URnews

Selamat! Indonesia Dinobatkan Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia

Anisa Kurniasih, Kamis, 17 Juni 2021 14.11 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Selamat! Indonesia Dinobatkan Jadi Negara Paling Dermawan di Dunia
Image: Ilustrasi donasi (jcomp/Freepik)

Jakarta - Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia oleh Badan amal Charities Aid Foundation (CAF). Laporan tersebut berdasarkan World Giving Index (WGI) yang dikeluarkan pada Senin 14 Juni 2021. 

The World Giving Index (WGI) adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation (CAF), menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang.

Indonesia berada di peringkat pertama dalam daftar negara dermawan dengan skor indeks keseluruhan 69 persen, naik dari 59 persen pada indeks tahunan terakhir yang dikeluarkan tahun 2018.

Menurut laporan WGI, Indonesia menempati peringkat teratas dalam partisipasi memberikan sumbangan uang dengan persentase orang yang menyumbangkan uang sampai 83 persen dan menempati posisi tertinggi dalam partisipasi pada kegiatan kesukarelawanan (60 persen).

Hasil penelitian CAF menunjukkan lebih dari 8 dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada tahun ini. Sementara tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari rata-rata tingkat kerelawanan dunia.

Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan bahwa pandemi dan krisis ekonomi tidak menghalangi masyarakat Indonesia untuk berbagi. Pandemi dan krisis, menurut dia, justru meningkatkan semangat masyarakat untuk membantu sesama.

"Yang berubah hanya bentuk sumbangan dan jumlahnya saja. Masyarakat yang terkena dampak tetap berdonasi uang meski nilai sumbangan lebih kecil, atau berdonasi dalam bentuk lain, seperti barang dan tenaga," katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/6/2021).

"Di beberapa Lembaga sosial dan filantropi jumlah donasi tetap naik, meski peningkatannya tidak setinggi pada saat normal," kata Hamid menambahkan.

"Hal ini terbukti dari temuan WIG yang menunjukkan bahwa donasi berbasis keagamaan (khususnya zakat, infak, dan sedekah) menjadi penggerak utama kegiatan filantropi di Indonesia di masa pandemi," katanya.

Hamid menilai keberhasilan Indonesia untuk mempertahankan posisinya sebagai bangsa pemurah didukung oleh beberapa faktor.

Pertama, kuatnya pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal yang berkaitan dengan kegiatan berderma dan menolong sesama di Indonesia. Hal ini terbukti dari temuan WGI yang menunjukkan bahwa donasi berbasis keagamaan (khususnya zakat, infaq dan sedekah) menjadi penggerak utama kegiatan filantropi di Indonesia di masa pandemi.

Kedua, kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Harus diakui pandemi memukul sektor ekonomi yang juga berdampak pada daya beli dan kapasitas menyumbang masyarakat.

Namun, dibandingkan negara-negara lain, kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai lebih baik sehingga tidak berdampak buruk pada kondisi ekonomi.

1623913436-donasi-Freepik.jpgSumber: Ilustrasi donasi (Freepik/Freepik)

CAF mencatat beberapa negara yang salah menerapkan kebijakan penanganan pandemi posisinya dalam WGI 2021 merosot dibanding sebelumnya karena berdampak pada sektor ekonomi dan kapasitas menyumbang masyarakat.

Ketiga, pegiat filantropi di Indonesia relatif berhasil dalam mendorong transformasi dari kegiatan filantropi konvensional ke digital. Berbagai kendala dalam penggalangan donasi di masa pandemi karena adanya pembatasan interaksi dan mobilitas warga berhasil diatasi sehingga tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan filantropi.

Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah donasi di lembaga filantropi yang menggunakan platform digital, khususnya pada saat pandemi.

Keempat, meningkatnya peran dan keterlibatan kalangan muda dan key opinion leader/influencer dalam kegiatan filantropi.

Keterlibatan mereka membuat filantropi bisa dikemas dan dikomunikasikan dengan popular ke semua kalangan, khususnya anak muda. Namun, di tengah prestasi yang menggembirakan itu, ada sejumlah PR yang harus diatasi dalam rangka memajukan filantropi Indonesia.

Hamid menyebut potensi filantropi di Indonesia yang cukup besar belum tergalang optimal karena pola menyumbang masyarakat yang masih direct giving dan belum terorganisir dengan baik. Masyarakat lebih suka menyumbang langsung ke individu penerima manfaat dibandingkan ke organisasi sosial.

Donasi untuk kegiatan keagamaan, penyantunan dan pelayanan sosial juga masih dominan dibandingkan program-program yang sifatnya jangka panjang, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pelestarian lingkungan, dsb.

Selain itu, pengembangan filantropi di Indonesia belum didukung dengan data yang memadai karena pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya belum punya kesadaran pentingnya data dalam pengembangan filantropi.

“Yang lebih ironis, kegiatan kerelawanan kita yang dalam WGI dinyatakan lebih banyak dari tiga kali rata-rata global belum mendapatkan dukungan dan perlindungan. Banyak relawan yang bekerja tanpa perlengkapan yang memadai serta tidak mendapatkan jaminan sosial. Relawan atau pegiat kemanusiaan tidak dimasukkan pada kelompok yang mendapat prioritas utama untuk mendapatkan vaksin. Padahal, pada saat pandemi ribuan relawan dan pekerja kemanusiaan terjun langsung membantu masyarakat yang membuat mereka berpotensi terpapar COVID-19”, katanya.

Di luar faktor pendukung tersebut, Hamid menyebut regulasi filantropi dan insentif perpajakan sebagai faktor yang kurang mendukung, bahkan menghambat sektor filantropi Indonesia. Regulasi terkait filantropi sudah ketinggalan zaman, kurang apresiatif dan cenderung restriktif terhadap kegiatan filantropi.

Sementara kebijakan insentif pajak yang biasanya menjadi faktor pendorong kegiatan filantropi juga ketinggalan dibandingkan kebijakan insentif pajak di negara-negara lain.

Insentif pajak belum menjadi pendorong warga untuk berdonasi karena cakupannya terbatas, jumlah insentif yang kecil, serta ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam penerapannya.

“Itu yang membuat masyarakat enggan untuk mengakses insentif pajak kita pada saat mereka menyumbang”, ringkas Hamid.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait