URtrending

Karantina di Tengah Timbangan Ketakutan Massa

Firman Kurniawan S, Kamis, 30 April 2020 14.17 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Karantina di Tengah Timbangan Ketakutan Massa
Image: Karantina Jakarta. (Ilustrasi/ANTARA)

Jakarta - Dalam tinjauan perilaku sosial, tak banyak peristiwa mampu mengubah perilaku dasar manusia secara serentak di waktu pendek, serta berimplikasi multidimensi. Peristiwa penularan COVID-19 mampu mencapai itu. Perilaku manusia sebagai mahluk sosial, berubah total. Kelaziman berelasi tanpa jarak, menyampaikan tujuan dengan memutlakkan kehadiran dan melangsungkan kebersamaan dalam pertemuan, nyaris sirna dalam tempo kurang dari 6 bulan.

Paranoia massal mewarnai relasi antar manusia. Setiap perjumpaan dihinggapi rasa curiga bakal tertular, atau menularkan virus yang mematikan. Perasaan akan jadi korban, atau mengorbankan orang lain tertanam jadi kenormalan baru. 

Implikasinya bukan saja bagi pencegahan penularan, namun di sana sini menjalar jadi persoalan ekonomi maupun sosial. Keleluasaan orang jalani hidup sehari-hari terhalang. Sehingga terhalang pula kelancaran berkerja, untuk peroleh penghasilan. Lingkaran kesulitan ini dengan cepat meluas, menghasilkan rasionalisasi, PHK dan sejenisnya. Terjadi gelombang jutaan pengangguran, yang membawa dunia di ambang resesi parah.

Sebagai konsekuensinya kejahatan meningkat. Ini terdorong oleh desakan memenuhi hidup jangka pendek yakni, untuk makan sehari-hari hingga hilangnya harapan di masa depan. Jika keadaan berlanjut, tak heran jika budaya manusia turut mengalami perubahan. Muncul aneka kenormalan baru. Pangkalnya, rasa takut yang menjalar, jadi paranoia massa. Ketakutan mewujud global.

Bagaimana rasa takut muncul? Sebagian alamiah bawaan manusia, sebagian lain merupakan konstruksi budaya. Dalam uraiannya, Julia Layton, 2005 lewat tulisan How Fear Works, menyebutkan ketakutan adalah reaksi berantai di otak yang diawali oleh rangsangan penuh tekanan dan berakhir dengan pelepasan bahan kimia. Ini memicu kerja jantung dan otot-otot tertentu pada tubuh. Otak merupakan organ yang kompleks, dengan  lebih 100 miliar sel saraf, membentuk jaringan komunikasi rumit.

Bagian ini merupakan titik awal dari segala yang manusia rasakan, pikirkan, dan lakukan. Beberapa komunikasi ini mengarah pada pemikiran dan tindakan sadar, sementara yang lain menghasilkan tanggapan otonom. Respons rasa takut hampir sepenuhnya bersifat otonom. Manusia seringkali tidak sadar memicu, bahkan mengetahui apa yang terjadi, sampai menyadari dengan sendirinya. Ini yang sedang bekerja pada banyak otak umat manusia hari ini. Ketakutan yang dipicu oleh informasi COVID-19, yang tersebar lewat berbagai media. 

Informasi mula COVID-19, dimulai sejak awal Desember 2019. Saat itu Dr. Li Wenliang lewat media sosialnya, menuliskan tentang kedatangan banyak pasien dengan keluhan radang para-paru yang tak biasa, ke rumah sakit di Wuhan. Dokter ini menyebut adanya penularan virus misterius pada sejumlah pasien. Mereka memiliki akses ke pasar ikan Huanan, yang juga menjual binatang liar.

Sejak saat itu, media diisi berita peningkatan jumlah penularan yang menjalar cepat, diikuti kematian. Ketakuan kian mencekam ketika penularan juga terjadi di luar Wuhan. Hingga WHO, pada 11 Maret 2020 menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Pandemi adalah epidemi yang bersifat global. Ini ditetapkan ketika hampir tak ada satupun negara atau wilayah di dunia yang bebas dari penularan suatu penyakit.

Hingga tulisan ini disusun, COVID-19 telah terjadi di 210 negara dan wilayah, dengan jumlah penderita sebanyak 2,995.043 orang, jumlah kematian yang mencapai 207.000 orang. Sedangkan yang berhasil sembuh sebanyak 878.972 orang (Worldometer, 27 April 2020).

Di Indonesia, kabar merebaknya COVID-19 disambut tanpa gegap gempita. Konon ini untuk menekan terjadinya kepanikan sosial. Namun menjalarnya informasi yang membuahkan ketakutan, telah dikonsumsi rakyat Indonesia dengan intensif. Informasi tersedia luas di berbagai medium digital, terlepas yang benar maupun hoaks.

Ini menyebabkan ketakseimbangan antara informasi yang telah dimiliki masyarakat Indonesia, dengan pernyataan resmi dan sikap tenang para pejabat. Ketakutan tetap menghantui masyarakat, diikuti tuntutan rencana jelas, jika virus meruyak di negara ini. Informasi yang mengkonstruksi ketakutan sistemik massa hampir seluruhnya bersumber dari media yang mengabarkan misteriusnya mekanisme penularan, banyaknya kematian di waktu singkat, belum tersedianya obat penangkal, penularan pada perawat maupun dokter, bahkan yang punya keahlian di bidang virus. Ini ditimpa pula paparan terkait penguburan pasien meninggal, yang prosesnya tak seperti penguburan umumnya.

Keadaan kian diperburuk, ketika tempat penguburan pun tak bisa dipilih keluarga pasien. Sebuah kenyataan yang mengenaskan, dan terjadi di berbagai negara yang mengalami penularan. Demikian juga, masyarakat yang berpotensi alami penularan diklasifikasi sebagai orang dalam pengawasan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang tanpa gejala (OTG) serta pasien positif.

Sedangkan wilayah yang salah satu penduduknya positif terjangkit virus, disebut sebagai zona merah penyebaran. Ini akan meningkat, disebut sebagai episentrum penyebaran seiring makin banyaknya jumlah orang yang tertular. Faktor-faktor ini menciptakan ketakutan.

Mengikuti pemikiran semiologi Roland Barthes, 1972 suatu tanda, yang bisa bersumber dari material informasi yang diproduksi media, pada tahap awal akan membangun makna denotatif. Di sini, konsep dengan obyek membentuk pengertian dasar. Makna denotatif sering disebut sebagai makna kamus, yang berkembang jadi makna konotatif ketika konsepnya digunakan dengan cara tertentu, di ruang tertentu.

Lewat mekanisme pemberitaannya dengan mengambil sudut pandang kegawatan, COVID-19 berkembang jadi, flu yang tak biasa, yang dapat diobati dengan obat bebas dari warung. COVID-19 adalah flu istimewa, belum ada penangkalnya. Dan ketika pemberitaannya kian mengalami mistifikasi, yang didekatkan dengan kematian, COVID-19 adalah mitos kematian.

Dalam jangka pendek, mitos yang memang sering digunakan untuk melawan argumentasi panjang berbasis rasionalitas, berhasil menggiring orang bersedia all from home. Perubahan perilaku pesat terjadi. 

Ketika irasionalitas ketakutan tertanam jauh di benak masyarakat, ia hanya bisa dihadang oleh rasionalitas. Rasionalitas itu hari ini terbangun oleh pikiran: jika keadaan berkepanjangan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang telah ditetapkan diperpanjang dan diperpanjang lagi, sementara penurunan jumlah penularan tak terlihat nyata, maka ketakutan hanya dipersepsi sebagai pembawa kesulitan ekonomi sosial.

Ujungnya, masyarakat akan berdamai dengan takut COVID-19. Mereka akan kembali ke jalanan, beraktivitas ekonomi sosial. Lepas dari satu ketakutan, oleh ketakutan lain: takut tak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi, dan mengenyam hidup normal.

 

**) Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait