URnews

Paradoks Kelimpahan Informasi

Firman Kurniawan S, Selasa, 13 Desember 2022 16.39 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Paradoks Kelimpahan Informasi
Image: Ilustrasi. (Freepik)

ADA yang membuat Dinda gundah. Intensitas relasinya dengan gawai digital yang telah dipakainya puluhan tahun, justru menghadirkan ketaknyamanan emosional. Ketaknyamanan itu berupa kecemasan pada kecukupan informasi yang dikonsumsinya.

Adanya gawai yang harusnya menjamin akses tak terbatas Dinda pada informasi, justru tak membuatnya tenang. Banyak topik yang seru dibicarakan teman sekampusnya, tak dapat diikutinya. Akibatnya,tak jarang mahasiswa tahun kedua ilmu komunikasi di sebuah kampus bergengsi di Jakarta itu, dianggap sebagai mahasiswa kudet, ‘kurang update’. Dinda tak dilibatkan dari perbincangan-perbincangan temannya.

Tak ada jalan lain, di tengah kesibukan belajar dan memenuhi tugas dari para pengajarnya, Dinda bertekad melahap rakus berbagai jenis informasi. Itu diaksesnya lewat berbagai bentuk aplikasi: media sosial, video streaming, portal berita, maupun terlibat aktif pada berbagai jenis percakapan.

Seluruhnya dijangkau lewat gawai digital yang dimilikinya. Jumlah waktu berinternet Dinda naik. Yang semula sekitar 8 jam sehari, belakangan jadi 10 jam 30 menit. Ini jika dibandingkan dengan rata-rata harian penggunaan internet orang Indonesia yang menurut We Are Social, 2022, sebanyak 8 jam 36 menit aktivitas Dinda di atas rata-rata orang Indonesia lainnya.

Gejala yang dialami Dinda berupa rasa ketaknyamanan, khawatir terhadap kecukupan informasi yang dikonsumsinya. Ini terjadi akibat FOMO syndrome. Sebuah keadaan yang dapat digambarkan sebagai munculnya gejala takut dikucilkan dari kelompok sosial. Pengucilan terjadi akibat tak terpenuhinya syarat sosial yang harus dimiliki untuk berada pada sebuah jejaring sosial. Syarat sosial itu, bisa berupa dimilikinya informasi tertentu. Fear of missing out.

Terhadap FOMO syndrome ini, Amna Alabri, 2022 dalam artikelnya ‘Fear of Missing Out (FOMO): The Effect of the Need to Belong, Perceived Centrality, and Fear of Social Exclusion’, menjelaskan, FOMO adalah keadaan timbulnya tekanan mental dan emosional yang terjadi secara tak terkendali. Impulsive.

Ini terjadi akibat kekhawatiran yang dialami seseorang, akibat hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang bermanfaat secara sosial. Tekanan terjadi akibat pengucilan dari jejaring sosial. Pengalaman sosial bermanfaat yang batal diperoleh seseorang, manakala ia tak mampu memenuhi persyaratan sosial di dalam jejaring

Relevan dengan kecemasan yang dialami Dinda, itu bersumber dari keadaan tertentu. Dinda tak selalu mampu mengimbangi relasi yang mestinya berlangsung timbal balik. Pengalaman berharga yang mestinya dialami Dinda tak selalu dapat diraihnya.

Ini akibat tak selalu dipunyainya informasi yang dibutuhkan jejaring dalam melangsungkan relasi timbal balik. Dinda dieksklusi. Ia dikucilkan akibat tak dimilikinya informasi yang dibutuhkan. Penghargaan yang harusnya diterima jika memilki informasi, batal diberikan. Dinda tak selalu dilibatkan dalam kelompok. FOMO yang dialami Dinda, terjadi akibat hal-hal semacam itu.

Yang diuraikan di atas, nampak sebagai paradoks. Banyaknya informasi yang dikonsumsi seseorang, tak serta merta menjadikan seseorang cukup informasinya. Kuantitas dan keragaman informasi yang dilahap, tak jadi ukuran terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan jejaring sosial. Pangkalnya, perhatian hanya diberikan terbatas pada jenis informasi tertentu.

Kepemilikan berlimpah informasi, namun tak sesuai syarat jejaring sosial menihilkan pencapaian yang telah diraih. Hanya informasi yang dipersyaratkan jejaring sosial yang jadi ukuran. Sehingga sebanyak apapun informasi yang telah dimiliki, tak ada gunanya jika bukan untuk memenuhi persyaratan jejaring sosial.

Hal ini pula yang terjadi dalam relasi manusia dengan gawai digital yang digunakannya. Di satu sisi, aneka perangkat yang lekat tak terpisah dari tubuh itu, terus memproduksi informasi. Ini menyebabkan ketersediaan informasi berlimpah.

Mulai informasi tentang peristiwa remeh temeh, tentang tujuan wisata yang menarik, tentang jenis kuliner yang baru, tentang perkembangan teknologi yang mutakhir, tentang laga olah raga yang seru, tentang temuan material perawatan wajah yang menjanjikan, tentang skandal yang menimpa pesohor.

Juga, tentang tontonan-tontonan yang baru diluncurkan, berikut kelompok penghiburnya yang bakal manggung. Informasi itu juga membahas peristiwa-peristiwa yang mengoyak kesadaran dan menguras emosi. Sekali klik gawai digital, semua informasi memancar deras tak terbendung.

Di sisi lain, di tengah kelimpahan itu justru terjadi kelangkaan perhatian terhadap informasi yang berlalu lalang. Perhatian terseleksi pada tema-tema informasi tertentu. Pada media sosial, bentuk kelangkaan itu berupa jatuhnya perhatian pada yang trending topic atau yang viral saja. Sedangkan aneka wujud informasi: teks, suara, gambar, video atau kombinasinya, sekedar mengkamuflase pengulangan, pengulasan, penyajian pada tema yang ‘itu-itu saja’.

Demikian pula kehadiran informasi di berbagai bentuk media, menjadikan jumlahnya nampak berlimpah namun variabilitasnya rendah. Perhatian berputar pada topik yang terbingkai oleh ketertarikan massal. Ini yang disebut paradoks kelimpahan informasi.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait