URstyle

'Kuman Super' di India Diklaim Kebal Antibiotik, Ini Penyebabnya

Griska Laras, Jumat, 14 Oktober 2022 08.27 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
'Kuman Super' di India Diklaim Kebal Antibiotik, Ini Penyebabnya
Image: Ilustrasi pasien COVID-19. (PIXABAY/Mitrey)

Jakarta – India tengah menghadapi pandemi superbug (kuman super) yang membuat ribuan orang dirawat di rumah sakit.

Superbug sendiri merujuk pada infeksi akibat bakteri yang kebal antibiotik. Laporan pemerintah terbaru menjabarkan gambaran mengejutkan tentang situasi yang makin memburuk.

Serangkaian tes 'resistensi antimikrobial' pun dilakukan di Kasturba Hospital. Hasilnya antibiotik paling efektif dalam menangkal lima bakteri patogen paling umum tidak manjur lagi. 

Kelima bakteri yang diuji di antaranya Eschericia coli yang ditemukan di usus manusia dan setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi, klebsiella pneumoniae yang menyebabkan pneumonia dan meningitis, staphylococcus aureus, bakteri bawaan makanan yang dapat ditularkan melalui udara, dan staphylococcus aureus, bakteri bawaan makanan yang dapat ditularkan melalui udara.

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah kemunculan patogen yang resisten terhadap berbagai obat yaitu Acinetobacter baumannii. Bakteri ini menyerang paru-paru pasien di unit perawatan kritis. 

"Hampir semua pasien kami tidak mampu membeli antibiotik yang lebih tinggi, mereka berisiko meninggal ketika mengalami pneumonia yang perlu dirawat dengan ventilator di ICU," kata pengawas rumah sakit itu dr. SP Kalantri. 

Laporan terbaru dari Dewan Riset Medis India (ICMR), bahwa resistensi pada kelompok antibiotik kuat bernama carbapenem yang membasmi sejumlah patogen telah meningkat 10% hanya dalam satu tahun.

"Ini mengkhawatirkan karena carbapenem adalah obat yang bagus untuk merawat sepsis (kondisi yang mengancam nyawa) dan kadang-kadang digunakan sebagai perawatan pertama di rumah sakit untuk pasien yang sakit parah di ICU," kata dr. Kamini Walia, ilmuwan di ICMR dan peneliti yang memimpin studi tersebut.

Resistensi terhadap antibiotik di India bahkan ditemukan di kalangan pasien rawat jalan dari desa-desa dan kota-kota kecil dengan kondisi seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih.

Karena sebagian besar pasien tersebut tidak membawa resep dan tidak ingat obat yang diresepkan, dokter kesulitan mendapatkan riwayat paparan antibiotik mereka.

"Menangani pasien seperti itu adalah pekerjaan berat. Situasinya gawat, dan langkah-langkah dalam keadaan gawat, seperti memesan lebih banyak antibiotik mungkin akan mengakibatkan lebih banyak bahaya dibandingkan manfaat," kata dr Kalantri.

Penyebab resistensi antibiotik di India

Pakar kesehatan masyarakat percaya banyak dokter di India meresepkan antibiotik untuk berbagai macam penyakit. Termasuk penyakit diare dan infeksi saluran pernapasan bagian atas, meski kemanjurannya terbatas.

Kondisi tersebut makin parah saat pandemi Covid-19. Banyak pasien diobati dengan antibiotik yang mengakibatkan lebih banyak efek samping. 

Dilaporkan ICMR, setengah dari 17.534 pasien Covid-19 di rumah sakit India yang menderita infeksi resisten-obat meninggal dunia.

Resistensi microbacteri di India juga terjadi karena broad-spectrum antibiotics,  mencakup 75% dari semua resep yang dikeluarkan di rumah sakit. 

Broad-spectrum antibiotics sendiri adalah obat yang semestinya hanya digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri yang paling serius dan sulit diobati.

Namun dr Kalantri menyebut para dokter tidak bisa sepenuhnya disalahkan. 

Menurut Kalantri, para dokter yang bertugas di rumah sakit-rumah sakit umum yang besar dan ramai tidak punya banyak waktu untuk memeriksa pasien, mendiagnosis penyakit, menyortir penyakit bakteri dari penyakit virus, atau merancang rencana perawatan.

1584435752-ilustrasi-penyakit-pixabay.jpgSumber: Ilustrasi sakit. (Pixabay)Ditambah lagi, harga antibiotik murah sementara biaya diagnostik tetap tinggi sehingga dokter lebih suka meresepkan obat daripada memesan uji lab.

"Dokter kadang tidak yakin apa sebenarnya yang mereka obati. Jadi mereka ingin mengobati semua kemungkinan penyakit dengan menggunakan obat spektrum luas," katanta.

Di sisi lain, masih banyak pasien yang kurang pengetahuan tentang resistensi antibiotik. Bahkan orang kaya dan terpelajar di sana minum antibiotik bila mereka sakit. Bahkan ada yang mendesak dokter untuk meresepkan antibiotik.

"Ini adalah badai yang sempurna dalam situasi India. Ada banyak penyakit menular, kurangnya pengendalian infeksi, dan banyak konsumsi antibiotik yang tidak perlu," kata Direktur One Health Trust, Ramanan Laxminarayan, sebuah kelompok kajian kesehatan masyarakat global.

Para pakar percaya India perlu lebih banyak berinvestasi di laboratorium diagnostik, menghasilkan lebih banyak dokter penyakit menular, mengurangi infeksi di rumah sakit, dan melatih dokter tentang penggunaan antibiotik berdasarkan uji lab untuk mengatasi ancaman kuman super yang terus meningkat.

Jika tidak, resistensi terhadap antibiotik berpotensi menjadi ancaman terbesar bagi kesehatan global. Berdasarkan Jurnal Medis 'The Lancet', ada sekitar 1,27 juta kematian di seluruh dunia pada 2019 akibat resistensi bakteri.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait