URstyle

IDI Siapkan Rekomendasi Pengurusan Pasien Cacar Monyet di Indonesia

Nivita Saldyni, Rabu, 21 September 2022 19.17 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
IDI Siapkan Rekomendasi Pengurusan Pasien Cacar Monyet di Indonesia
Image: Ilustrasi cacar monyet. (PAHO/WHO)

Jakarta - Satgas Monkeypox (Cacar Monyet) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah menyiapkan rekomendasi alur penatalaksanaan atau pengurusan pasien cacar monyet di Indonesia. Alur tersebut terdiri dari skrining, triase dan penilaian klinis, hingga testing.

"Saat skrining, orang dengan ruam akut perlu diwaspadai jika dia memiliki lebih dari satu gejala lainnya seperti demam onsen akut, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri kepala, myalgia (nyeri otot), nyeri punggung, dan asthenia (kelemahan fisik)," kata Ketua Satgas Monkeypox PB IDI dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dikutip dari ANTARA, Rabu (21/9/2022).

"Harus dilakukan pemeriksaan klinis secara akurat, tidak ada kecurigaan erupsi kulit karena yang lain misalnya karena varicella zoster, herpes simplex virus (HSV), sifilis, infeksi gonokokal diseminata, penyakit tangan-kaki-mulut, campak, scabies, chikungunya, demam dengue, dan sebagainya," jelasnya lebih lanjut.

Nah ruam akut cacar monyet, kata Hanny, puny ciri-ciri yang khas. Bercak atau ruam cacar monyet akan berubah menjadi penonjolan di atas permukaan kulit, yang kemudian melenting dan bernanah sebelum akhirnya berkrusta.

"Lesi utamanya adalah di wajah atau kelamin, jumlahnya bervariasi dan ini dapat melibatkan membran mukosa sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara akurat. Selain itu, lesi juga ada di konjungtiva atau kornea, serta kelainan di kelamin atau genital. Umumnya semua lesi berada dalam tahap yang sama, menyebar secara sentrifugal atau meluas ke telapak tangan dan telapak kaki," papar Hanny.

Apabila ruam akut yang ditemukan pada pasien saat skrining adalah khas cacar monyet, maka langkah selanjutnya perlu dilakukan identifikasi keparahan. Hanny menyebut, tingkat keparahan itu bisa dinilai dari beberapa faktor, salah satunya jumlah gejala yang dialami pasien.

Gejalanya sendiri mulai dari mual muntah, kurang asupan oral, dehidrasi, disfagia karena limfadenopati servikal, gangguan penglihatan, nyeri mata, pneumonia, tampak bingung, sepsis, dan hepatomegali (pembesaran organ hati). Sehingga semakin banyak gejala yang dialami maka semakin tinggi tingkat keparahannya. 

Tingkat keparahan, imbuh Hanny, juga bisa dilihat apabila terjadi peningkatan enzim hepar, peningkatan leukosit, penurunan trombosit, dan penurunan albumin. Semakin banyak jumlah lesi juga menunjukkan tingginya kondisi keparahan pasien.

"Kemudian dilakukan testing dari lesi tersebut, termasuk usapan eksudat lesi, bagian atap lebih dari satu kelainan kulit. Swabnya boleh kering atau yang sudah ditaruh di media transport virus dan tekniknya adalah tes amplifikasi asam nukleat seperti RT atau PCR konvensional," terang Hanny.

Selain memeriksa tingkat keparahan, menurut Hanny perlu dilihat juga apakah pasien kelompok dengan risiko tinggi atau bukan. Berdasarkan rekomendasi IDI, populasi risiko tinggi itu antara lain anak-anak, wanita hamil, orang dengan kondisi imunosupresi seperti penyakit tak terkontrol dan HIV, juga orang yang memiliki kondisi kronis pada kulit.

Nah apabila hasilnya menunjukkan pasien mengalami cacar monyet ringan atau tanpa komplikasi, maka disarankan untuk mengisolasi diri di rumah dan terpisah dengan anggota rumah lainnya. Pasien juga disarankan melakukan pengobatan simtomatik, memenuhi nutrisi, perawatan kulit, dan kondisinya akan dipantau oleh tenaga medis setiap hari.

Sebaliknya, apabila hasil menunjukkan pasien mengalami cacar monyet berat atau dengan komplikasi, maka perlu isolasi di rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk mendapatkan perawatan dan diberikan antivirus. Pasien baru dinyatakan sembuh apabila seluruh lesi kulit mencapai fase krusta, mengelupas, dan tumbuh lapisan baru.

"Jika sudah mencapai fase tersebut, pasien tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan PCR," tegasnya.

Selain itu, masa isolasi pasien akan berakhir kalau tidak demam dan tidak ada gejala respirasi, juga tidak ada lesi baru selama 48 jam.

"Seluruh lesi kulit mencapai fase krusta, mengelupas, dan tumbuh lapisan baru. Umumnya berlangsung 2-4 minggu sejak muncul gejala prodromal," tutur Hanny.

Tips Cegah Penularan Cacar Monyet Ala Satgas Monkeypox PB IDI

Pada kesempatan yang sama, Hanny juga menyampaikan ada beberapa tips yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah penularan cacar monyet. Salah satunya dengan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

"Kita belajar banyak dari infeksi COVID-19 bahwa kehigienitas itu sangat penting," tegas Hanny.

Selain itu Hanny berpesan agar protokol kesehatan COVID-19 jangan ditinggalkan. Terutama jaga jarak dan pakai masker.

"Kemudian kalau kita masuk ke dalam situasi kondisi di mana menggunakan transportasi publik yang menyebabkan kita duduk berdekat-dekatan kemudian dalam situasi yang tidak berjarak, itu diindikasikan untuk menggunakan masker," imbau Hanny.

Nah kalau kulit Urbanreaders sedang terinfeksi, Hanny menyarankan untuk menggunakan pakaian yang tertutup. Hal ini agar kita tidak menularkan infeksi kulitnya kepada orang lain dan tidak mengontaminasi tempat yang kita kunjungi.

"Jadi apabila mengalami kondisi infeksi pada kulit, tentunya harus memperhatikan dan menutup lesi (luka) kulit sesuai dengan kebutuhan. Itu yang harus diperhatikan," pesannya.

Tak kalah penting, Hanny juga berpesan untuk selalu memastikan asupan gizi kita cukup dan seimbang. Caranya dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat agar kondisi tubuh tetap fit dan imunitas terjaga.

"Tidak ada makanan khusus yang harus dihindari jika seseorang terkena cacar monyet selama makanan yang dikonsumsi adalah makanan sehat, bergizi, tinggi mineral, dan tinggi vitamin. Hanya saja jika pasien mengalami gatal-gatal di bekas lesi maka perlu mencegah makanan-makanan yang mengandung protein tinggi, seperti daging, putih telur, dan ikan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat," jelas Hanny.

"Kalau pasien gatal dan dia makan protein tinggi kan dia akan cenderung menggaruk. Bisa jadi stretch marks (tanda kerutan) kemudian infeksi sekunder yang memperberat dan memperlama penyembuhan luka," sambungnya.

Terakhir, Hanny berpesan untuk menghindari hal-hal yang menyebabkan kondisi fisik dan psikis kita menurun atau lemah.

"Jadi itu harus kita persiapkan, nggak boleh stres. Kalau stres, berbagai macam penyakit tentu akan hadir bersama kita," pungkasnya. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait