URguide

Kisah Nanda Mei Sholihah, Atlet Difabel dengan Segudang Prestasi

Shelly Lisdya, Jumat, 16 September 2022 12.08 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kisah Nanda Mei Sholihah, Atlet Difabel dengan Segudang Prestasi
Image: Nanda Mei Sholihah saat bertanding di ASEAN Para Games 2018. (Dok. ANTARA)

Jakarta - Pada Agustus 2022, Nanda Mei Sholihah menjadi salah satu penyumbang emas terbanyak dari atletik ASEAN Para Games (APG) 2022 Solo usai membawa pulang medali emas ketiga setelah menjadi yang terbaik di nomor lari 400 meter T47.

Berlaga di lintasan lari Stadion Manahan, Surakarta, Nanda Mei Sholihah sukses membukukan catatan waktu satu menit 3,160 detik. Sedangkan perak direbut atlet Thailand Sasirawan dan medali perunggu direbut wakil Myanmar, Nandar.

"Saya memang sempat ragu saat turun di 400 meter. Kan beda dengan 100 dan 200 meter. Tapi alhamdulillah bisa memberikan yang terbaik. Terima kasih atas dukungannya," kata Nanda Mei Sholihah, dikutip Antara.

Namun, sebelum menjadi atlet piawai seperti sekarang, siapa sangka jika Nanda Mei Sholihah sempat ditolak oleh salah satu sekolah dan dikucilkan karena keterbatasan fisiknya. Lantas bagaimana kisahnya?

Nanda Mei Sholihah merupakan satu dari 300 atlet difabel dari kontingen Indonesia. Sebagai seorang yang terlahir tanpa setengah lengan kanan, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Banyaknya penolakan yang ia alami justru mengantarkannya pada puncak keberhasilan.

Nanda Mei Sholihah merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga Fakultas Keolahragaan (FKOR) Universitas Sebelas Maret (UNS). 

Berbagai medali telah diperoleh Nanda dari banyak ajang olahraga di tingkat nasional maupun internasional. Di antaranya medali emas ASEAN Youth Para Games 2013, medali perak dan perunggu ASEAN Para Games 2014, tiga medali emas ASEAN Para Games 2015, serta tiga medali emas di ASEAN Para Games 2017.

Awal Mula Terjun ke Dunia Olahraga

Nanda mengawali keriernya dalam dunia olahraga ketika Ia menginjak usia 11 tahun. Saat itu, ketua National Paralympic Committee (NPC) Kota Kediri sedang mencari generasi atlet baru untuk dibina. Ketua NPC Kota Kediri bahkan datang langsung ke kediaman Nanda untuk mengajaknya bergabung bersama NPC Kediri.

“Waktu itu beliau nyari tau informasi tentang aku, terus ke rumah. Aku yang masih awam sama dunia olahraga ditawarin sama beliau, terus kata Ibu dicoba dulu, siapa tau rezeki aku,” ungkap Nanda, dikutip laman UNS, Jumat (16/9/22).

Mulai sejak saat itu, setiap hari Sabtu dan Minggu Ia diantar oleh ayahnya untuk latihan di lapangan Bawang Pesantren, Kediri. Bergabungnya Nanda dengan NPC Kota Kediri juga bertepatan dengan akan diadakannya kejuaraan daerah Walikota Cup Surabaya tahun 2010. 

Dalam kompetisi ini, Nanda meraih medali emas pertamanya dalam dunia olahraga. Saat itu, ia mendapat emas pada nomor 100 meter, 200 meter, dan lompat jauh. Sebuah prestasi luar biasa yang diraih Nanda dalam mengawali kariernya di dunia olahraga, mengingat usianya saat itu masih 11 tahun.

Sempat Ditolak Sekolah

Masa kecil Nanda ternyata dipenuhi dengan perlakuan diskriminatif. Yang paling membekas di benaknya, ketika ia ditolak saat ingin mendaftar sekolah di taman kanak-kanak.

“Pas kecil, aku merasa dibedakan, nggak boleh inilah, nggak boleh itulah. Bahkan aku sempat ditolak sekolah karena kondisiku,” kenangnya.

Bagi sekolah tersebut, tidak seharusnya Nanda mendaftar di sana. Pihak sekolah justru menyarankan untuk didaftarkan di Sekolah Luar Biasa (SLB).

“Dulu orang tua sampai menggendong aku ke sana ke mari karena ditolak sekolah. Aku tuh ngerasa emosi, sedih, marahnya sampai sekarang sebenarnya masih ada,” ungkapnya.

Namun keluarga Nanda pantang menyerah. Keinginan keras untuk menyekolahkan sang anak di sekolah yang diisi oleh anak-anak tanpa keterbatasan fisik akhirnya berbuah manis karena Nanda melewati masa sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah biasa.

“Aku juga pernah diperlakukan beda sama anak-anak lain, nah di situ aku nggak suka sebenarnya. Padahal kan temen-temen disabilitas nggak perlu dikasihani, nggak perlu dibedakan, mereka hanya butuh akses saja. Jadi biarin mereka ngelakuin apa saja. Sebenarnya mereka bisa, cuma kurang akses saja. Jadi mau keluar saja nggak mau, malu kayak gitu kan,” imbuhnya.

Dengan usaha yang telah dilalui Nanda, kunci untuk bisa bangkit dan berusaha menunjukkan yang terbaik adalah dorongan dari pihak keluarga, khusunya orang tua yang menjadi motivasi utama bagi seorang Nanda untuk terus berprestasi.

“Orang tua sangat mendukung perjalananku di dunia olahraga, emang dari awal orang tua yang menyarankan juga. Malah setiap hari aku selalu diantar latihan sama ayah setelah pulang dagang,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait