URnews

Kata Pakar Geologi UGM soal Letusan Lumpur Kesongo di Blora

Nunung Nasikhah, Selasa, 1 September 2020 12.20 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kata Pakar Geologi UGM soal Letusan Lumpur Kesongo di Blora
Image: ugm.ac.id

Yogyakarta - Letusan Gunung Lumpur Kesongo yang terletak di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada hari Kamis (27/8/2020) lalu, sempat menjadi perbincangan publik.

Pasalnya, selain menghamburkan lumpur dan gas, gunung lumpur Kesongo juga menghasilkan getaran yang terasa hingga radius 1 kilometer.

Bahkan, letusan lumpur tersebut memakan korban yakni empat warga mengalami gejala keracunan dan belasan kerbau dinyatakan hilang terbenam lumpur.

Meski sering mengeluarkan letupan lumpur berskala kecil, dalam dua dekade tercatat Gunung Lumpur Kesongo meletup dalam skala besar seperti 27 Agustus lalu dan pada tahun 2013 serta 2009.

Pakar Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Salahuddin Husein, Ph.D mengatakan, kemunculan gunung lumpur di pulau Jawa ini adalah fenomena yang jamak.

Gunung Lumpur Kesongo hanyalah bagian dari Kompleks Gunung Lumpur Kradenan, dengan puluhan gunung lumpur lain muncul pada area yang luas, seperti Kuwu, Medang, Crewek, Cangkingan, Medang dan Banjar Lor.

1598934907-kesongo-perpusjateng.jpgSumber: Perpusda Jawa Timur

Ke arah timur, gunung lumpur lain bermunculan seperti di Denanyar, Gresik, Dawar Blandong, Penganson, Sidoarjo (Lusi), Porong, Gunung Anyar, Kali Anyar, Pulungan, hingga ditemukan di dasar Selat Madura.

“Gunung lumpur atau mud volcanoes adalah fenomena lazim pada cekungan sedimentasi yang mengalami pengendapan secara cepat dan pada daerah yang secara tektonik aktif," ujar Salahuddin, seperti dikutip dari website resmi UGM (1/9/2020).

Dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM tersebut mengatakan, daerah utara Jawa Tengah hingga Jawa Timur merupakan rangkaian perbukitan yang diberi nama Zona Rembang, atau sering disebut sebagai Zona Perbukitan Kapur Utara, karena banyaknya perlapisan batu gamping/batu kapur di kawasan tersebut.

Zona Rembang ini dibagi dua, yakni Perbukitan Rembang Utara dan Perbukitan Rembang Selatan, dan permukaan keduanya dipisahkan oleh lembah Sungai Lusi.

Sedangkan di bawah permukaan keduanya dibangun oleh beberapa patahan anjak yang mengangkat perlapisan batuan lebih tinggi daripada sekitarnya.

Gunung Lumpur Kesongo sendiri terletak di Zona Perbukitan Rembang Selatan, pada puncak struktur antiklin Gabus. 

Tekanan kompresif dari patahan-patahan anjak tersebut memengaruhi kekuatan batuan di sekitarnya, terlebih bagi lapisan-lapisan lumpur yang masih lunak dan belum membatu di Formasi Tawun.

“Getaran-getaran dan gempa-gempa yang merambat melalui patahan dan batuan, akan semakin memperbesar tekanan yang diterima oleh lapisan lumpur, menyebabkan semakin berkurangnya kekuatan geser antar butiran lumpur, memaksa dan mendorong mereka untuk bergerak ke atas menuju  tekanan yang lebih rendah,” ujar Salahuddin.

“Pergerakan ke atas ini membentuk pipa lumpur (mud diapir), yang bila mampu menembus permukaan Bumi akan menjadi gunung lumpur (mud volcano)," jelasnya.

1598934901-gunungkesongo-blorakab.jpgSumber: Situs Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. (gabusan.blorakab.go.id)

Munculnya lumpur ke permukaan, kata Salahuddin, menyebabkan kekosongan pada rongga yang semula dilaluinya, sehingga permukaan di sekitar kemunculan gunung lumpur tersebut akan amblas, turun membentuk depresi melingkar (depresi kaldera). Semakin besar volume lumpur yang keluar, maka semakin besar pula area amblasannya.

“Gunung Lumpur Kesongo memiliki depresi amblesan yang paling besar dibandingkan gunung-gunung lumpur lain di Kompleks Kradenan, dengan diameter 1,3 km dan menempati area 135 hektar,” terangnya.

“Aktifitas semburan lumpur menyebabkan tidak ada pepohon yang mampu tumbuh di dalam depresi kaldera Kesongo, hanya rerumputan dan semak belukar saja yang mendominasi sehingga masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai Oro-oro Kesongo, tempat yang banyak rumput untuk menggembalakan ternak," sambungnya.

Menurut Salahuddin, gunung lumpur yang menyebabkan kaldera seluas itu kini sudah hilang, digantikan oleh berbagai kerucut lumpur (grifon) dan genangan lumpur (salsa) di sekitarnya.

Saat ini salsa yang aktif terisi lumpur basah menempati sisi barat, dengan diameter diameter 0,3 km dan area 8 hektar.

Tidak diketahui sejak kapan salsa tersebut aktif, namun dinamikanya dapat dicermati. Dari serangkaian citra satelit dalam 20 tahun terakhir, tampak dinamika grifon di dalam salsa tersebut, yang mengindikasikan dinamika erupsi lumpur dan diapir di bawahnya.

“Awalnya grifon berada di sisi barat laut salsa, dimana setelah letusan besar 2009 semakin membesar, dan ketika letusan besar 2013 grifon aktif pindah ke sisi timur salsa. Kemudian semenjak 2016 titik grifon menempati letaknya saat ini, yaitu di sisi selatan salsa," ucapnya.

Fenomena ini, menurutnya, bisa berulang di masa akan datang. Sebab, jika melihat proses alam selalu akan berulang, bila material masih tersedia dan perpindahan energinya masih sama.

Apalagi mengingat jumlah lumpur di Formasi Tawun di bawah sana masih berlimpah, dengan kondisi tektonik yang sama, tentu letusan besar berikutnya akan terjadi.

“Yang terpenting adalah mitigasi bencana bisa diterapkan, mengingat fenomena gunung lumpur adalah kesamaan dengan proses vulkanisme gunung berapi, yang berbeda hanyalah material dan energinya," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait