritual, bertemu jalan buntu.      

Analisis berbeda dari yang dikemukakan Saviuc maupun Radford, datang dengan nada Marxian dan radikal. Uraian tentang fungsi tontonan ini, disampaikan Guy Debord dalam bukunya 'The Society of the Spectacle', masyarakat tontonan. Buku yang aslinya berbahasa Perancis ini, terbit pada tahun 1967. Ia mengemukakan, tontonan merupakan pengalih dari realitas getir yang dialami para pekerja. Kaum pekerja dalam relasi industrial tereksploitasi dan cenderung teralienasi atas hasil kerjanya. Maka demi kelangsungan proses produksi, dan memelihara kepentingan pemilik kapital, etos kerja harus tetap dipelihara. Diciptakanlah tontonan sebagai perangkatnya. Dibangun kerjasama sistematis di antara berbagai kelompok berkepentingan, mengalihkan realitas hidup yang sumpek, bersembunyi di balik tontonan.  

Tontonan dalam telaah Debord, jadi wakil bagi aneka sisi kehidupan. Hidup dikemas ulang, terepresentasi sebagai citra yang dipertontonkan: penampilan, gaya hidup, bentuk tubuh, pola konsumsi, jenis makanan, ruang hidup, iklan, maupun komodifikasi atas berbagai hal. Tak jelas lagi yang citra dan yang nyata. Dunia hadir sebagai tontonan itu sendiri. Dunia dalam rupa tontonan, jadi realitas palsu, menyembunyikan keadaan semestinya dari penonton. Lewat berbagai karya kritis terhadap relasi kapitalistik, kesadaran hidup sebagai masyarakat tontonan, bukan hal baru. Apalagi jika ini dikaitkan dengan kehadiran media sosial. 

Media kontemporer ini, menjadikan diri menonton bersamaan waktunya dengan saat ditonton. Relasi yang terbangun adalah tontonan. Hal yang mengemuka jadi kesadaran, namun palsu: pemilik akun media sosial merasa sepenuhnya menguasai perangkat ini. Mereka mampu mewujudkan kuasa produksi konten seraya mendistribusikannya, kuasa memberi penilaian, komentar, juga kuasa menonton kehidupan pemilik akun media sosial lain. Terbangun ilusi, kendali penuh dalam kuasanya. Namun tanpa disadari, yang lebih intensif justru para pemakai dikuasai oleh media sosial. Pengguna media sosial diatur pikirannya, dibentuk seleranya, disistematisasi interaksinya, bahkan diseragamkan ide-idenya. Itu semua dilakukan oleh kuasa yang besar, yang hampir tak pernah didengar, apalagi dikenal. Kuasa itu dijalankan oleh algoritma yang perkasa. 

Pada fenomena SCBD benarkah yang terjadi adalah: hadir, menonton, kadang-kadang  memproduksi tingkah para pelaku tontonan sebagai konten, seraya memuatnya di media sosial ? Ada kuasa sebagai penonton.  Lalu, apa jaminannya bahwa yang terjadi bukan, para pelaku sedang digerakkan sebagai tontonan oleh pusaran konten media sosial. Pusaran ini makin lama makin menawarkan daya tarik, sehingga asik dibicarakan tak berkesudahan? Penonton berubah peran jadi tontonan, yang mempertontonkan diri sebagai konten. Kuasa mengendalikan telah terlucuti, berubah jadi dikendalikan tanpa disadari.  

Mungkin itulah lingkaran SCBD yang makin lama makin menggembung. Tontonan yang hendak menyembunyikan realitas tak memuaskannya hidup. Ini agar etos kerja tetap terpelihara, seraya bersemangat menggerakkan roda-roda industri. 

Dengan deraan hidup yang dibayar upah tak seberapa, perlu tontonan sebagai pengalih. Yang seluruhnya dimainkan sendiri oleh para penonton. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma, menggambarkan realitas getir itu lewat, 'Menjadi tua di Jakarta'.

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Kegetiran yang hanya bisa ditepis lewat tontonan, yang dimainkan sendiri oleh para penontonnya.

**) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait