URedu

Sederet Catatan Kritis Perguruan Tinggi di Indonesia soal UU Cipta Kerja

Nivita Saldyni, Selasa, 6 Oktober 2020 13.56 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sederet Catatan Kritis Perguruan Tinggi di Indonesia soal UU Cipta Kerja
Image: Ilustrasi unjuk rasa penolakan Omnibus Law. (Instagram @rumahjuangrakyat)

Jakarta – Sejumlah mahasiswa hingga guru besar dan dekan dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia dengan lantang menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah diparipurna, Senin (5/10/2020).

Bahkan berbagai catatan kritis terkait penolakan ini pun telah disampaikan sejak awal tahun 2020.

Berikut Urbanasia rangkum sejumlah catatan kritis dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia yang menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja:

1. Tim FH UGM Usul RUU Cipta Kerja Disusun Ulang dengan Melibatkan Unsur Masyarakat

Pada 13 Maret 2020, dosen dan mahasiswa di Fakultas Hukum (FH) UGM telah menerbitkan sebuah Kertas Kebijakan : Catatam Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja. Kertas kebijakan itu disusun oleh Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., Dekan FH UGM bersama sembilan orang rekan lainnya yang tergabung dalam Tim FH UGM.

Dalam kertas kebijakan itu, Tim FH UGM memaparkan beberapa permasalahan penting ada dalam 11 cakupan bidang dalam RUU tersebut. Mulai dari bidang penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, penerapan sanksi, pertanahan dan yang terkait, investasi pemerintah dan percepatan strategis nasional, kawasan ekonomi, serta kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan bagi UMK-M dan koperasi.

Adapun dalam kertas kebijakan itu tim menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja memiliki permasalahan-permasalahan krusial apabila ditinjau dari aspek metodologis, paradigm dan substansi pengaturan dalam bidang-bidang kebijakan. Tim juga menilai bahwa upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mewujudkan pembangunan harusnya tak mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Kemudian, tim juga menemukan kontradiksi bahwa RUU ini dibuat untuk mengatasi permasalaan over-regulated dan over-lapping pengaturan di bidang terkait pembangunan dan investasi, namun RUU ini sendiri pula mensyaratkan adanya 500-an aturan turunan sehingga berpotensi melahirkan hyper-regulated dan pengaturan yang jauh lebih kompleks.

Bahkan, kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU ini juga tak lepas dari sorotan. Sehingga harusnya pemerintah tak mengabaikan partisipasi publik untuk sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

“Oleh karena itu, Tim FH UGM merekomendasikan bahwa RUU Cipta Kerja perlu ditarik kembali oleh pemerintah karena membutuhkan penyusunan ulang dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat di dalamnya,” tutup Tim FH UGM.

2. BEM FH Undip Nilai Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan Paling Terdampak

Dalam Kajian ‘Menggugat Omnibus Law: Lingkup Ketenagakerjaan’, BEM FH Universitas Diponegoro (Undip) membongkar pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Mulai dari pasal tenaga kerja asing, perijinan kerja waktu tertentu, alih daya perusahaan, waktu kerja dan istirahat, pengupahan, pemutusan hubungan kerja, hingga jenis program jaminan sosial.

Mereka menilai, dalam RUU tersebut klaster ketenagakerjaan menjadi yang paling terdampak. Menurutnya, hadirnya RUU Cipta Kerja akan mengubah bahkan menghapus sejumlah regulasi dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dikhawatirkan aka menimbulkan berbagai polemik.

1601967497-penolakan-omnibuslaw.jpgIlustrasi unjuk rasa penolakan Omnibus Law. (Instagram @rumahjuangrakyat)

Proses yang terburu-buru dan tidak melibatkan pihak pekerja/buruh dalam perancangannya membuat RUU ini dinilai jadi alasan munculnya berbagai penolakan.

“Pemerintah seharusnya paham akan konsekuensi dari negara berdemokrasi bahwa harus banyak mendengar dan melibatkan masyarakat luas dengan harapan hasil dari pro-aktif tersebut dapat menjadi bahan untuk menyusun ulang klaster Ketenagakerjaan ini,” kata mereka.

“Karena tidak mungkin apabila ingin meningkatkan ekonomi dan investasi tanpa memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan untuk segala pihak, sesuai dengan sila kelima Pancasila yakni ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’,” tutupnya.

3. Lumpuhnya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Perhatian BEM FH UI

Tak jauh berbeda dari kajian-kajian sebelumnya, Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) juga menyoroti berbagai masalah lingkungan hidup yang terancam jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Mulai dari berubahnya perizinan berusaha menjadi berbasis risiko dengan tidak jelasnya indikator risiko, penghapusan izin lingkungan menjadi persetuuan lingkungan, kriteria AMDAL yang dihilangkan dan AMDAL harus berdampak penting bagi banyak sektor, serta pelemahan terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.

Mereka juga membahas soal strict liability (tanggung jawab mutlak) terkait kebakaran hutan yang dihilangkan, kembalinya sentralisasi oleh pemerintah pusat dan berkurangnya partisipasi masyarakat dan kearifan lokal, perencanaan tata ruang wilayah yang mengesampingkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, penindakan permasalahan lingkungan yang melemah, hingga dampak lingkungan jika RUU Cipta Kerja disahkan.

“Hak lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah tertera pada konstitusi maupun UU PPLH. Namun jika Omnibus Law RUU Cipta Kerja benar-benar disahkan, maka ha katas lingkungan hidup yang baik dan sehat akan sulit terpenuhi,” kata mereka.

Alasannya jelas, Omnibus Law klaster Cipta Kerja memiliki sejumlah permasalahan seperti yang telah disampaikan di atas dan berdampak buruk bagi lingkungan. Lagi-lagi, masalah pembangunan berkelanjutan juga menjadi perhatian BEM FH UI.

“Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini tidak melanggengkan prinsip sustainable development dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup untuk generasi saat ini dan di masa depan. Karena Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih jauh dari kata memuaskan bagi segi formil maupun materiil, menolaknya untuk saat ini adalah keputusan terbaik, hingga keterbukaan yang dapat menampung aspirasi rakyat tercipta dan diterima,” tutupnya.

4. BEM FISIP UI Nilai RUU Omnibus Law untuk Ketenagakerjaan Menindas Buruh dan Memanjakan Pengusaha

Hal yang sama juga menjadi perhatian mahasiswa yang tergabung dalam Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). Dalam ‘Tinjauan RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan : Memnindas Buruh, Memanjakan Pengusaha’, BEM FISIP UI menyoroti tujuh permasalahan yang menjadi perdebatan dalam RUU tersebut.

Mulai dari RUU yang dinilai terlalu berpihak pada pengusaha, adanya revisi hingga pencabutan sejumlah pasal yang mengancam kesejahteraan pekerja, hilangnya berbagai hak cuti, jam kerja buruh yang tak jelas, sistem outsourcing, PHK sepihak, hingga dominasi pemerintah pusat dan arah UMR yang tak jelas.

“RUU Omnibus Law klaster ketenagakerjaan yang mengubah UU No. 13 tahun 2003 akan benar-benar menindas buruh dan memanjakan pengusaha. Penghapusan pasal-pasal yang ada telah banyak membuktikan bahwa negara akan mangkir dalam urusan mengenai ketenagakerjaan dan menyerahkan urusan ini pada pengusaha,” tulis tim BEM FISIP UI.

Menurut mereka, pemerintah harusnya bisa mempertimbangkan cara lain jika memang benar-benar ingin mendongkrak perekonomian nasional. Salah satunya lewat perluasan produksi di sektor manufaktur dan konstruksi, meingkatkan kualitas SDM, ataupun mengemban usaha industri kecil dan padat karya. Pun dengan usaha pemerintah untuk mengurangi tingkat pengangguran.

“Penyusunan RUU Omnibus Law oleh pemerintah – elit politik – telah menegaskan bahwa dimana posisi keberpihakan mereka berada pada seluruh kepentingan elit ekonomi dan politik dengan mengesampingkan kebutuhan masyarakat luas,” tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait