URnews

Anggota TNI Dipecat Terkait LGBT, Amnesty Internasional: Itu Diskriminasi

Shelly Lisdya, Jumat, 23 Oktober 2020 22.51 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Anggota TNI Dipecat Terkait LGBT, Amnesty Internasional: Itu Diskriminasi
Image: ilustrasi LGBT. (AARP)

Jakarta - Lekatnya Bhineka Tunggal Ika dan mayoritas penduduk Muslim di Indonesia membuat kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sangat ditentang.

Bahkan, kelompok ini pun tak dapat diterima di mana saja, termasuk lembaga Kepolisian (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Seperti baru-baru ini, 16 anggota TNI dipecat karena diduga menjalankan hubungan sesama jenis atau LGBT.

Namun, dari pengamatan Amnesty, selama ini tidak ada instrumen hukum di Indonesia yang secara terus terang melarang orang dengan orientasi berbeda masuk ke institusi TNI maupun Polri.

Tetapi, Mabes TNI dan Polri mengklaim bahwa orientasi seksual (LGBT) termasuk perbuatan tercela dan tabiat yang dapat merugikan disiplin prajurit.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan putusan pemecatan terhadap 16 anggota TNI yang diduga melakukan hubungan seksual sesama jenis sangat tidak adil dan berbau kebencian terhadap kaum LGBT.

Berdasarkan Undang-Undang TNI ataupun Kepolisian, tidak ada satupun pasal yang menerangkan terkait pelarangan warga negara dengan orientasi seksual selain heteroseksual masuk ke dua institusi tersebut.

“Putusan yang sangat tidak adil ini harus dibatalkan. Tentara yang didakwa harus dibebaskan. Tidak boleh ada satu orangpun yang dipersekusi karena orientasi atau dugaan orientasi seksual mereka. Negara harus menghentikan kebencian terhadap kelompok LGBT,” kata Usman secara tertulis, seperti yang diterima Urbanasia, Jumat (23/10/2020).

“Ini bisa menjadi preseden buruk dan berbahaya bagi tentara lain yang dianggap terlibat dalam hubungan seksual sesama jenis yang konsensual. Ini juga mempertajam diskriminasi yang ada di negara ini dan semakin memicu kekerasan terhadap kelompok LGBT baik yang ada di lingkungan militer maupun di tengah masyarakat luas,” imbuhnya.

Untuk itu, ia meminta pemerintah Indonesia menyampaikan pesan tegas, bahwa diskriminasi atas dasar orientasi seksual atau identitas gender tidak boleh ditoleransi, termasuk di lingkungan militer. 

"Insititusi negara harus menjadi contoh bahwa negara menjaga komitmen mereka terhadap hak asasi manusia,” ujarnya.

Bahkan, ia juga menyebut jika Indonesia seharusnya mengikuti langkah beberapa negara maju yang memperbolehkan kelompok LGBT, bahkan ada yang melegalkan pernikahan mereka.

“Sudah waktunya Indonesia meninggalkan segala pasal yang diskriminatif dalam KUHP dan undang-undang lainnya. Pemerintah harus melakukan reformasi dalam melindungi hak-hak kelompok LGBT,” paparnya.

Lebih lanjut, dikatakan Usman, apabila TNI dan Polri tidak mengubah pandangannya tersebut akan dianggap melakukan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender.

"TNI dan Polri harusnya jadi contoh bahwa negara menjaga komitmen terhadap hak asasi manusia."

Sementara itu, Ketua Kamar Militer, Burhan menyampaikan, bahwa ke depan apabila ada kasus LGBT dalam ranah peradilan militer, harus dilakukan penafsiran ekstensif berdasarkan Pasal 103 KUHP Militer terkait pembangkangan perintah dinas.

Mengingat Panglima TNI telah menerbitkan surat telegram nomor ST No ST/398/2009 pada 22 Juli 2009. Menyusul telegram no ST/1648/2019 tanggal 22 Oktober 2019. 

"Walaupun kedua telegram belum dapat kami konfirmasi teks resminya. Pokok aturan tersebut, menegaskan bahwa LGBT merupakan salah satu perbuatan yang tidak patut dilakukan seorang prajurit dan diancam dengan pemecatan melalui proses persidangan di pengadilan militer," ungkapnya.

Tindakan kelompok LGBT harus dimaknai sebagai bagian dari  keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Hal tersebut dilindungi selaras Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian dipertegas dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta. 

Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua Negara. Dalam pengantar aksinya hal 6 (enam) dinarasikan: “Kita semua memiliki kesamaan hak asasi manusia. Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, kita semua memiliki hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa boleh disertai dengan diskriminasi”.

Baca Juga: Pertama Dalam Sejarah, Miss Universe Myanmar Akui Dirinya LGBTQ

Secara garis besar, serangkaian tindakan Mahkamah Agung (MA), TNI dan POLRI tersebut telah bertentangan dengan konstitusi, yakni Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Tindakan pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual merupakan tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT. 

 Tindakan pemecatan, pemenjaraan dan pemberian sanksi nonjob (tidak diberikan jabatan sampai masa purna) justru bertentangan dengan aturan internal TNI dan kepolisian itu sendiri. 

UU TNI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, di BAB II, Pasal 2 huruf d, diatur mengenai Jati Diri TNI yang berbunyi: “Tentara Profesional, yaitu ... serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ...”.  

Poin ini secara tegas menyebutkan prinsip hak asasi manusia, sebuah prinsip yang akan terlanggar apabila TNI menjatuhkan sanksi semata-mata karena orientasi seksual atau identitas gender seseorang.

Dalam hal ini, penjatuhan sanksi Polri kepada Brigjen EP juga tersebut juga melanggar aturan internal kepolisian itu sendiri, di mana terdapat Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Ia menyebut, pemerintah telah melanggar hak kelompok LGBT untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah secara sadar telah mengingkari asas non-diskriminasi dan gagal menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia, sebagaimana tercantum di dalam pasal 71 UU No. 39 1999. 

"Insiden ini memperlihatkan bahwa pemerintah mengesampingkan perspektif korban, dan justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Seharusnya pemerintah, dalam konteks ini TNI dan Polri dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat," tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait