URnews

Serangan pada Kebenaran Itu Bernama 'Deepfake'

Firman Kurniawan S, Senin, 11 Juli 2022 12.21 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Serangan pada Kebenaran Itu Bernama 'Deepfake'
Image: Ilustrasi. (Pixabay)

SERANGAN terhadap kebenaran sepanjang sejarah peradaban manusia tak pernah surut. Alih-alih nihil, justru muncul bentuk-bentuk baru. Demikian yang terjadi hari ini. Era teknologi informasi membawa manusia pada perkembangan yang spektrum manfaatnya tak tentu arah. Ini menjebak, memasukan manusia pada relung kegelapan yang tak jelas titik akhirnya.

Begini gambarannya: makin intensif penggunaan media digital sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi, menjadikan manusia malas menelaah kebenaran. Massifnya produksi dan distribusi informasi, mendudukkan manusia pada banjir informasi. Dalam kondisi ini, jalan pintas menilai kebenaran sebatas pada pendapat yang banyak diikuti orang. Bukannya menemukan fakta obyektif, pendapat dengan banyak pendukunglah yang dianggap benar. Ini yang disebut sebagai post truth.

Era teknologi informasi menjadikan post truth sebagai serangan serius bagi kebenaran. Kamus Oxford yang memasukkan lemma post truth di tahun 2016, memberikan pengertian post truth sebagai fenomena, di mana kebenaran tak lagi berpijak pada fakta obyektif. Kebenaran lebih dibangun oleh jejaring emosi orang-orang dengan pendapat sama. Aplikasinya, tak penting lagi menilai pemenang kontes bernyanyi dari suara dan teknik berlagunya yang benar. Sehingga ketika Sang Pemenang mestinya adalah produsen nyanyian yang enak dinikmati, justru pemenangnya adalah kontestan yang mampu mendulang dukungan dalam jumlah terbanyak.

Entah berkah atau kutukan, manakala terhadap post truth belum didapat jalan keluar meminimalisasi dampaknya, perkembangan teknologi menghasilkan perangkat yang disebut deepfake. Teknologi ini mampu memproses data seseorang, berupa ekspresi wajah, kata-kata, perilaku maupun ekspresi emosi lainnya, untuk diolah oleh machine learning dan artificial intelligence. Produk dari deepfake, dapat diekspresikan secara identik oleh orang lain.

Kietzmann, Lee & McCarthy (2020) menguraikan deepfake kurang lebih sebagai teknologi peniruan, yang pada prosesnya orang pada gambar maupun video diganti oleh orang lain. Hasilnya, merupakan olahan machine learning dan artificial intelligence yang dapat menghasilkan konten visual maupun audio yang menipu.

Senada dengan pengertian ini, Ivy Wigmore (2020) menyebut deepfake sebagai (hasil) kecerdasan buatan yang digunakan untuk membuat gambar, audio, dan video yang meyakinkan. Ini juga berarti, teknologi yang menghasilan konten dari deep learning, namun palsu.

Wigmore lebih lanjut mencontohkan produk-produk deepfake yang cukup populer, misalnya ketika badan amal kesehatan di Inggris, menggunakan David Beckham untuk menyampaikan pesan anti malaria. Pesan yang disampaikan dalam sembilan bahasa, namun tentu saja yang tampil bukan Beckham. Hanya penampilnya yang identik dengan Beckham. Produk deepfake popular lainnya seperti Elon Musk yang digunakan untuk mempromosikan penipuan kripto, Barack Obama yang memaki Donald Trump, atau video 61 detik Nagita Slavina.

Wigmore melanjutkan, hasil deepfake akan jadi bahaya, manakala diniatkan untuk tujuan jahat: menyebarkan informasi dari sumber terpercaya, namun isinya palsu. Ancaman bahaya itu hampir jadi kenyataan, manakala deepfake menghasilkan permintaan meletakkan senjata oleh pasukan Ukraina dan pernyataan kalah perang terhadap Rusia. Audio dan visualisasi palsu, yang disampaikan Pemimpin Ukrania, Volodymyr Zelensky.

Secara nyata, dampak psikologis deepfake terbentuk oleh mudahnya produksi dan distribusi video yang tak benar-benar terjadi, namun tak dapat dibedakan dari video nyata. Kesimpulan itu dikemukakan oleh Hancock & Bailenson (2021) yang diterbitkan oleh Lieberpub.com. Dari manipulasi peristiwa yang sesungguhnya tak pernah ada itu, secara psikologis menciptakan kebingungan terhadap status peristiwa yang divisualisasikan. Ujungnya, kepercayaan pada media pembawa pesan akan tergerus.

Kedua penulis itu melanjutkan, inti deepfake adalah penipuan yang dengan sengaja dan sadar bertujuan menyesatkan orang lain. Manakala produksi pesan yang menyesatkan lebih mudah dilakukan dibanding kemampuan penerima pesan untuk mendeteksi kepalsuan, maka yang terbentuk adalah keyakinan yang salah. Banyaknya orang dengan keyakinan yang salah, tentu jadi implikasi sosial yang buruk.

Celakanya, demikian kira-kira ungkapan lebih lanjut Hancock & Bailenson: ketika pesan teks demikian mudah dipalsukan, pesan visual lewat kecanggihan photoshop dapat dimanipulasi, maka benteng terakhir tertumpu pada pesan video. Pada pesan video tampilan orang yang menyampaikan pesan, hadir dalam kombinasi audio dan video. Itu kekuatannya. Namun, hadirnya deepfake mencabik-cabik pertahanan terakhir itu. Manakala mimik wajah dan intonasi yang merupakan bagian mikro dari pesan dapat dipelajari dan ditirukan secara akurat, maka tak ada lagi yang tak dapat dimanipulasi. Kebenaran apa yang tersisa dari serangan manipulasi, ketika semuanya dapat dihadirkan dalam bentuk tiruannya?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait