URtech

Keperkasaan Artificial Intelligence dan Bergesernya Makna Belajar

Firman Kurniawan S, Rabu, 18 Januari 2023 19.21 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Keperkasaan Artificial Intelligence dan Bergesernya Makna Belajar
Image: AI machine image (Foto: Wikimedia Commons)

DI PENGHUJUNG tahun 2022, McKinsey & Company, sebuah perusahaan manajemen global yang didirikan pada tahun 1926 oleh Guru Besar Universitas Chicago, Profesor James O. McKinsey, menerbitkan laporan hasil survey-nya di bidang artificial intelligence (AI). 

Laporan dengan judul ‘The State of AI in 2022—and a Half Decade in Review’ yang terbit pada 6 Desember 2022 itu, melaporkan keadaan terkini perkembangan AI global, sekaligus tinjauan 5 tahun terakhir perkembangannya. 

Disebutkan dalam laporan itu, pertama: adopsi AI meningkat lebih dari dua kali lipat. Dari pernyataan yang dikumpulkan melalui responden survey, pada tahun 2017 setidaknya telah terjadi 20% adopsi AI pada satu area bisnis. 

Namun angka itu kurang dari setengahnya jika dibandingkan pertumbuhan 5 tahun berikutnya, tahun 2022. Telah terjadi peningkatan pesat lebih dari dua kali lipat, dan pada tahun 2019 adopsi mencapai puncaknya sebesar 58%.

Kedua, perkembangan adopsi AI di atas, tak lepas dari minat investasi di bidang ini. Investasi dilakukan berbagai jenis perusahaan. Tercatat, investasi AI telah mengalami peningkatan penting. Pada tahun 2017 40% peserta survey dari organisasi yang menggunakan AI, melaporkan lebih 5% anggaran digital organisasi digunakan untuk AI. 

Pada tahun 2022, lebih dari 50% responden yang melaporkan tingkat investasi itu. Dalam rentang waktu tiga tahun mendatang, 63% responden memperkirakan investasi organisasi bakal meningkat lagi.

Ketiga, terdapat area tertentu yang merasakan nilai signifikan, dari AI yang dikembangkan. Di tahun 2018, nilai AI terutama dirasakan di area manufaktur dan risiko. Pada 2022, nilai penerapan terutama dirasakan di area pemasaran, penjualan, pengembangan produk dan layanan, hingga strategi dan keuangan perusahaan. 

Berdasar laporan responden pula, nilai tertinggi AI terjadi di area manajemen rantai pasokan. Sekitar 25% responden menyebutkan di tahun 2022 terjadi peningkatan setidaknya 5% pendapatan sebelum pajak, yang disebabkan penerapan AI di tahun sebelumnya. Hal ini konsisten dengan temuan survey dua tahun lampau.

Keempat, persoalan mitigasi risiko yang dilakukan organisasi untuk meningkatkan kepercayaan digital, tidak terlalu berkembang. Bahkan konsisten. Data tentang perkembangan teknologi mitigasi risiko ini dibanding dengan keadaan tiga tahun sebelumnya, di tahun 2019.

Yang menarik dari 4 pokok laporan McKinsey itu, pernyataan yang menyertai bahasan pertama. Disebutkan, otomatisasi proses robotik dan visi komputer menjadi yang paling umum digunakan. Namun bidang natural language speech understanding (NLU) atau pemahaman bahasa alami, perkembangannya pesat di tahun 2018. Ini membayangi perkembangan visi komputer.  

Menurut TechTarget, 2021, NLU merupakan salah satu cabang kecerdasan buatan yang menggunakan perangkat lunak komputer untuk memahami input berupa kalimat. Bentuknya bisa berupa teks yang dituliskan maupun ucapan yang disuarakan. 

NLU memfasilitasi interaksi manusia dengan komputer, bahasa alami yang dimengerti manusia. Bahasa yang lazim digunakan meliputi Bahasa Inggris, Spanyol dan Prancis. Jenis AI ini, juga memungkinkan komputer berkomunikasi timbal balik dengan manusia. 

Berdasar penjelasan TechTarget lebih lanjut, kemampuan komunikasi timbal balik ini, merupakan bentuk perkembangan NLU yang dipengaruhi NLP, natural-language processing. Di dalam NLP terdapat perangkat penerjemahan, penerima informasi, penganalisa sentimen, pengekstrak informasi, dan penjawab pertanyaan. Manakala NLP difungsikan lebih tajam, mampu menghasilkan jawaban dalam bahasa yang sesuai, disertai sentimen yang diperlukan. 

Tentu seluruhnya dihasilkan berdasar persediaan dan kualitas big data yang dimiliki. Juga ditentukan oleh kemampuan machine learning, sebagai kesatuan perangkat secara keseluruhan. Ini adalah bagian yang disebut NLG, natural language generation. Disebut demikian karena memungkinkan dihasilkannya teks bahasa yang alami. Akibat kemampuan ini, interaksi utuh manusia dengan mesin bukan lagi khayalan. Berbicara dengan mesin tak lagi hanya bisa disaksikan di film fiksi “Her”.

Uraian tentang segala macam perkembangan AI di atas jadi menarik, manakala dalam penggunaannya ternyata menghasilkan kepelikan baru. Sebuah kepelikan yang tak diduga, akibat tak dipahaminya makna peristiwa. Ini contohnya. 

The Guardian, edisi 10 Januari 2023 menerbitkan artikelnya yang berjudul ‘Australian Universities to Return to ‘Pen and Paper’ Exams After Students Caught Using AI to Write Essays’. Sebagaimana judulnya, otoritas kampus di negara itu dibuat bingung. 

Ini lantaran digunakannya perangkat AI dalam kategori NLG, untuk menjawab ujian oleh mahasiswa. Perangkat AI yang digunakan bernama ChatGPT. Jenis chatbot yang mampu menjawab berbagai pertanyaan, hingga yang mendalam. Ia Juga mampu menjawab dalam bentuk esai yang panjang. 

Aplikasi yang diluncurkan pada November 2022 ini dapat diunduh dengan gratis dan digunakan pada berbagai sistem operasi. Penulis yang mencoba menggunakannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan, memperoleh jawaban yang memuaskan. Walaupun mesin nampak bingung, ketika penulis menanyakan, ‘apa beda mediasi dengan mediatisasi?’.

 Jawabannya identik, untuk 2 substansi yang berbeda. Pertanyaan-pertanyaan lain misalnya, ‘apa problem kesetaraan gender hari ini?’ atau ‘susun uraian tentang bonus demografi’. Seluruh respon yang diberikan memuaskan.

Jika perangkat ini diandaikan seorang pengajar, ia adalah pengajar berpengetahuan luas. Pemahamannya terstuktur terhadap substansi. Ini yang membedakan dari mesin pencari Google. Istimewanya, jawaban diberikan dalam bahasa yang mudah dipahami. Layak jika kemudian menyebabkan ketakberdayaan otoritas kampus. Ketakberdayaan yang kemudian menghasilkan satu pertanyaan besar: apa itu belajar? Juga pertanyaannya bakal merembet, apa fungsi pengajar?     

Mencari pengertian belajar dengan kata kunci ‘studying meaning in’ menggunakan mesin pencari Google, akan diberi banyak tawaran, Mulai ‘studying meaning in Hindi’, ‘studying meaning in Urdu’, ‘studying meaning in Bengali’. Untuk kata yang dalam Oxford Dictionary-nya berarti ‘mencurahkan waktu dan perhatian guna memperoleh pengetahuan tentang subyek akademik, terutama melalui buku’ atau ‘melihat dari dekat untuk mengamati atau membaca’, dalam Bahasa Hindinya disebut padhate padhate. 

Ini berarti ‘membaca, belajar, hafalan, teliti’. Sedangkan pada Bahasa Urdu tertulis مطالعہ yang pengertiannya, melatih, mempertimbangkan, menggali, menguji, memikirkan, merenung, dan membaca. Dan pada Bahasa Bengali-nya disebut adhyayanarata yang artinya bersekolah, membaca sesuatu dengan hati-hati dan teliti.

Pada pokoknya, belajar dalam tinjauan praktisnya merupakan aktivitas yang bertujuan memperoleh pengetahuan. Sarananya panca indera. Perangkat ini dapat berfungsi tunggal mengumpulkan data. Mata yang membaca, menelaah kata-kata, atau telinga yang terarah, menyimak rangkaian suara. Panca indera juga dapat difungsikan berkombinasi di antara kelimanya. Mata yang membaca dan telinga yang menyimak, menghasilkan telaah. Telinga yang menyimak dan ujung jari yang meraba menghasilkan diagnosa. 

Sehingga belajar secara praktis, adalah proses memanfaatkan panca indera untuk memperoleh data. Aktivitas ini akan diteruskan akal pikiran dan perasaan, mengolah data jadi informasi. Terdapat proses kognitif maupun afektif yang kompleks. Pengetahuan sebagai hasil akhirnya, merupakan perpaduan informasi yang relevan. Dalam teorinya, pengetahuan yang dihasilkan dari belajar, menghasilkan perilaku, psikomotorik yang konsisten. 

Keseluruhan perilaku hasil belajar membedakannya dengan perilaku orang yang tidak belajar. Indikasi inilah yang jadi evaluasi hasil belajar: perubahan perilaku. Namun dalam realitasnya, sering yang dievaluasi sebatas pengetahuan yang tersimpan di kepala, sebagaimana yang terjadi di universitas-universitas di Australia di atas. 

Juga di banyak institusi pendidikan di dunia. Walaupun tentu saja, evaluasi pengetahuan didasarkan kriteria tujuan belajar. Tentang hal ini, ilmuwan pendidikan, Benyamin S. Bloom, M.D. Engelhart, E.J. Furst, W.H. Hill dan D.R. Krathwohl, 1956 telah menyusun klasifikasi pengetahuan berdasarkan tujuan belajar, lewat bukunya, ‘Taxonomy of Educational Objectives:The Classification of Educational Goals’.

Ketika fokus pengukuran perubahan perilaku sebatas pengetahuan yang tersimpan di kepala. makna belajar benar-benar menemui kepelikannya. Perubahan perilaku diindikasikan lewat jawaban atas pertanyaan pengajar. Jawaban benar, menunjukkan perubahan sikap yang memadai. Jika terus berlangsung, maka pertanyaan berikutnya, perubahan perilaku apa yang belum diserap AI? 

AI telah diisi big data yang mampu menjawab semesta tanya, soal perubahan perilaku. Jika argumentasi selanjutnya: pengetahuan itu tersimpan pada AI, tidak melekat pada pelaku belajar. Hanya soal waktu AI dapat ditanam dalam tubuh manusia. AI yang berisi big data pengetahuan. Lalu apa belajar tak relevan lagi, lantaran perangkat berisi pengetahuan dapat ditanam pada tubuh manusia?

Jadi belajar di era AI itu apa? Ini mengingatkan pada buku yang ditulis Erich Fromm, 1997, dengan judul, ‘To Have or To Be?’, mempunyai atau menjadi. Belajar itu untuk mempunyai atau menjadi? Berpengetahuan artinya, punya pengetahuan atau berperilaku sesuai pengetahuan? Nampaknya evaluasi hasil belajar harus diubah secara radikal, bukan?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait