URtrending

Ketika Terbelenggu dalam 'Penjara' Pemberian

Firman Kurniawan S, Jumat, 5 Juni 2020 21.36 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Ketika Terbelenggu dalam 'Penjara' Pemberian
Image: Ilustrasi mendapat parcel/hampers. (freepik)

Jakarta - Jangan terlalu gembira memperoleh hadiah, baik berupa hampers, parcel yang berisi paket skincare, makanan, shopping voucher, kumpulan buku bacaan, tiket nonton, atau apapun yang menyenangkan diri. Benda-benda ini, lazim diperoleh lewat pembelian.

Namun karena konteksnya hadiah, justru penerima tak mengeluarkan uang sepeser pun. Benda-benda itu justru diperoleh secara gratis.

Pemberi, posisi relasinya terhadap penerima adalah orang yang sudah dikenal seperti teman bisnis, rekan kelompok belajar, teman gym, sanak kerabat, bahkan mungkin kekasih, atau pasangan hidup, suami atau istri. 

Marcel Mauss, dalam bukunya yang banyak dibahas oleh kalangan akademisi dunia, The Gift, diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Inggris tahun 1954. Buku ini dikembangkan dari essay-nya di bidang Sosiologi yang sangat berbatasan dengan Anthropologi, terbit tahun 1925.

Buku ini kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, sebagai Pemberian, 1992. Isinya, menguraikan tentang adanya struktur sosioanthropologis di balik suatu pemberian. Marcel Mauss adalah seorang sosiolog yang tekun dalam menggeluti kehidupan suku-suku asli di berbagai pedalaman dunia. 

Uraiannya mengantar pada kesadaran pembacanya, jika pemberian dimaknai secara dalam, material ini tak ubahnya adalah penjara seumur hidup bagi penerimanya.

Disebut penjara, sebab pemberian baru membebaskan sang penerima manakala ia membalasnya dengan material yang sepadan atau lebih tinggi nilainya. Sedangkan bagi sang pelaku, pemberian tak ubahnya adalah investasi. Ini berbeda dengan barter yang pertukarannya dilakukan di waktu yang sama, dengan nilai yang disepakati masing-masing pihak.

Dalam pemberian, pertukaran atau tepatnya pengembalian dilakukan di waktu yang berbeda. Bahkan perbedaan itu dapat melintasi beberapa generasi turun-temurun, namun nilai pengembaliannya sepadan atau lebih tinggi. Pemberian yang berkembang nilainya saat dilakukan pengembalian, bukankah ini sesuai prinsip investasi?

 Dalam hubungan memberi dan mengembalikan, bisa saja penerima mengabaikan keharusan ini. Namun resiko yang harus ditanggungnya adalah kehormatan yang terkikis. Seperti dalam pernyataan Mauss berikut ini:

“Pemberian-pemberian selalu diterima dan disyukuri. Anda harus mengatakan rasa syukur Anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk Anda. Tetapi pada saat yang sama Anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian itu di punggung. Anda menerima makanan yang diberikan kepada Anda, karena Anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa Anda bukanlah seseorang yang tak ada harganya”.

Dan harga dari sang penerima, manakala pemberian itu diberikan di waktu lain sebagai balasan.

Tulisan saya ini disusun, menanggapi pertanyaan seorang mahasiswa tentang maraknya gejala pemberian di sekitar Bulan Maret-Mei dan mungkin masih berlangsung hingga hari ini.

Di tengah pandemi Covid-19 yang mengharuskan banyak pekerja, mahasiswa maupun pelajar berkegiatan di rumah, sangat kerap dijumpai posting di Ig story, dengan tema kirim-mengirim pemberian. Uniknya, aktivitas sosial ini tak berhenti sampai di situ.

Penerima seakan “wajib” menayangkan di akun ig story-nya, kiriman yang telah diterima beserta nama pengirim pemberian. Motifnya tentu saja berterima kasih. Namun gejalanya yang cukup kerap, menarik perhatian untuk dibahas, dan menghasilkan pertanyaan kepada saya, “Ada apa ini ?”.

Kembali pada uraian tentang pemberian Marcel Mauss, pada suku-suku bangsa asli yang hidup di berbagai belahan dunia yang ditelitinya, terdapat kebiasaan untuk memberikan dan menerima potluck. Potluck bisa berupa bahan makanan, perhiasan dari taring-taring binatang, alat perlindungan diri ataupun perangkat peperangan.

Pemberi melakukan aktivitasnya dilatari berbagai motif. Di antaranya, sebagai ungkapan rasa syukur, atas kehidupan yang ditempuhnya. Karenanya, pemberian tabu untuk ditolak pihak penerima. 

Dalam hubungan pemberi dengan penerima, relasinya  sepadan. Sama-sama kepala suku, tetangga dalam kekerabatan antar suku atau pasangan hidup. Pemberian pada pasangan hidup, termasuk pemberian suami pada istrinya, dalam uraian panjang Mauss, merupakan motif balasan atas layanan seksual yang telah diberikan istri kepada suaminya.

Pemberian suami adalah bayaran atas layanan yang telah diberikan istrinya. Ini tentu saja menciptakan sirkuit pemberian dan layanan yang tak ada ujungnya. Sampai suatu pasangan berpisah, mengakhiri relasi. Sedangkan untuk pemberian yang diberikan kepada pihak lain yang tak sepadan, biasanya lebih rendah tingkat sosial ekonominya, dilakukan dengan motif membantu pihak yang diberi.

Dalam pemberian tipe ini, tak diharapkan adanya balasan. Mauss menamai pemberian ini dengan konsep sadaqah, yang dipelajarinya dari suku-suku yang berlatar belakang budaya Islam.

Nampaknya, relasi memberi, menerima, membalas dan menyertakan value yang sepadan atau lebih tinggi dari pemberian, tak berubah manakala manusia hari ini berada dalam kehidupan berbudaya digital. Terhadap pemberian yang sifatnya bendawi, memang tak selalu dibalas dengan kebendawian yang sifatnya sama.

Ketika material utama masyarakat berbudaya digital, berupa informasi, maka tak heran jika balasan pemberian juga berupa informasi. Bukankah posting di ig story yang menyebut  akun pengirim adalah informasi ? Dan berkat informasi itu, setidaknya eksistensi pemberi akan beredar di kalangan follower yang diberi? Ah kamu itu, gitu amat memaknai pemberian.

Dan mengutip pendapat seorang filsuf kenamaan Perancis yang juga tersohor:

“Kalau semua pemberian berharap balasan, terlebih sebagai investasi, karenanya balasan harus sepadan bahkan lebih, lalu di mana ketulusan ?”(*)

 

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait