Catatan Akhir Tahun 2022: Tahunnya Individu Berubah

TAHUN 2022 segera berakhir. Peralihan ke tahun 2023, hanya tersisa hitungan hari. Di tengah suasana peralihan seperti hari ini, lazim bermunculan kreasi yang merangkum semua peristiwa di tahun yang hendak ditinggalkan. Ini lazim disebut sebagai kaleidoskop.
Media massa contohnya, menutup tahun dengan meluncurkan berbagai kaleidoskop: kaleidoskop politik, kaleidoskop olahraga, kaleidoskop peristiwa dunia. Di Indonesia, stasiun-stasiun TV hampir tak pernah absen, meluncurkan kaleidoskop nasional. Dan Koran Kompas, saat masih berjaya dalam wujud cetaknya, menyajikan kaleidoskop akhir tahun, berbentuk infografis yang menarik.
Tak hendak ketinggalan, lewat media sosial, terutama pemilik akun Instagram dan Facebook dapat memanfaatkan fitur ‘Year in Review’. Fitur ini disediakan kelompok META untuk memenuhi keperluan menyusun kaleidoskop pribadi penggunanya.
Baca Juga: Mengintip Gen Z yang Berubah Cara Belajarnya
Cara pakainya mudah. Terdapat panduan langkah demi langkah, yang dalam hitungan menit dapat menampilkan semua unggahan dengan traffic tinggi, terangkai jadi unggahan baru. Unggahan baru yang dihasilkan itu, tak jarang membangkitkan rasa bangga pemilik akun. Sehingga saat ditampilkan sebagai unggahan di akhir tahun, ada ilusi pencapaian yang telah diraih.
Pencatatan dan penyajian peristiwa di tahun yang segera berakhir, juga dilakukan Google. Google yang didirikan tahun 1998, telah melakukan ritual akhir tahunnya, sejak tahun 2001. Perusahaan ini merangkum trend kata-kata yang paling dicari masyarakat dunia. Google meluncurkannya dalam sajian ‘Year in Search’ sesuai tahun yang hendak ditinggalkan. Sejak tahun 2010, modus penyajian Year in Search yang semula sebatas ranking kata terbanyak yang dicari, disajikan dalam bentuk video dengan tema tertentu. Pada Year in Search 2022, tema yang disajikan Google adalah ‘Can I Change?’.
Tema Can I Change, luas cakupannya. Mulai sub tema can I change my life, can I change my self, can I change my career, can I change my lifestyle, hingga can I go to space. Potongan-potongan tiap sub temanya disajikan melalui ilustrasi yang mengharukan, musik latar yang menggugah dan tak jarang mampu menghadirkan sihir harapan. Ini tentu dimaksudkan sebagai modal, untuk masuk ke tahun berikutnya. Dengan sajiannya yang menarik ini, tak jarang Year in Search membangkitkan inspirasi bagi yang menontonnya. Ritual akhir tahun yang selalu dinantikan masyarakat dunia
Tema can I change yang merupakan rangkuman pencarian masyarakat global tahun 2022 ini, nampaknya lanjutan dari tema-tema di 2 tahun sebelumnya. Pada tahun 2021, temanya seputar ‘how to cure the world’, bagaimana menyembuhkan dunia dari hantaman pandemi COVID-19. Sedangkan tahun sebelumnya, saat dunia berada di puncak penderitaan akibat virus ganas yang merenggut jutaan orang, temanya seputar pemahaman, upaya menghindari dan adaptasi hidup bersama COVID-19.
Kini ketika dunia lambat laun mencapai kesembuhannya, keadaan normal berangsur hadir. Namun ini tak berarti seluruh modus kehidupan pra-pandemi dapat benar-benar terwujud kembali. Ada yang hilang, ada yang berubah dan ada pula yang sepenuhnya tergantikan. Karenanya, pertanyaan seputar can I change nampaknya hadir tanpa disadari, sebagai bentuk kesangsian terhadap kemampuan diri untuk melakukan perubahan dalam situasi normal baru. Jawabannya diharap hadir, lewat pencarian pada mesin serba tahu ini.
Baca Juga: Paradoks Kelimpahan Informasi
Perubahan turut disumbangkan teknologi. Sungguh pun teknologi merupakan bagian melekat pada hidup manusia, kehadirannya selalu membawa kebaruan. Perubahan oleh teknologi adalah keniscayaan. Bahkan ketika perubahan itu tak disadari atau dikehendaki manusia.
Kecepatan perubahan oleh teknologi semula evolutif. Berlangsung merangkak, nyaris tak disadari. Penemuan roda salah satunya, membuat orang dapat menempuh berkilo-kilo meter jauhnya, ke tempat yang baru. Perjalanan jauh ini tak mungkin dapat ditempuh, hanya dengan mengandalkan kekuatan kaki saja.
Demikian pula dengan penemuan api, mesin uap, mesin cetak dan seterusnya. Seluruhnya menghadirkan ekosistem baru, yang mengubah peradaban. Tak seperti air yang dituangi sirup, sifatnya hanya berubah oleh tambahan sirup. Pada perubahan yang ditimbulkan teknologi, perubahannnya bersifat ekologis.
Saat relasi dengan teknologi kian masif, perubahan itu merevolusi bahkan mendisrupsi hidup manusia. Para ilmuwan mencatat, makna teknologi bagi manusia hadir dalam 3 tahap. Salah satunya dapat ditangkap melalui uraian Neil Postman, 1992, dalam bukunya ‘Technopoly the Surrender of Culture to Technology’. Ia menyebut, pada awalnya teknologi dimaknai sebagai alat-alat yang membantu kerja manusia. Teknologi berposisi sebagai pembantu kehidupan manusia.
Berikutnya, lewat penemuan teropong dan mikroskop, tentu keduanya tak ditemukan bersamaan, persepsi manusia mengalami perluasan. Manusia mampu menangkap fenomena yang tak terjangkau, akibat jarak yang terlampau jauh, juga ukuran yang terlalu kecil. Pandangan manusia terhadap dunia berubah. Teknologi mengubah cara berpikir manusia. Di tahap kedua ini teknologi disebut sebagai technocracy.
Ketika pada gilirannya teknologi makin sempurna, kerjanya kian mampu menirukan pola tindakan, pertimbangan dan perasaan manusia, manusia ditukar posisinya: jadi pelayan teknologi. Ini realitas yang tak dapat ditolak. Sebab selain menerima, pilihan lainnya adalah terlempar dari peradaban yang membutuhkan adaptasi. Tahap ini disebut Postman, sebagi technopoly. Manusia Sang Pencipta teknologi, pada akhirnya melayani teknologi yang diciptakannya.
Ada pertanyaan mendalam yang menyiratkan kekhawatiran masyarakat global, terhadap kian berkembangnya teknologi sebagai technopoly. Pertanyaan yang terbalut dalam argumen Josephine Wolff, 2021. Ini termuat dalam artikelnya yang berjudul ‘How Is Technology Changing the World, and How Should the World Change Technology?’.
Ia menyebutkan, kemajuan teknologi telah mengubah kehidupan di seluruh dunia. Hasilnya berspektrum, mulai yang positif hingga yang negatif. Terhadap perubahan itu tentu diperlukan alat sosial, politik, maupun hukum yang dapat digunakan untuk mengatur dunia baru yang hadir. Namun hal ini tampak seperti tugas yang mustahil, mengingat cepatnya laju perubahan dan keberkelanjutan teknologi yang tidak dapat dihindari. Mampukah peradaban menyediakan perangkat-perangkat itu, mengingat banyak negara baru saja mulai mengambil langkah signifikan untuk mengatur teknologi komputer dan masih dalam proses.
Sementara perkembangannya tak terbendung? Lebih lanjut, apakah teknologi yang diadopsi suatu negara, lebih menguntungkan negara pengadopsinya atau justru memperkuat negara yang menghasilkan teknologi? Pertanyaan-pertanyaan yang harus dituntaskan, seraya menerima kehadiran teknologi, yang hampir sebagai keniscayaan.
Terlepas dari munculnya dualitas sikap optimis sekaligus pesimis terhadap hadirnya teknologi, tak dapat ditolak posisinya sebagai agen perubahan. Para ilmuwan yang menekuni peran teknologi pada ekonomi mengajukan konsep groundsweel. Groundswell adalah kecenderungan sosial yang di dalamnya orang-orang menggunakan teknologi untuk mendapatkan hal yang mereka butuhkan dari orang lain. Bukan menggunakan institusi tradisional seperti perusahaan atau lembaga pemerintahan, melainkan kolaborasi berbasis teknologi.
Baca Juga: Memahat Luka, Meraih Standar Kecantikan
Karenanya jika diurai, konsep ini merupakan interaksi 3 variable: manusia, teknologi dan ekonomi. Manusia dengan memanfaatkan teknologi, mampu menciptakan perubahan, bahkan kemandirian ekonomi. Konsep ini dikemukakan Charlene Li dan Josh Bernoff, 2008, dalam bukunya yang berjudul ‘Groundswell, Winning in a World Transformed by Social Technologies’.
Dapat dilacak dari seluruh uraian di atas, terlepas dari kesiapan dan ketaksiapan, lewat sikap penerimaan yang optimis maupun yang pesismis, dengan hasilnya berupa perubahan yang dipandang positif maupun negatif, ekosistem yang sama sekalai berubah itu, suka tak suka telah hadir. Ini merupakan buah disrupsi teknologi.
Teknologi yang mampu mensintesa hadirnya pengetahuan baru, yang pada masa sebelumnya sangat panjang waktunya untuk diformulasikan. Sebagian teknologi itu, dapat dimanfaatkan langsung oleh individu.
Tantangannya, ini sesuai dengan sentimen keingintahuan yang tertangkap lewat Year in Search 2022, dapatkah individu berubah dengan memanfaatkan ekosistem teknologi yang telah tersedia? Ini setidaknya mengubah status ekonominya sendiri, beranjak lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Akhirnya, selamat datang 2023. Tahun yang kata Presiden Jokowi, penuh ketakpastian dan harus dihadapi dengan berhati-hati. Senantiasa berhati-hati pula, terhadap perubahan tak terencana yang terbawa oleh penggunaan teknologi.
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia