URnews

KontraS Temukan 7 Pelanggaran HAM di Aksi Tolak UU Cipta Kerja Surabaya

Nivita Saldyni, Rabu, 14 Oktober 2020 15.42 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
KontraS Temukan 7 Pelanggaran HAM di Aksi Tolak UU Cipta Kerja Surabaya
Image: Polisi mengamankan salah satu demonstran dalam aksi tolak Omnibus Law di Gedung Negara Grahadi, Kamis (8/10/2020). (Nivita Saldyni/Urbanasia)

Surabaya - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya menilai ada tujuh pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan aparat kepolisian dalam aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Kota Surabaya, Kamis (8/10/2020) lalu.

Faisal, Koordinator KontraS mengatakan berdasarkan pemantauan KontraS dari bukti video serta berbagai laporan dari masyarakat sipil, Faisal mengatakan bahwa pihaknya menemukan beberapa bentuk tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama aksi 8 Oktober lalu. 

"Jadi KontraS setelah aksi (8 Oktober 2020) itu malamnya menerima banyak sekali pengaduan. Akhirnya KontraS membuka pengaduan dan mendapatkan informasi secara detail bagaimana kepolisian melakukan kekerasan. Dari situ kemudian kami mengumpulkan data-data tersebut dan melakukan update hari ini," kata Faisal saat ditemui Urbanasia di kantor KontraS di Surabaya, Rabu (14/10/2020).

Hingga Rabu (14/10/2020), Faisal menyebutkan bahwa sedikitnya KontraS bersama tim advokasi Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) telah mengantongi 200 pengaduan.

"Kami menemukan tujuh tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian," katanya.

Tujuh tindakan itu termasuk penangkapan, melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi, baik itu relawan medis, massa aksi yang tengah dirawat di posko medis, massa aksi yang tidak bersenjata, bahkan juga mereka yang tidak melawan saat ditangkap.

"Mereka mengalami tindak kekerasan saat ditangkap," imbuhnya.

Selain itu, ia juga mencatat bahwa polisi telah melakukan pengerusakan posko kesehatan, pengintimidasian kepada jurnalis dan masyarakat sipil yang melakukan pendokumentasian aksi, menghalang-halangi akses informasi soal siapa saja yang ditangkap, informasi soal barang-barang apa saja yang dirampas selama aksi.

"Yang terakhir adalah kekerasan terhadap tersangka anak. Ada tujuh tindak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi dalam pengamanan dalam aksi tersebut," jelasnya.

Untuk itu ia menegaskan bahwa pihaknya mendorong agar aparat kepolisian untuk segera mengimplementasikan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Menurutnya hal ini penting untuk dilakukan jika hal itu tak segera dilakukan mengingat ke depan akan semakin banyak aksi-aksi susulan.

"Seperti yang di Jakarta, masih ada aksi lagi. Selama Omnibus Law ini tidak dicabutkan pasti masih ada banyak sekali aksi-aksi susulan," pungkasnya.

Sementara itu saat ini Faisal mengatakan bahwa pihaknya masih melakukan pendampingan terhadap tiga tersangka anak yang masih di bawah umur.

"Sekarang mereka di panti sosial. Mereka terancam hukuman lima tahun karena melakukan pengerusakan. Tapi kan ini anak-anak jadi kami sedang mengupayakan sehingga anak-anak itu bisa bebas. Karena mengingat pelapornya dari aparat kepolisian sendiri. Kami sedang mendorong itu," jelasnya.

Ketika ditanya ke mana arah aduan-aduan tersebut, Faisal mengatakan masih belum akan membawanya ke ranah hukum.

"Ranah hukum belum. Kami masih melakukan update administrasi saja hari ini," tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait