URtrending

Fenomena Oreo Supreme dan Ilusi Eksklusivitas

Firman Kurniawan S, Senin, 18 Mei 2020 18.11 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Fenomena Oreo Supreme dan Ilusi Eksklusivitas
Image: Oreo Supreme (sumber: Tokopedia)

Jakarta - Nampaknya, brand apapun yang melakukan co-branding dengan brand Supreme, bakal meroket harganya, sekaligus jadi produk yang diburu konsumen. Saat ini, Oreo, produk kudapan yang dikenal konsumen Indonesia lantaran ujaran “diputar, dijilat, dicelupin”, jadi perbincangan media sosial yang mengemuka.

Oreo melakukan co-branding dengan Supreme, melempar produk kolaborasi ke pasar. Produk tampil dalam wujud lazimnya, lempeng ornamen berukir yang mengapit krim gula putih.

Biasanya lempeng itu berwarna hitam, namun tampil bersama Supreme, warnanya jadi merah. Ini sesuai warna identitas Supreme. Co-branding juga ditandai dengan adanya nama Supreme pada tiap lempeng biskuit. 

Co-branding adalah aktivitas kemitraan antar brand, bisa lebih dari 2 brand, dengan mempertahankan keunggulan reputasi masing-masing, Tujuan strategi ini adalah penetrasi pasar yang lebih dalam dan luas. Umumnya lewat konsumen setianya masing-masing, kolaborasi 2 brand ini akan menciptakan minat pembelian baru, di luar kebiasaaan. 

Hannah Tow, 2019 dalam What Is Co-branding? (+Great Examples in the Marketplace), mendefinisikan co-branding sebagai, kemitraan brand oleh dua atau lebih brand yang bertujuan menciptakan produk atau layanan, dengan mewujudkan esensi brand-nya masing-masing.

Dalam kemitraan ini terjadi pemanfaatan sumber daya finansial maupun kreatif. Konsep co-branding serupa bahkan sering tak dibedakan dari brand collaboration. Ini marak jadi kecenderungan, dalam konteks digitalisasi industri.

Brand collaboration adalah aliansi strategis antara dua atau lebih brand untuk membangun layanan yang unik, dan mengisi ceruk dengan keunggulan kompetitif. Kolaborasi jadi pola, saat dua perusahaan merumuskan kemitraan guna menciptakan sinergi pemasaran dan penjualan yang bermanfaat, bagi pihak yang terlibat (Hitesh Bhasin, 2018). 

Beberapa co-branding maupun brand collaboration yang tercatat berhasil, misalnya antara Ford dengan Tinder, Nike dan Apple, Uber dengan Spotify. Sedangkan pada langkah yang sama antara Oreo dengan Supreme, menghasilkan penjualan dengan harga yang terbilang tak masuk akal. Chris Perez, 2020 dalam artikelnya yang dimuat CBR.com, Supreme Oreos: What Are They and Why Are They Selling for THOUSANDS? bahkan heran,

“Tak ada yang istimewa selain fakta mereka berwarna merah dan ada tulisan Supreme yang tercetak di atasnya”.

Menurut catatan Forbes, per bungkus Oreo di eBay, ada yang menawar hingga US $ 96.100, atau setara dengan Rp 1,4 miliar. Sedangkan CBR.com, masih dalam laporan Perez di atas, menyebut Oreo yang biasa dijual seharga US$ 3, atau setara dengan Rp 45.000 per bungkus, di eBay dibanderol dengan harga US$ 18.000. Itu artinya Rp 269 Juta per bungkus. Apakah ada yang membeli ? Nyatanya antri, sebab untuk mendapatkannya tak mudah, saking diperebutkan banyak pemburu.     

Supreme dalam uraian Nick Grant, Jian Deleon, Noah Johnson, 2013 pada 50 Things You Didn't Know About Supreme adalah  produk street wear yang dikembangkan toko skateboard dan pakaian Amerika. Sejak didirikan, James Jebbia di New York pada April 1994, brand ini telah mampu membangun jejaring pelanggan fanatik, kolektor, pemain skateboard, dan bahkan para pembenci. Mereka semua memiliki kesamaan, haus yang tak pernah habis pada logo kotak merah untuk dimiliki maupun dicaci maki.

Tulisan Supreme tampil dalam jenis huruf Futura Heavy Oblique putih, yang didasarkan pada seni ciptaan Barbara Kruger. Lewat perilaku berburu terus menerus itu, muncul cerita, mitos, legenda, dan desas-desus yang mengelilingi sejarah merek. Jebbia adalah pria pendiam, rendah hati dan memiliki daya pikat. Supreme melepas produk barunya di seluruh dunia lewat situs web-nya pada Kamis pagi untuk Kawasan Amerika dan Eropa. Dan hari Sabtu pagi, di Jepang. 

Satu hal yang konsisten dilakukan oleh Supreme adalah melepas produk dalam jumlah terbatas. Strategi membatasi pelepasan produk ini menciptakan kelangkaan, scarcity, yang  bagi konsumen pemburunya, mendorong munculnya perasaan penasaran, curiosity. Perpaduan scarcity dan curiosity sering jadi penjelas, adanya produk-produk berharga mahal, namun jadi buruan pelanggannya. Nampaknya itulah alasan orang sangat setia pada brand yang sekilas nampak sederhana ini, namun kaya cerita di baliknya.

Fenomena Oreo Supreme yang mampu menciptakan ilusi produk yang bernilai tinggi dan layak diburu ini, dalam penjelasan Manuel Castells, 1996, dalam The Rise of The Network Society, dilambungkan oleh paradigma informasional. Ini terjadi manakala sebuah produk memiliki nilai, bukan lantaran kandungan bahan di dalamnya. Bahkan jika hanya melihat sebatas  kandungannya, membeli dengan harga murah pun, konsumen enggan.

Nilai produk tercipta lewat informasi yang diedarkan dalam jejaring, bermuatan narasi yang diharapkan konsumennya. Makin lama informasi membentuk jejaring yang kian besar, menghadirkan ilusi. Bahkan ilusi yang keluar dari substansi produknya. Istilah yang sekeluarga dengan keadaan ini adalah hyperrealitas, yang diungkapkan Jean Baudrillard (1929-2007). Hyperrealitas adalah suatu keadaan tiruan yang tak punya acuan dalam dunia nyata. Itu tak beda dengan ilusi, bukan?

Maka pada Oreo Supreme maupun produk-produk branded lainnya, seringkali konsumen bukan mengkonsumsi kandungan dasar produk, tapi turut berada dalam informasi yang dipertukarkan jejaring. Kenikmatan mengkonsumsi yang diperoleh, adalah kenikmatan ada dalam jejaring, menjadi bagian dari yang lain.

Maka, haruskah kelompok muda membelanjakan penghasilan yang diperolehnya rupiah demi rupiah, untuk produk yang nilainya dibangun oleh ilusinya sendiri ? Itu pun harus  ditebus dengan harga kelewat mahal.  

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait