URnews

Mengenal 7 Pahlawan Revolusi dalam Gerakan 30 September

Kintan Lestari, Rabu, 30 September 2020 13.43 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengenal 7 Pahlawan Revolusi dalam Gerakan 30 September
Image: Monumen Pancasila Sakti. (tamanismailmarzuki.co.id)

Jakarta - Hari ini, 30 September, Indonesia memperingati tragedi Gerakan 30 September (G30S) yang mencabut nyawa enam jenderal serta satu perwira pertama TNI Angkatan Darat (AD).

Ketujuh jenderal yang terbunuh adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, serta Lettu Pierre Tendean.

Untuk mengenang ketujuh jenderal tersebut, yuk kita ulas tujuh sosok pahlawan revolusi yang jadi korban G30S 1965.

1. Ahmad Yani

Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani lahir 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah. Ahmad Yani menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (setingkat SMP), kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) (setingkat SMA).

Di AMS Ahmad Yani hanya menempuh pendidikan hingga kelas dua. Ia kemudian lanjut mengikuti pendidikan militer.

Ahmad Yani turut berperan dalam beberapa peristiwa penting di Indonesia, contohnya Agresi Militer Belanda, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah, sampai pembebasan Irian Barat.

2. Raden Soeprapto

Mayor Jenderal Raden Soeprapto lahir 20 Juni 1920 di Purwokerto, Jawa Tengah. Ia mendapat pendidikan militer Belanda di Bandung.

Ia juga sempat mengikuti pelatihan militer yang dibentuk Jepang, di antaranya Seinendan, Keibodan, dan Syuisyintai. Setelah Indonesia menyatakan diri merdeka, Soeprapto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Selama jadi bagian TKR, Soeprapto juga ikut pertempuran di Ambarawa tahun 1945 mendampingi Jenderal Soedirman.

3. Mas Tirtodarmo Haryono

Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono lahir 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. 

M.T. Haryono lahir dari keluarga berada. Ayahnya, Mas Harsono Tirtodarmo, adalah asisten wedana di Gresik di masa penjajahan Belanda. Oleh sebab itu MT Haryono mendapat pendidikan yang cukup baik. 

MT Haryono bersekolah di Hollandsch Inlandsche School, lalu Eurospeesch Lagere School, dan Hoogere Burgerschool. Pada masa pendudukan Jepang, Haryono juga mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran Ika Dai Gakko. 

Lulus dari sekolah-sekolah tersebut membuatnya menguasai bahasa Jepang, Inggris, dan Belanda. 

Dengan kemampuannya itu ia pernah menjadi kepala Bagian Penerangan sekaligus juru bicara Staf Angkatan Perang RI, serta sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada Konferensi Meja Bundar. Setelah Indonesia merdeka, MT Haryono juga bergabung dengan TKR. 

4. Siswondo Parman 

Mayor Jenderal Siswondo Parman lahir 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah. Seperti MT Haryono, S. Parman juga lahir dari keluarga berada.

Ia mengenyam pendidikan di AMS B Yogyakarta dan sekolah kedokteran Geneeskundige Hogeschool (GHS) Jakarta.

S. Parman terjun ke dunia militer pada masa pendudukan Jepang. Dia bergabung menjadi anggota Kempeiho.

Setelah Indonesia merdeka, Parman menjadi komandan Corps Polisi Militer (CPM) dan sempat mengikuti pendidikan Associate Military Company Officer School di Georgia, Amerika Serikat. Lalu dirinya diangkat jadi atase militer untuk Kerajaan Inggris.

Setelah kembali ke Indonesia, Parman ditunjuk sebagai Asisten I Menpangad yang mengurusi bidang intelijen.

5. Donald Isaac Panjaitan

Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan lahir 9 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara.

D.I. Panjaitan terjun ke dunia militer pada masa pendudukan Jepang dengan bergabung ke dalam PETA di Pekanbaru, Riau.

Panjaitan mahir berbahasa Jerman sehingga diangkat menjadi atase militer RI di Bonn, Jerman Barat.

6. Sutoyo Siswomiharjo

Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1922. Dia pernah mengenyam pendidikan di sekolah umum di Algemeene Middelbare School (AMS). 

Di masa pendudukan Jepang, Sutoyo mengikuti pelatihan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi Jakarta dan kemudian menjadi pegawai negeri sebelum akhirnya mengundurkan diri.

Pada masa proklamasi, Sutoyo bergabung dengan TKR. Dan tahun 1946, ia diangkat jadi ajudan Kolonel Gatot Subroto yang ketika itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT).

Karier militernya terus meningkat hingga pada tahun 1950 ia diangkat jadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer.

7. Pierre Tendean

Pierre Tendean lahir 21 Februari 1939 di Batavia (sekarang Jakarta). Ia merupakan keturunan Semarang-Prancis. Ayahnya, Aurelius Lammert Tendean, berasal dari Minahasa, dan ibunya, Maria Elizabet Cornet, adalah perempuan berdarah Prancis.

Pierre merupakan ajudan termuda Jenderal Abdul Haris Nasution, dan juga tertampan sehingga jadi incaran banyak wanita. 

Ia melabuhkan hatinya untuk Rukmini Chamim sampai mereka bertunangan. Sayang pertunangan tersebut tidak pernah terjadi karena Pierre jadi korban peristiwa G30S.

Pierre mengenyam pendidikan sebagai prajurit di Atekad dan populer karena kepiawaiannya juga. Meski demikian, karena darah campurannya, Pierre sering mendapat pelecehan verbal dari teman-temannya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait