Beautydoozy

Penuh Stigma Negatif, Sepenting Apa Kesetaraan Gender di Dunia Esports

Anisa Kurniasih, Senin, 5 Desember 2022 10.21 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Penuh Stigma Negatif, Sepenting Apa Kesetaraan Gender di Dunia Esports
Image: Ilustrasi gamers perempuan. (Freepik/DCstudio)

Jakarta – Perempuan berhak untuk memperoleh hak yang setara untuk mengembangkan kompetensi dan aktualisasi dirinya di berbagai bidang, termasuk dunia esports yang kini semakin populer dan menjadi fenomena global.

Terkait hal ini, perkumpulan figur-figur perempuan yang tergabung dalam Esports Sisterhood menyuarakan pentingnya equity dan pemberdayaan perempuan di dunia esports.

Meski masih sering dipersepsikan sebagai dunianya kaum pria, kehadiran perempuan di dunia esports diharapkan mampu memberikan kesempatan agar bisa semakin berkembang, berdaya dan meningkatkan kontribusinya karena mereka memiliki potensi yang setara dengan pemain laki-laki.

Diana Sutrisno, Direktur PT Garudaku yang juga merupakan Board of Equity IESF dan inisiator Esports Sisterhood mengatakan, sangat penting untuk melibatkan peran nyata perempuan dan mendorong peningkatan kontribusinya dalam seluruh aspek kehidupan. Terlebih, kesetaraan yang diinginkan bukan bermakna sebuah kesamaan, namun kesateraan yang mengacu kepada sebuah keadilan.

“Equity yang kami serukan adalah sebuah keadilan. Bukan penyamarataan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan yang berbeda. Untuk mengoptimalkan peran perempuan, semua pihak sebaiknya memberikan dukungan sesuai dengan kelebihan dan karakteristik alami perempuan yang tentunya berbeda dengan laki-laki,” ujar Diana dalam materinya di  Sunset Talk bertajuk Equity, dikutip dari rilis resmi, Senin (6/12/2022).

Keresahan perempuan dalam dunia esports juga diceritakan oleh  Sherlintsu, streamer dan pro player asal Indonesia, dan Tiffani, Athlete Committee IESF asal Korea Selatan. 

Ia merasa seringkali kehadiran wanita dipandang sebelah mata. Bahkan, tidak divalidasi ketika mereka berada dalam satu tim dengan pria. Maka dari itu, keduanya berpendapat, perempuan harus mendapat kesempatan yang sama dalam semua bidang termasuk esports.

“Seolah kemenangan yang didapat tim semata-mata hanya hasil kerja keras para player pria. Sindiran seperti ‘numpang menang’ atau pernyataan seperti ‘di-carry doang’ (sebuah ejekan yang berarti rekan setimnya yang bermain dengan terlalu baik) juga sering didapati perempuan. 

Menurut mereka, hal itulah yang terkadang membuat perempuan merasa terdiskriminasi, meski kenyataannya mereka memiliki skill yang setara dengan pro player pria.

Sementara itu Maria, pendiri What’s The Meta (WTM), mengatakan, lingkungan dan mindset menjadi penghalang terbesar ketika perempuan berusaha masuk ke dalam dunia esports. 

Menurutnya, perempuan kerap dihantui oleh stigma-stigma yang berkembang di masyarakat bahwa mereka seharusnya berada di dapur, memasak, mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Mereka pun mengajak untuk menyepakati pentingnya membuat sebuah wadah khusus yang aman bagi perempuan agar perempuan makin mampu berkompetisi dan berprestasi di bidang esports.

“Terus berikan dukungan semangat untuk para perempuan agar tidak mudah menyerah dan terus semangat dalam membangun keyakinin diri bahwa perempuan punya potensi besar untuk berdaya, berkembang, dan berkontribusi melalui esports,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait