URstyle

Mengenal Terapi Plasma Konvalesen, Pengobatan untuk Pasien COVID-19

Kintan Lestari, Jumat, 8 Januari 2021 14.11 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengenal Terapi Plasma Konvalesen, Pengobatan untuk Pasien COVID-19
Image: Ilustrasi terapi plasma. (Freepik/@memory_stockphoto)

Jakarta - Beberapa pengobatan dianggap bisa membantu penyembuhan pasien COVID-19. Salah satunya adalah pengobatan dengan terapi plasma konvalesen.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito kemarin (7/1/2021) juga menyatakan kalau terapi tersebut bisa diakses masyarakat melalui Palang Merah Indonesia (PMI).

Nah, tapi Urbanreaders sendiri tahu nggak sih terapi plasma konvalesen itu apa? Gimana cara kerjanya? 

Kalau kalian belum tahu, intip penjelasan soal terapi plasma konvalesen di bawah ini seperti yang Urbanasia rangkum dari berbagai sumber.

Terapi plasma konvalesen bukanlah hal baru karena sudah dipakai sejak awal tahun 1900-an untuk mengobati penyakit menular.

Secara garis besar, terapi pengobatan ini cara kerjanya dengan menggunakan plasma darah penyintas COVID-19.

Setelah sembuh dari virus, umumnya di tubuh penyintas COVID-19 sudah akan terbentuk antibodi.

Nah, antibodi di dalam plasma darah penyintas kemudian ditransfusikan ke pasien lain yang belum punya antibodi.

Terapi plasma konvalesen hanya bisa digunakan pada pasien COVID-19 dengan gejala sedang menuju berat. Pasalnya terapi ini sudah masuk ke pengobatan, dan bukan pencegahan.

"Terapi plasma konvalesen adalah penggunaan plasma darah yang mengandung antibodi dari orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19, sebagai pengobatan pasien COVID-19," ujar Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito.

Maka dari itu, terapi plasma konvalesen dapat mencegah perkembangan gejala infeksi yang lebih parah. 

Saat ini, terapi plasma konvalesen sudah tersedia di PMI. Siapa pun diperbolehkan menjadi pendonor, asalkan sudah cukup usia untuk melakukan donor dan pastinya sehat. Dan yang diutamakan adalah pendonor laki-laki. Namun pendonor perempuan boleh asalkan mereka belum pernah hamil dan punya anak.

Meski demikian, mereka yang sehat tetap akan diperiksa lagi untuk melihat apakah antibodi di tubuhnya jumlahnya mencukupi untuk didonorkan.

Untuk penyintas COVID-19 yang ingin menjadi pendonor, mereka perlu menunjukkan test swab PCR negatif, bebas gejala COVID-19 selama 14 hari setelah dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri. 

Dan untuk pasien yang berhak menerima terapi ini adalah yang punya gejala COVID-19 sedang menuju berat, atau punya penyakit bawaan yang akan memperburuk kondisi mereka. Orang tanpa gejala (OTG) tidak masuk kriteria pasien yang menerima terapi ini. 

Sementara untuk pasien yang ingin melakukan terapi ini di rumah sakit rujukan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito menyebut obatnya ditanggung pemerintah.

"Perawatan pasien COVID-19 di RS rujukan ditanggung pemerintah, termasuk obat untuk terapi dan alat kesehatan," jawab Prof Wiku Adisasmito saat ditanya Urbanasia.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait