URguide

Romantisasi Depresi Lagi Tren di Kalangan Milenial, Begini Kata Psikolog!

Shelly Lisdya, Sabtu, 5 Desember 2020 15.07 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Romantisasi Depresi Lagi Tren di Kalangan Milenial, Begini Kata Psikolog!
Image: Ilustrasi depresi. (KLEITON Santos dari Pixabay)

Malang - Kalau menoleh ke belakang pada satu dekade lalu, remaja biasanya mencurahkan hatinya atau istilah bekennya curhat dengan menulis di buku diary.

Namun, di era digitalisasi ini, media sosial menjadi tempat curhat bagi generasi milenial. Dimulai dari curhatan putus cinta, gagal berkarier, masalah keluarga hingga permasalahan yang kompleks.

Banyak ditemui di media sosial baik Twitter, Instagram maupun TikTok, generasi milenial antara usia 15 hingga 30 tahun menceritakan kesedihannya. Bahkan mereka pun mengklaim dirinya tengah mengalami depresi karena masalah hidup.

Belum konsultasi ke psikiater tapi mengklaim dirinya depresi?

Ya, istilah ini disebut dengan romantisasi depresi. Sebagaimana telah diberitakan Urbanasia berjudul 'Romantisasi Depresi, Terlalu Gampang Klaim Diri Lagi Depresi'. Biasanya, mereka hanya akan menarik perhatian netizen lainnya.

Memamerkan atau memposting kedepresian diri dianggap dapat memungkinkan orang lain akan mengasihani, tetapi sebagian besar netizen justru menjadi tidak nyaman.

1607062887-romantisasi-depresi3.jpgIlustrasi depresi. (Freepik)

Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Malang, M. Salis Yuniardi mengatakan, mengunggah diri tengah mengalami depresi sebenarnya sah-sah saja dilakukan oleh semua orang. 

Dengan melakukannya, maka si pengunggah akan lebih merasa bebannya ringan. Dengan melalui media sosial, mereka kemudian mendapatkan feedback positif, baik komen maupun like. Tak sedikit dari mereka yang mendapat dukungan sosial dan membantunya untuk lebih kuat menghadapi beban yang dirasa berat.

Dengan demikian, mereka akan beranggapan 'Ternyata saya berharga dan banyak orang peduli'.

"Setiap orang mungkin saja mengalami stres atau tertekan, atau bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda depresi. Akibat terlalu banyaknya endapan emosi negatif termasuk beban hidup. Oleh karena itu, secara alamiah kemudian kita butuh merembeskan keluar endapan-endapan tersebut, terlebih apabila memang tidak bisa mengeluarkan secara terbuka. Di sinilah terjadi romantisasi depresi sebagai bagian dari mekanisme coping atau upayanya untuk mengurangi endapan emosi negatif tadi," ujar Salis kepada Urbanasia, Sabtu (5/12/2020).

Hanya saja, akan berubah menjadi hal negatif jika mereka si pengunggah yang mengklaim dirinya depresi. Kenapa? karena cara itu terindikasi ada gangguan kepribadian tertentu, seperti bisa jadi narsistik, histrionik, ataupun kepribadian ambang. 

"Kalau pun seseorang melakukan romantisasi depresi atau mengeluhkan kondisi psikologisnya sebagai upaya mencari-cari perhatian guna memenuhi kebutuhan afeksinya yang berlebih. Dalam hal ini saya senang dengan menyebutnya dramatisasi depresi daripada sekedar romantisasi depresi," tambahnya.

Namun, apabila mereka kecanduan meromantisasi depresi, tanpa sadar dapat membentuk kepribadian menjadi pengeluh, suka cari perhatian publik, dan akhirnya kurang fight saat menghadapi masalah.

"Selain itu bahaya lainnya, apa yang sering kita ucapkan atau tuliskan tentang diri kita itu tidak beda dengan self sugesti yang akhirnya benar-benae membentuk diri kita sebagaimana yang kita harapakan atau sugestikan tadi," beber Sulis.

1607062867-romantisasi-depresi2.jpgIlustrasi depresi. (Freepik)

Sulis pun mencontohkan "saya petarung yang tidak mudah menyerah" kalimat tersebut kerap kali diucapkan, maka bisa jadi motivasi. Sebaliknya "saya ini lemah dan depresi" dan terus-terus diulang-ulang. Ia menilai, maka akan jadi suntikan demotivasi yang dahsyat untuk menghancurkan diri sendiri.

Untuk itu, Salis mengimbau apabila terjadi masalah dalam hidup untuk berhenti bermain media sosial. Selain boleh saja curhat melalui media sosial, namun bicara terbuka atau secara langsung menyelesaikan masalah tentu jauh lebih positif dan paling tepat.

"Jadilah generasi yang selalu positif, memandang diri dan masa depan. Jika emosi negatif, sebaiknya stop dulu bermain sosmed. Itu tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah, tapi bisa jadi bikin sosial support yang kita dapat malah menjadi komen negatif yang akan semakin memperburuk kondisi kita malahan," imbaunya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait