URtrending

Dari Masa Krisis, Terbitlah Masa Bodoh

Firman Kurniawan S, Kamis, 9 April 2020 18.22 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dari Masa Krisis, Terbitlah Masa Bodoh
Image: Pixabay

Jakarta - Jika semua orang hak bicaranya didengar dan terpenuhi oleh semesta, maka permintaan global yang paling masuk akal orang-orang di dunia saat adalah: segeralah berakhir wabah COVID-19 ini. Betapa tidak, yang terjangkit demikian besar.

Pun, dalam waktu singkat yang meninggal banyak sekali. Bukan hanya masyarakat biasa yang jadi korban. Para dokter, akademisi penyakit menular, para ahli kesehatan masyarakat, perawat, gugur satu per satu saat berupaya menyelamatkan nyawa pasien yang terjangkit. 

Ketika tulisan ini disusun, angka dunia yang dirilis worldometers.info, 8 April 2020 jumlah penularan menembus angka 1.431.706 orang positif COVID-19, dengan 82.933 orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan yang berhasil sembuh 308.549 orang.

Tak selesai sampai di situ, berbagai lembaga prestisius dunia, termasuk yang ada di Indonesia, seperti Ikatan Alumni Departemen Matematika Universitas Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN), Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung merilis prediksi, belum akan berakhirnya periode penularan dalam waktu dekat.  

Bahkan prediksi dari berbagai Lembaga itu, Bulan April hingga Juli 2020, merupakan masa puncak penularan di Indonesia. Di masa puncak itu menurut BIN, sedikitnya 106.278 orang Indonesia akan positif terjangkit COVID-19.

Jika tingkat kematian, sesuai data yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, mencapai 8% dari jumlah yang positif, maka 8.000an orang akan meninggal akibat penyakit, yang mulai merebak sejak akhir 2019 di Wuhan Cina ini. Seluruh Dunia dan Indonesia tak luput dari krisis global COVID-19.     

Krisis menurut freebase dalam definition.com adalah segala peristiwa yang diperkirakan akan menyebabkan situasi tak stabil dan berbahaya. Suatu keadaan yang mempengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau seluruh masyarakat.

Krisis dianggap sebagai perubahan negatif dalam masalah keamanan, ekonomi, politik, sosial, atau lingkungan. Ini terutama ketika terjadi secara tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa peringatan. Istilah yang lebih longgar dari krisis adalah 'waktu pengujian' atau 'peristiwa darurat'.

Dalam tulisannya yang terhitung telah lama terbit, Manajemen Public Relations, Rhenald Kasali 1994, menyebut bahwa krisis adalah suatu titik balik untuk makin baik atau makin buruk. Krisis adalah suatu waktu yang krusial, atau momen yang menentukan. 

Betapa COVID-19 yang mulai terjadi di akhir 2019, tak segera disepakati sebagai titik mula diawalinya krisis global. Berbagai reaksi pemimpin, tak terkecuali negara maju maupun berkembang, meragukan bahwa keadaan buruk itu bakal merembet ke negaranya.

Penyebaran nyaris tanpa peringatan: masuk diam-diam ke suatu negara dan segera merenggut nyawa. Reaksi awal berupa isolasi, menutup akses pertukaran manusia dari dan ke negeri Cina. Namun itu sudah terlambat. Isolasi antar negara tak cukup lagi.

Pasalnya, dalam waktu kurang dari satu semester, lebih 180 negara dunia terjangkiti virus ini. Jumlah penderita  yang semula 80 ribuan di Cina, mengalami eskalasi penularan global, jadi 1 juta kasus lebih.

Sama halnya Indonesia, yang oleh berbagai lembaga dunia diprediksi telah ‘menyimpan’ adanya penjangkitan COVID-19 sejak awal 2020,  mengakui awal krisis terjadi pada 2 Maret 2020. Momen resmi itu terjadi, ketika Presiden Jokowi mengumumkan adanya 2 warga Depok Jawa Barat, positif terinfeksi virus. Mereka segera ditangani menurut protokol penanganan penyakit infeksi yang sangat menular : isolasi di rumah sakit khusus penyakit infeksi. 

Sesuai definisi di atas, krisis bergerak menyentuh individu, kelompok, komunitas dan akhirnya seluruh masyarakat. Eskalasi persoalannya pun malih rupa sangat cepat. Persoalan kesehatan yang terbilang satuan orang, semula diatasi lewat himbauan karantina mandiri.

Sayangnya, seturut pertambahan waktu melahirkan ekologi persoalan baru. Kebiasaan sosialisasi masyarakat yang mengandalkan perjumpaan nir batas fisik, menimbulkan kecanggungan relasi, walaupun tetap dipatuhi. Masalah sosial melahirkan masalah ekonomi. Pukulan telak dirasakan pekerja informal. Kelompok ini makin surut rejekinya.

Diperkirakan, tak kurang 70% Masyarakat Indonesia, menggantungkan hidupnya dari penghasilan harian. Suatu sumber ekonomi, yang baru menghasilkan jika pekerja bergerak tanpa libur. Ketika sumber harian itu terguncang oleh himbauan karantina mandiri, tak heran kelancarannya terganggu.

Sebuah keadaan yang merembet ke persoalan politik. Muncul perdebatan, "menyelamatkan manusia atau ekonomi dulu ? Jagad media sosial diwarnai perdebatan sengit, fitnah maupun hoaks."

Banyak kelompok masyarakat yang patuh pada himbauan karantina diri, bahkan hampir satu bulan lamanya. Namun jika ditilik mendalam mereka tak merasakan hal signifikan dari kepatuhan itu.

Sementara, juru bicara pemerintah untuk pengananan COVID-19 mengumumkan 3 hal setiap hari: jumlah kasus positif yang cederung konstan pertambahannya, jumlah yang meninggal sekitar 8 % dari kasus dan jumlah yang berhasil sembuh, juga cenderung konstan pertambahannnya.

Suatu ritual yang menginteraksikan simbol yang dapat dimaknai: tak ada yang luar biasa terjadi. Soal orang meninggal, tanpa COVID-19 pun ribuan jumlahnya tiap hari. Sehingga, mengapa perlu disikapi dengan panik, marah, tindakan ekstrim membatasi gerak, bahkan mengancam stabilitas nasional ?        

Jika simbol ‘tak ada yang luar biasa’ yang terbentuk, tak heran selepas satu bulan karantina mandiri, hanya sisakan rasa bosan. Tak lebih. Maka apa salahnya menjalani hidup normal kembali.

Masa krisis malih rupa jadi masa bodoh masyarakat. Mereka tak peduli lagi penularan. Dan di situlah sesungguhnya ledakan penularan di Bulan April bakal terjadi.

Maka tak ada permintaan lain, krisis ini harus segera berakhir. Sebab jika tidak, akan merembet pada persoalan yang makin tak bisa diatasi.

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org, Firman Kurniawan S

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait