URguide

'All From Home' dan Kerinduan Pada Eksistensi Diri

Firman Kurniawan S, Minggu, 10 Mei 2020 12.17 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
'All From Home' dan Kerinduan Pada Eksistensi Diri
Image: Ilustrasi online seminar. (Freepik)

Jakarta - Sihir media digital menemukan momentumnya. Di tengah pandemic COVID-19, yang pemulihannya meminta kesediaan tiap orang untuk all from home: bekerja, belajar dan beribadah di rumah saja, melahirkan kecenderungan baru yang sangat menyolok. Kecenderungan itu berupa menampilkan diri, bukan sebatas unggahan di media sosial, melainkan lewat berbagi pengetahuan.

Aneka webinar, seminar IG live, kelas online, tausiah virtual, hingga konferensi internasional ilmiah maupun casual, marak ditawarkan. Temanya beragam dan menarik. Soal membangun kemampuan komunikasi krisis, memelihara kesehatan mental kala pandemi, komunikasi keluarga digital, teknik memotret makanan dengan perangkat sederhana, kiat mengelola keuangan menghadapi situasi yang berubah, bertanam di halaman sendiri, hingga membahas sejarah perang dunia II.   

Pertama, tentu gejala ini dapat dipahami sebagai alternatif bagi keterbatasan perjumpaan aktual di ruang-ruang pertemuan konvensional: balai pertemuan, hotel, kampus. Alasannya jelas, transfer pengetahuan harus tetap berlangsung walaupun harus memenuhi psysical distancing. Namun maraknya berbagai jenis pertemuan virtual oleh siapappun dengan tema apapun, tentu jadi daya tarik yang nikmat untuk diperhatikan.

Yang jelas modus ke satu maupun kedua di atas, merupakan jawaban terhadap perkembangan pemanfaatan infrastuktur, bahkan indikator kematangan ekosistem digital, yang didengung-dengungkan hendak menuju internet of things. Itu semua menjelaskan, tiada hambatan di dalam berelasi, selama punya platform yang sama dan terhubung dengan jaringan internet.

Jika ditelaah lebih dalam, terkait maraknya gejala berbagi ini, sangat boleh jadi di dalam keterkurungannya selama all from home, para pelakunya sadar terhadap kemampuan yang dimilikinya, juga kemampuan yang dimiliki orang lain. Itu semua dapat dibagikan secara luas untuk memberi manfaat. Lewat relasi supply-demand, keduanya bertemu dalam wadah, berbagi kala pandemi. Formatnya, unjuk kemampuan tanpa dipungut biaya. Kemudian diedarkan lewat jejaring yang luas dengan wahana media sosial.

Namun yang sering tanpa disadari, kenyataan ini juga dapat “dicurigai” sebagai penegas: ketika orang dalam posisi hampir semua kegiatannya terbatas di rumah, sesungguhnya mereka "khawatir" eksistensi dirinya terlupakan. Ada jadi tiada, tanpa kehadiran di hadapan yang lain.

Maka lebih dari sekedar mengunggah material di akun sosial media, dilakukanlah paparan eksistensi diri lewat aneka modus online di atas. Khalayak yang menikmati lebih luas dan lebih acak, dibanding pertemanan media sosial, yang merupakan refleksi dari dunia nyata.

Membahas eksistensi diri ini, tentu tak asing dengan ilmuwan Abraham Maslow. Lewat teori Hierarchy of Needs (Maslow, 1943, 1962, 1987), ia menggambarkan bahwa kebutuhan individu memiliki kadar dan prioritas yang bertingkat. Sehingga jika itu digambarkan, ukuran dan tingkat prioritas kebutuhan, bergerak urut dari yang paling dasar dan sangat dibutuhkan, memuncak ke yang kurang dibutuhkan, membentuk piramida. Dimulai dari kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai dan diterima secara sosial, kebutuhan dihargai, dan puncaknya adalah aktualisasi diri.

Good Therapy, 2019 yang memuat tulisan berjudul Self Actualization, menyebut puncak piramida ini tercapai, manakala seseorang dapat mengambil manfaat dari bakat mereka, seraya tetap memperhatikan keterbatasannya. Aktualisasi diri juga jadi indikator bagi kematangan pribadi seseorang. Lewat pencapaian tujuan, penerimaan diri, hingga kemampuan menilai diri sendiri dengan apa adanya. 

Tentu saja rute perjalanan pencapaian puncak piramida, berbeda-beda bagi tiap orang. Dan tak selamanya lewat jalur yang berurutan. Namun dalam konteks all from home, seseorang yang selama pandemic terkurung di rumah, dan terlibat dalam aktivitas berbagi secara online, diasumsikan telah lengkap terpenuhi kebutuhan dasarnya, punya rasa aman di tempat tinggalnya, dicintai dan mendapat penghormatan layak dari keluarganya. Sehingga ketika itu semua telah dimiliki, tahap berikutnya adalah mengaktualisasikan diri secara eksternal. Perlu diterima oleh pihak lain di luar. 

Senada dengan itu, sebagaimana tulisan Steven Crowell, 2010, dalam Existentialism yang termuat di Stanford Encyclopedia of Philosophy, Soren Kiekergaard (1913-1855). filsuf asal Denmark yang juga salah satu filsuf pertama yang membicarakan soal eksistensi diri menyebut, tiap individu bertanggung jawab untuk memberikan makna bagi hidup dan kehidupan.

Maka harus ditempuh upaya untuk menghidupi makna tersebut secara jujur dan bergairah. Ini yang kemudian disebutnya, menjadi manusia otentik. Nampaknya, dalam situasi pandemi yang tak jarang diselingi rasa bosan, sementara semua kebutuhan telah terpenuhi, kegairahan jadi manusia otentik menyala dari rumah-rumah. Berwujud tawaran berbagi kemampuan bagi yang lain, lewat medium online. 

Terlepas dari kerumitan tinjauan psikologi, ilmu sosial maupun filsafat terkait modus berbagi secara online, jejaknya akan dirasakan hingga pasca penyebaran wabah COVID-19. Tak heran akan tumbuh industri baru: sharing knowledge industry, yang sangat efisien, beragam dan flexible. Efisien sebab tak perlu panitia yang banyak ala seminar konvensional, tak perlu akomodasi sewa hotel, tata ruang dan aneka protokoler. Penyelenggarannya cukup bertemu di ruang-ruang virtual. Temanya beragam dari sisi pengetahuan yang bisa dibagikan lewat jejaring.

Bahkan, para senior yang pernah menyaksikan suasana Perang Dunia II misalnya, bisa menceritakannya secara menarik, pengalaman yang tak banyak dimiliki orang. Ini pengetahuan yang langka. Dan tentu saja flexible. Sebab bisa diadakan kapan saja, tanpa perlu penampilan formal dan dramaturgi. Pakai sarung, tampilkan wajah di kamera komputer, sudah jadi.

Substansi knowledge sharing sebagai transfer informasi tercapai. Sihir digital memberi panggung bagi yang punya pengetahuan, memperjuangkan otentitas dirinya, melawan deraan COVID-19. Bukan dengan keluhan.

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait