URtech

Manusia Autentik di Tengah Perubahan Teknologi

Firman Kurniawan S, Senin, 5 Desember 2022 20.30 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Manusia Autentik di Tengah Perubahan Teknologi
Image: Ilustrasi - Teknologi digital. (Freepik)

ADA perbincangan menarik yang terjadi di sebuah ruang kelas. Perbincangan yang berpusat pada otentisitas manusia dan keberadaannya di tengah perkembangan teknologi.

Ini satu di antara pertanyaan itu, “Jika dalam sejarahnya manusia yang awalnya diberdayakan oleh kehadiran teknologi, dan pada perkembangannya justru manusia harus menyesuaikan kemampuannya agar dapat memanfaatkan teknologi, bagaimana dengan otentisitas manusia?”

Mencoba menjawab pertanyaan yang pelik itu, dapat merujuk pada uraian Neil Postman, 1992, dalam buah pikirannya yang dibukukan sebagai ‘Technopoly: The Surrender of Culture to Technology’. Pada bukunya ini, Postman membagi relasi manusia dengan teknologi, dalam 3 periode besar.

Baca Juga: Banjir Tontonan

Pertama, saat teknologi hadir sebagai alat-alat. Di periode ini kehadiran teknologi jadi alat yang membantu hidup manusia. Tempurung kelapa yang digunakan untuk memindahkan air dari mata air ke penampungan, adalah teknologi. Penampungannya pun teknologi.

Demikian pula dengan batu pemecah biji, sisa tubuh binatang yang dijadikan sisir, kulit buah pembungkus binatang buruan, hingga batang pohon untuk pagar rumah agar tak didekati binatang buas, seluruhnya adalah teknologi. Dari periode pertama ini dipahami, teknologi hadir setua keberadaan manusia.

Di periode kedua, teknologi hadir seraya mengubah persepsi manusia terhadap dunia. Periode ini disebut Postman sebagai ‘teknokrasi’. Penemuan teleskop misalnya, mengubah persepsi manusia pada semesta yang dihayatinya. Lewat teleskop, pendapat geosentris dikoreksi menjadi heliosentris.

Demikian pula dengan penemuan mikroskop, yang memperluas pengenalani manusia terhadap jenis hidup lain. Manusia mengenal jasad renik, amoeba, virus, bakteri, jamur, bahkan unsur-unsur tingkat sel lainnya yang berukuran mikro. Hari ini pengenalan lewat mikroskop, hingga yang berukuran nano.

Masuk pada periode ketiga. Ini disebut Postman sebagai ‘teknopoli’. Pada periode ini, kehadiran teknologi di tengah masyarakat tak lagi sebatas alat-alat yang membantu kehidupannya. Pada periode teknopoli, justru manusia yang dibentuk oleh teknologi. Manusia harus menyesuaikan kemampuan dan perilakunya, demi mengadaptasi teknologi.

Dapat disaksikan hari ini, betapa penggunaan teknologi mengubah cara manusia berinteraksi. Di masa sebelumnya, interaksi itu dilakukan secara tatap muka. Hampir semua indera dan perangkat tubuh manusia terlibat aktif. Mulut yang mengeluarkan bunyi, gerakan lidah yang menggerakkan pita suara penghasil intonasi, mengindikasikan emosi tertentu. Demikian pula mimik wajah yang berperan mengadaptasi tema perbincangan, diikuti gesture tangan, membangun makna nonverbal perbincangan.

Kini dengan hadirnya media sosial maupun aplikasi video konferensi, keterlibatan tubuh diubah. Banyak yang direduksi. Dalam interaksi termediasi komputer hanya indera penglihatan manusia yang terutama aktif. Jika pun ada anggota tubuh lain yang turut serta, ibu jari saja yang aktif. Itu digunakan untuk menyusun teks maupun memberi respon. Cukup sebatas sentuhan pada layar.

Setelah fisiknya, mental manusia, tak luput diubah. Ekspresi berbahasanya makin ringkas dan padat. Selain terbawa oleh teknologi hypertext, juga tuntutan kecepatan. Interaksi hanya diarahkan pada hal-hal yang bersifat substansial. Singkat, padat, dan segera.   

Perubahan pada periode teknopoli berupa sirkuit, teknologi mendorong perubahan fisikal, yang diikuti perubahan mental. Perubahan mental ini menyebabkan perubahan fisikal berikutnya. Demikian seterusnya. Jika diandaikan sebagai lingkaran yang putarannya makin lama makin menyempit, sirkuit itu menuju satu titik. Titik terbentuknya mitos. Teknopoli adalah mitosnya.

Jika itu dinyatakan sebagai kalimat: teknologi adalah jalan keluar manusia. Agar dapat digunakan sebagai jalan keluar, manusia perlu mengadaptasi teknologi dengan jalan mengubah dirinya. Tanpa adaptasi, manusia tak bisa menggunakan teknologi. Ini membawanya pada pengakhiran keberadaannya. Karenanya, demi keberadaan dirinya, yang ditempuh lewat penggunaan teknologi, manusia harus mengubah otentisitas dirinya. Hari ini manusia telah tak otentik pada dirinya, diubah teknologi.

Membayangkan kehadiran teknologi berikut perubahannya sebagai kesertamertaan tanpa gejolak, adalah pemikiran yang ahistoris. Dalam realitasnya, perubahan yang dimediasi teknologi selalu memunculkan kekhawatiran, negosiasi, penolakan dan berbagai sikap pesimis lain. Itu seimbang dengan sikap optimis yang mengiringinya. Lewat sikap otimis ini, teknologi jadi agen jitu perubahan. Perubahan menuju kecepatan, akurasi, hingga efisiensi. Teknologi adalah jalan menuju kesempurnaan tanpa efek samping. Ini mitos yang lain, selain teknopoli.

Untuk bersikap di tengah dialektika: yang pesimis dengan yang optimis pada teknologi, dapat menyimak pemikiran lain, Neil Postman, 1998, yang tertuang lewat artikelnya ‘Five Things We Need to Know About Technological Change’.

Pada uraiannya ini, Postman mengemukakan 5 gagasannya. Gagasan pertamanya: semua perubahan yang dibawa oleh teknologi itu trade-off. Ada proses pertukaran. Hadirnya teknologi yang memberikan hal baru harus ditebus dengan hilangnya yang sudah ada. Bahkan kehilangan yang membawa kerugian.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait