URnews

Kupas Tuntas UU Penyiaran: Pengaturan dan Kedaulatan

Firman Kurniawan S, Sabtu, 5 September 2020 19.00 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kupas Tuntas UU Penyiaran: Pengaturan dan Kedaulatan
Image: Ilustrasi Live. (Freepik)

Jakarta - Ayat-ayat dari Undang-undang Penyiaran no 32 tahun 2002 ini, perlu dipahami seksama, sebelum wacananya jadi simpang siur terkait gugatan 2 lembaga penyiaran ke Mahkamah Kostitusi, beberapa saat lalu. 

Pada undang-undang tersebut, tentang siaran termuat di Pasal 1  ayat 1 :  Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

Dari ayat ini, siaran dapat ditafsir sebagai penyebarluasan konten apapun sebagai pesan, bahkan dalam bentuk multimedia untuk disebarluaskan agar diterima, melalui perangkat siaran. Implikasinya, terutama ketika menggunakan pengertian lazim ilmu komunikasi, penyampaian pesan kepada khalayak yang diterima melalui perangkat siaran dalam berbagai bentuk, bukan hanya lewat Youtube maupun Instagram, berarti siaran. Maka dengan tafsir ini, akan runyam.

Sebab di ruang-ruang kelas pun, di mana siswa dan mahasiswa beraktivitas menerima pesan, apalagi saat pandemik dilangsungkan melalui perangkat zoom, maupun perangkat penerima lainnya, berarti beraktivitas siaran.

Demikian juga dengan kegiatan mempersuasi khalayak lewat demonstrasi produk atau presentasi, sales person maupun agen asuransi, juga memenuhi unsur siaran. Karenanya harus punya ijin siaran, sebagai lembaga penyiaran, sebelum menjangkau khalayak.  

Namun tak demikian rupanya. Pada ayat 2 nya, diuraikan lebih lanjut: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

Siaran menurut ayat ini, bukan aktivitas komunikasi umum. Tak semua aktivitas menyebarluaskan pesan kepada khalayak, serta merta disebut siaran. Walaupun dalam pengajaran di ruang-ruang kelas, maupun demontrasi produk, unsur dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat, terpenuhi. Namun tiadanya kegiatan yang menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya, tak terpenuhi.

Kegiatan-kegiatan itu bukan penyiaran yang dimaksud UU. Pengertian siaran dalam UU Penyiaran di atas nampak mengacu pada pendapat John Durham Peters, 1999 dalam Speaking into the Air, yang menyebut penyiaran adalah distribusi konten audio atau video kepada khalayak, yang tersebar melalui media komunikasi massa elektronik. Ini biasanya menggunakan spektrum elektromagnetik, gelombang radio, dalam model dari satu penyiar, ke banyak penerima.

Lalu apakah konten IG live maupun Youtube live, tak memenuhi unsur sebagai material siaran ? Beberapa pihak, secara teknis mengkategorikan material konten yang didistribusikan lewat internet tak masuk katagori broadcast. Ia dipancarkan lewat pita transmisi yang lebih lebar, broadband. Sehingga kapasitas dan kecepatannya juga jauh lebih besar dari broadcast.

Broadband adalah transmisi data bandwidth lebar yang mampu mentransmiskan banyak sinyal dan jenis pertukaran informasi. Mediumnya bisa berupa kabel koaksial, fiber optik, maupun radio. Lebih lanjut Verizon, 2020 menyebut, broadband adalah transmisi data bandwidth lebar, melalui koneksi internet berkecepatan tinggi.  

Yang menurut Federal Communications Commission (FCC) Amerika Serikat, berada dalam jangkauan minimal unduhan 25 Mbps, dan kecepatan unggahan 3 Mbps. Broadband menyediakan akses internet kecepatan tinggi, lewat berbagai teknologi seperti serat optik, nirkabel, kabel, DSL, dan satelit.

Pengertian teknis ini, secara popular disebut sebagai layanan over the top (OTT): bentuk layanan aplikasi maupun konten, lewat internet. Di dalamnya bisa termasuk material IG live, Youtube live, Whatsapp, Twitter, Facebook. Line, termasuk Netflix. Berbagai material yang sehari-hari dapat dinikmati lewat platform berbasis internet dan pelaku bisnis OTT global, contohnya Google, Facebook maupun Netflix.

Pelaku-pelaku global inilah yang bersaing, berhadapan langsung dengan industri konvensional pers maupun penyiaran, termasuk 2 perusahaan yang mengajukan gugatan ke MK.

Persoalannya, untuk sepakat atau tak sepakat terhadap gugatan yang diajukan 2 perusahaan itu, tak cukup hanya mengandalkan pengertian-pengertian yang terkandung dalam ayat-ayat UU Penyiaran.

IG live, Youtube live, Netflix maupun bentuk-bentuk penyebaran konten lainnya, yang nampak makin marak di masa pandemi ini, memang terutama bukan menggunakan fasilitas broadcast.

Kegiatan itu menggunakan sarana broadband. Namun dilihat dari implikasi maupun jangkauannya, tak beda dengan siaran konvesional. Bahkan banyak radio maupun TV konvensional, memperluas jangkauannya secara streaming dengan fasilitas broadband. Apakah dengan demikian berarti UU tak kuasa lagi mengaturnya, lantaran beda definisi sarana penyebaran?

Nampak ada spektrum pemahaman yang berbeda soal isu yang dibicarakan. Bahwa semua aktivitas yang sekatagori IG live, Youtube live, Whatsapps, distribusi film lewat Netflix, merupakan konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tak terhindarkan. Demokratisasi produksi dan distribusi informasi adalah keniscayaan.

Siapapun yang punya akses internet, berhak memproduksi dan menditribusikan konten. Maka gagasan untuk mengatur produksi dan distribusi konten, lantaran tak semua pemilik akun bukan lembaga penyiaran, akan dipandang sebagai penghambat kebebasan berekspresi.

Jika negara menyetujui gugatan ini pun, akan dinilai sebagai perebut kebebasan, hingga di tingkat individu, seraya melanggengkan kekuatan industri. Ini adalah gejala hilir. 

Namun jika dikaji, naik ke tingkat hulu, Youtube, Instagram, Netflix dan sejenisnya, adalah pelaku industri yang tak beda dengan perusahaan-perusahaan di industri pers dan penyiaran. Terhadap perusahaan-perusahaan pers dan penyiaran konvensional, berlaku demikian banyak aturan.

Menyangkut kode etik, pedoman perilaku siaran, distribusi konten, hingga perpajakan. Namun mengapa pada perusahaan berkatagori OTT, yang muatan kontennya bisa mengandung kebencian, hoaks, disinformasi, negara nampak sering dibuat tak kuasa mengaturnya?

Bahkan mekanisme negara untuk menarik pajak pada Netflix dan Google, baru berlaku beberapa bulan lalu. Persoalan pengaturan hulu adalah persoalan keberadaan negara, dengan kedaulatannya. Jika tak sesuai dengan nilai yang dianut negara, siapa bilang tak boleh diatur?

 

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait