Mengupas Mitos dan Fakta tentang BPA, Benarkah Seberbahaya Itu?
Jakarta - Bisphenol A atau yang biasa disebut dengan istilah BPA menjadi perbincangan luas dalam beberapa waktu terakhir. Zat kimia yang banyak ditemukan dalam kehidupan manusia itu disebut-sebut sangat berbahaya bahkan menimbulkan penyakit seperti kanker.
Hanya saja, isu yang beredar ini tidak didasarkan pada fakta penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Alhasil, isu tentang bahaya BPA menjadi bola liar di masyarakat luas.
Lalu seperti apa sih fakta dan mitos tentang BPA sebenarnya? Benarkah zat kimia ini seberbahaya itu bagi kesehatan manusia? Berikut ulasan lengkapnya!
Mengenal Bisphenol A (BPA)
Ahli Polimer ITB, Ir Akhmad Zainal Abidin. (Urbanasia)
BPA adalah zat kimia dasar yang tidak terlepas dari keseharian baik pada barang pakai maupun konsumsi berupa produk makanan dan minuman. Salah satu jenis plastik yang umum digunakan adalah plastik polikarbonat dan resin epoksi.
Produk-produk berbasis BPA terdiri atas sumber makanan (Dietary Sources) dan sumber bukan makanan (Non dietary Sources) seperti botol plastik, botol bayi, mainan anak, kemasan air minum, tempat makan, lensa kacamata, pelapis makanan kalengan, dan sebagainya.
Menurut Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ir Akhmad Zainal Abidin, BPA merupakan zat kimia yang tidak terbentuk secara alami. BPA yang ada di alam, kata dia, bersumber dari proses preconsumer dan postconsumer.
“Preconsumer itu saat proses produksi, seperti buangan limbah industri. Sementara postconsumer melalui pembakaran sampah dan hasil degradasi plastik,” kata Zainal dalam diskusi bertajuk ‘How to Understand BPA Information Correctly di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Zainal menambahkan, konsentrasi BPA di alam bisa ditemukan di hampir seluruh aspek kehidupan. Bahkan, BPA juga terdapat pada ikan segar yang menurut studi memiliki kadar 0,0002 - 12 mg per kilogram (bagian per juta).
Sementara BPA yang kontak langsung dengan manusia bersumber dari produk berbahan plastik polikarbonat, kertas termal, makanan, bahkan hingga bahan tambal gigi berbasis komposit epoksi.
Dalam kesempatan tersebut, Zainal menegaskan bahwa BPA merupakan bahan yang berbahaya, namun tidak mematikan.
“BPA memang bahan berbahaya, tapi bukan bahan mematikan. Sementara isu BPA di Indonesia terlalu besar, bahkan lebih besar dari bahaya bahannya itu sendiri,” terangnya.
Mitos dan Fakta BPA
Ahli Gizi dr. Karin Wiradarma. (Urbanasia)
Dalam kesempatan yang sama, Ahli Gizi dr. Karin Wiradarma mengungkap beberapa fakta tentang BPA. Menariknya, fakta-fakta yang berdasarkan pada penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan ini bertolak belakang dengan isu yang selama ini beredar.
1. Isu Gangguan Hormonal
Menurut Karin, isu BPA pada kesehatan pertama kali muncul pada tahun 1990. Saat itu, muncul dugaan migrasi BPA pada kemasan plastik menyebabkan abnormalisasi kromosom hewan uji.
“Pada 1996, BPA mulai diklaim sebagai senyawa kimia yang bisa mengganggu hormon manusia,” katanya.
Namun fakta penelitian menyebut BPA yang masuk ke tubuh melalui makanan bisa diserap dan dimetabolisme dalam hati membentuk senyawa yang tidak aktif, yaitu konjugat BPA glucuronic acid.
Karin menyebutkan, senyawa tidak aktif tersebut tidak memiliki aktivitas hormonal dan tidak berbahaya. “BPA tidak aktif bersifat larut dalam air, serta dikeluarkan dari tubuh melalui urine,” imbuhnya.
2. Gangguan Perkembangan dan Saraf Anak
Isu ini muncul berdasarkan Badan Pangan dan Obat Amerika Serikat. Disebutkan bahwa bayi menjadi populasi yang paling rentan terhadap BPA. Pasalnya, sistem saraf dan endokrin masih dalam tahap perkembangan.
Selain itu, dijelaskan pula sumber utama paparan BPA pada bayi, yaitu dari BPA yang bermigrasi dari lapisan epoksi kaleng dalam susu formula bayi serta botol susu yang terbuat dari plastik polikarbonat.
Namun, kata Karin, fakta penelitian memang menunjukkan adanya risiko tersebut. Hanya saja studi validasi yang dilakukan masih terbatas pada hewan, sehingga sulit dimaknai secara klinis pada manusia.
3. Penyebab Kanker
Isu BPA menjadi penyebab kanker ini banyak beredar di masyarakat. Disebutkan, BPA memiliki efek seperti estrogen yang diduga berkontribusi pada perkembangan kanker seperti kanker payudara, kanker ovarium, hingga kanker prostat.
Menurut Karin, isu ini juga tidak sejalan dengan temuan penelitian ilmiah. Pasalnya, data epidemiologis menyebut hubungan pajanan BPA dengan kejadian kanker ovarium pada manusia masih terbatas.
“Penelitian pada manusia yang ada saat ini masih terbatas. Selain itu, belum ada penelitian mengenai potensi efek pajanan BPA jangka panjang pada manusia,” imbuh Karin.
4. Pengaruhi Kesuburan
Selain kanker, BPA juga disebut-sebut mempengaruhi kesuburan dan menyebabkan infertilitas pada perempuan. Salah satu sebabnya adalah BPA sering ditemukan pada perempuan infertil, sehingga menimbulkan hipotesis tersebut.
Menurut Karin, studi tentang hal ini yang dilakukan dalam kurun waktu 2013-2022 tidak menemukan adanya hubungan signifikan bahwa BPA bisa menyebabkan infertilitas perempuan.
Dengan beberapa fakta yang tidak sesuai dengan isu yang beredar ini, Karin pun mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya pada isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Kita harus kembali pada literatur dan studi penelitian dengan desain yang valid. Dan sampai saat ini, (studi BPA) masih observasional pada manusia dan eksperimental pada hewan, yang rata-rata sampelnya masih belum banyak,” tandasnya.
Peluncuran Buku ‘Review BPA’
Peluncuran buku Review BPA “How To Understand BPA Information Correctly". (Urbanasia)
Pada akhir sesi diskusi tersebut, turut diluncurkan buku berjudul ‘Review BPA “How To Understand BPA Information Correctly”.
Buku ini merupakan hasil kolaborasi antara Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Anguis Institute.
Menurut Ketua Anguis Institute for Health Education, dr. Nurhidayat Pua, buku ‘Review BPA’ ini disusun dan dipublikasikan sebagai edukasi yang tepat kepada masyarakat terkait dengan apa dan bagaimana BPA itu sebenarnya.
Pasalnya, Dokter Pua menilai masyarakat masih perlu diberikan informasi dan edukasi yang tepat tentang BPA sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran informasi.
“Buku ini bisa menjadi jembatan informasi langsung kepada masyarakat luas dalam menghadapi informasi tentang BPA,” katanya.
Buku Review BPA “How To Understand BPA Information Correctly” disusun dengan metodologi yang dimulai dengan mengemukakan bagan level of evidence.
Ada tiga orang penulis yang terlibat dalam penyusunan buku tersebut, yaitu Evania Astella Setiawan, Karin Wiradarma, dan Nurhidayat Pua Upa sendiri.