URtech

Teknologi dan Perlombaan Manusia Meninggalkan Tubuhnya

Firman Kurniawan S, Kamis, 16 Februari 2023 21.00 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Teknologi dan Perlombaan Manusia Meninggalkan Tubuhnya
Image: ilustrasi digital (randstadrisesmart)

SPACE10, 2019, dalam laporannya yang berjudul ‘The Augmented Human: How Technology Began to Merge with the Body’ menyampaikan uraian kronologis yang patut diperhatikan. Laporan ini menguraikan, makin menyatunya manusia dengan perangkat teknologi.

Perangkat-perangkat ini digerakkan oleh teknologi suara, maupun yang dapat dilekatkan pada tubuh manusia. Seluruhnya mampu memperlebar realitas yang dialami manusia, augmented reality, melampaui kemampuan alamiah manusia. Sebuah keadaan yang makin tak dapat ditolak.

Bulan Januari 2007, Steve Jobs memperkenalkan iPhone kepada dunia. Dalam pidato pelucurannya, ia mengemukakan: perangkat yang dirancangnya itu bakal merevolusi industri. Jobs tak berlebihan.

Dalam waktu 10 tahun penggunaan, pernyataannya terbukti. Inovasi yang dimediasi iPhone, tak hanya meletakkan perangkat ini sekedar sebagai perangkat komunikasi berkemampuan komputer. Bahkan mengubah paradigma relasi manusia dengan teknologi.

Komputer yang pada masa sebelum peluncuran iPhone berarti perangkat pembantu pekerjaan kantor atau kegiatan belajar, berubah maknanya. Ini terdorong oleh kehadiran internet. Internet melipatgandakan daya iPhone, menggeser dominasi komputer konvensional.

iPhone bukan hanya portable, mudah dibawa menyertai aktivitas manusia, namun juga mampu menciptakan keterhubungan global. Kehadirannya mengubah paradigma relasi manusia dengan manusia. Juga manusia dengan perangkat teknologi.

Dalam uraian Space10 berikutnya, dikemukakan: komputer mekanis pertama diciptakan pada abad ke-19. Ini jadi jalan masuk dikembangkannya komputer yang dapat diprogram. Rancangan ini selesai pada tahun 1930an. Sedangkan komputer digital pertama yang identik dengan komputer di masa sekarang, selesai pada tahun 1946.

Perangkat ini membutuhkan ruang sebesar 1.800 kaki persegi, merupakan gagasan J. Presper Eckert dan John Mauchly. Keduanya ilmuwan dari University of Pennsylvania. Rancangan ini kemudian disebut Electronic Numerical Integrator and Computer (ENIAC). Seluruhnya membutuhkan waktu 10 tahun, untuk disebut selesai. Sayangnya ENIAC kurang dikenal di luar laboratorium kampus. Hanya kalangan ilmuwan yang memanfaatkan perangkat besar ini.

Pemahaman mendalam pada komputer oleh masyarakat luas, baru terjadi di akhir tahun 1970-an, dan awal tahun 1980-an. Ini ditandai kepemilikan komputer di rumah-rumah, meskipun sebatas pada pengguna berpikiran maju. Tercatat pada tahun 1985, hanya 12% rumah tangga Inggris, dan 8% rumah tangga Amerika yang punya komputer di rumahnya.

Ketergantungan manusia pada komputer, yang mendorong berubahnya relasi dengan komputer terakselerasi, saat Apple merevisi tampilan perangkat ini. Perusahaan di bawah visi Steve Jobs ini, mempertimbangkan kembali unsur estetikanya, dengan menghadirkan bentuk yang ramping estetis. Sehingga selain digunakan sebagai alat kerja, juga tak jarang jadi penghias ruang tamu, ruang kerja, ruang belajar maupun pengisi kamar tidur pemiliknya.

Makin menggejalanya penggunaan komputer pribadi di rumah-rumah seluruh dunia, mengubah perangkat yang elitis ini, jadi dapat diakses siapa pun. Ini juga terdorong oleh pengembangan UI, user interface, yang kian memudahkan penggunanya. Membuat perangkat yang dulunya digunakan secara terbatas, jadi lebih mudah digunakan siapapun. Komputer masuk ke dalam arus utama peradaban. Termasuk komputer dalam berbagai aplikasinya, yang bahkan tak disadari keberadaannya.

Berkembangnya teknologi layar sentuh, yang merambah hampir semua teknologi hari ini, kian mendorong kegandrungan banyak orang menggunakan teknologi komputasi.  Muncul implikasi berubahnya persepsi manusia, saat berinteraksi dengan sebuah objek. Sensasi terpisah, tereduksi. Diterima sebagai keadaan yang dekat. Realitas digital hadir serupa realitas analog.

Tak beda lagi, antara yang maya dengan yang nyata. Ini ketika ditambah keberadaannya yang omnipresent, hadir di mana-mana, teknologi justru jadi paradoks. Tak lagi disadari hadirnya. Produk peradaban ini telah jadi bagian manusia, bahkan bagian tubuhnya. Ia mampu membangun kerangka pengalaman yang berbeda, dengan ketika mengalaminya tanpa teknologi

Dalam realitas hari ini komputer bukan sebatas perangkat kerja manusia. Manusia terlibat interaktif dengan komputasi itu sendiri. Ini terbawa oleh pengembangannya, ditujukan untuk responsif terhadap gerakan. Termasuk pengembangan perangkat lunak gerakan tangan, leap motion.

Juga kamera yang mampu melacak gerakan mata, mimik wajah, sehingga dapat dikombinasikan dengan sistem senyum, untuk membayar. Dan jika di masa sebelumnya manusia dipaksa untuk berbicara dalam bahasa komputer saat berinteraksi dengan komputer, sekarang keadaannya berbalik. Komputer mampu berbicara dalam bahasa manusia.

Dalam tulisan, ‘Technology and the Mind, Body and Soul’, Kayt Frisch, 2017, yang membahas buku karya Nicholas Carr, 2011, ‘The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains’ dan buku karya, Tim Challies, 2011, ‘The Next Story: Life and Faith After the Digital Explosion’, mengemukakan hal yang jadi implikasi lanjutan, keadaan di atas.

Relasi manusia yang sangat intensif dengan berbagai perangkat teknologi, menghadirkan teknologi yang kian dekat dengan manusia. Kedekatan yang tak disadari, namun membawa perubahan evolutif. Relasi baru ini, 'memaksa' diletakkannya teknologi sebagai bagian tubuh manusia. Tentu saja menyebabkan perubahan mendasar pada tubuh.

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Pada bagian ini, Frisch mengutip tulisan Nicholas Carr. Ilmuwan yang risau sering kehilangan konsentrasinya, sejak makin bergantung pada komputer. Itu termasuk kemampuannya membangun pemahaman, lewat buku bacaan.

Sedangkan dari Challies, didapatkan munculnya rasa tak nyaman akibat hilangnya kendali hidup, oleh kehadiran teknologi. Keadaan tak nyaman yang berlanjut dengan pertanyaan: apakah teknologi melayaninya atau justru Challies yang melayani teknologi? Ini mengantarnya pada pemahaman, aktivitas kreatif menggunakan teknologi pada akhirnya membentuk ciptaan Tuhan untuk mencapai tujuan praktis. Manusia mencapai keadaan tertentu di luar tujuan Tuhan, akibat berelasi dengan teknologi.

Seluruhnya kemudian bermuara pada kesimpulan untuk mengeksplorasi etika teknologi. Apakah dipandang beretika menciptakan sebuah teknologi, namun juga menimbulkan sebuah perubahan yang bahkan tak disadari pemakainya? Jawabannya, tindakan manusia dengan teknologi, dan bukan teknologi pada dirinya sendiri, yang menentukan apakah sesuatu itu jadi baik atau buruk.

Implikasinya, pertimbangan etis lebih pada sisi penggunanya, bukan pencipta teknologinya. Ini kemudian membebaskan perancang teknologi dari kewajiban etis atas konsekuensi yang timbul oleh ciptannya. Premis penting seluruh tulisan Challies, manusia yang diciptakan Tuhan sesuai rencana-NYA. Ciptaan yang dilengkapi dengan kepemilikan aspek spiritual maupun fisikal. Namun akibat relasinya dengan teknologi, terjadi pembentukan ulang manusia secara biologis maupun psikologis. Dan itu keniscayaan, yang tak dapat dihindari.

Lebih gamblang Yuval Noah Harari, 2018 dalam bukunya ‘21 Lesson for the 21st Century’, mengemukakan: relasi intensisf manusia dengan teknologi, mengantarnya untuk berlomba meninggalkan tubuhnya. Satu persatu kemampuan manusiawi yang dijalankan tubuh, diganti dengan sengaja oleh manusia. Lewat penggunaan perangkat-perangkat teknologi.

Pernyataan Harari jika dilacak dari masa lampau, menunjukkan manusia telah menanggalkan tubuhnya oleh kehadiran teknologi. Saat manusia menemukan roda, kaki yang biasa digunakan untuk menempuh jarak berkilo-kilo meter menemukan sumber kehidupan, ditanggalkan. Manusia memutilasi kakinya, menggantinya dengan roda. Demikian pula dengan penggunaan mesin uap. Dalam hitungan kuantitas, tubuh komunitas tak digunakan. Digantikan oleh mesin uap.

Demikian juga manakala komputer intensif digunakan. Kemampuan olah kata dan penghitungan yang biasa dijalankan otak manusia, ditanggalkan. Keberadaan otak diganti oleh teknologi komputasi. Dan hari ini ketika komputasi mengerahkan pemanfaatan algoritma, bahkan pilihan, keinginan hingga Hasrat, seluruhnya mengandalkan teknologi digital. Manusia memutilasi kemampuan mentalnya, dengan mengoperasikan perangkat berbasis algoritma.

Pernyataan Harari selanjutnya, manusia punya tubuh. Namun dalam kenyataannya, selama satu abad terakhi, manusia telah menjauhkan diri dari tubuhnya. Kemampuannya untuk menghayati material yang dicium dan dicicipinya, hilang. Seluruhnya diserap ke dalam smartphone dan komputer.

Manusia lebih tertarik pada yang terjadi di dunia maya daripada yang analog. Demikian pula dalam hal merasakan, manusia lebih tertarik pada respon yang dihasilkan lewat perangkat yang digunakannya. Validasi yang dituai lewat perangkat, like, comment, traffic, jumlah pengikut jadi ukuran kebahagiaan seseorang. Bukan pengalaman tubuhnya sendiri.

Teknologi mengantar manusia teralienasi dari tubuhnya sendiri. Relasi manusia dengan teknologi mendudukannya dalam paradoks: tubuh yang kian ditanggalkan, dan perangkat asing teknologi yang kian direngkuh. Jadi bagian tubuh. Manusia berlomba mengganti tubuhnya, jadi mesin berjiwa. Ah, benarkah berjiwa?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait