URedu

Dirjen Kemendikbud: IPK Bukan Penentu Kesuksesan

Shelly Lisdya, Kamis, 4 Maret 2021 11.03 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dirjen Kemendikbud: IPK Bukan Penentu Kesuksesan
Image: Ilustrasi wisuda/Pixabay

Jakarta - Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Wikan Sakarinto menegaskan, jika Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) bukanlah penentu kesuksesan di masa depan.

“Kalau IPK itu adalah jaminan sukses, itu salah. IPK tinggi ya itu memang harus tinggi. Kalau IPK-nya tidak mencukupi maka dia akan kesulitan untuk ditelepon untuk dunia kerja,” ujarnya seperti dikutip dari laman UNS, Kamis (4/3/2021).

Lebih lanjut, Wikan mengatakan, langkah terpenting yang harus diambil perguruan tinggi adalah membekali mahasiswa dengan kompetensi yang mumpuni sebelum masuk ke dunia kerja.

Hal yang harus dipersiapkan di dunia kerja, dikatakan Wikan adalah para lulusan harus mengutamakan komampuan kognitif, soft skill, dan karakter.

“Competent atau kompetensi ya itu bukan sekadar mengandalkan ijazah kompetensi. Itu gabungan antara kognitif, soft skill, dan karakter. Tapi, setelah nanti diterima (red: di dunia kerja) maka yang akan berfungsi selamanya yaitu soft skill,” jelasnya.

Hingga saat ini, memang masih banyak lulusan yang menganggap IPK sebagai penentu kesuksesan, terlebih gaji tinggi. Padahal, para dunia industri banyak mengeluhkan kualitas lulusan perguruan tinggi yang dinilai kurang tahan terhadap tekanan saat bekerja.

“Ada data komplain dunia kerja kepada lulusan yang semuanya dikomplain itu adalah kurang dapat berkomunikasi, kurang dapat bekerja sama atau team work, kurang inisiatif, dan mudah bosan,” ungkapnya.

Guna mengatasi komplain dari para penerima kerja, Wikan pun menyampaikan, pihaknya akan berkomitmen untuk mewujudkan link and match yang baik antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri.

“Ada delapan poin yang kami dorong link and match. Kenapa? Karena kita ingin menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dunia kerja,” tegasnya.

Ia menjelaskan, dalam mewujudkan link and match yang baik antara perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri tidak hanya sebatas penandatanganan MoU saja.

Melainkan, perguruan tinggi dengan dunia kerja dan dunia industri harus bersama-sama menyusun kurikulum, pengembangan soft skill pembelajaran berbasis proyek, dan dosen expert harus mengajar di kampus per prodi selama 50-100 jam.

Selain itu, mahasiswa juga harus menjalani magang minimal satu semester, memiliki sertifikasi kompetensi, dosen dan guru wajib di-training oleh dunia kerja dan dunia industri, dan riset terapan yang harus mampu menjawab kebutuhan pasar dan masyarakat.

“Riset itu harus di-drive dari belakang. Pengennya apa, market pengennya apa, masyarakat pengennya apa. Ada tantangan apa, baru kemudian diriset. Ini karakteristik riset terapan yang berkolaborasi dengan akademik. Kalau tiba-tiba riset kemudian jadi produk dan setelah itu bingung begitu mau diapain? Ke masyarakat tidak juga, ke industri juga tidak, dijual di market nggak bisa,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait