URnews

Pro Kontra Tes Keperawanan untuk Calon Prajurit TNI

Shelly Lisdya, Selasa, 17 Agustus 2021 10.16 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pro Kontra Tes Keperawanan untuk Calon Prajurit TNI
Image: Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa di Puslatpur Amborawang, Samboja, Kalimantan Timur, Kamis 12/8/2021. (ANTARA/Novi Abdi)

Jakarta - Tes keperawanan untuk menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menjadi pro kontra publik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkritik tes yang diatur dalam Keputusan Panglima TNI Nomor 920 Tahun 2020.

WHO menyebut jika tes tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak perempuan dan tidak relevan digunakan untuk menentukan standar moralitas seseorang.

"Tes keperawanan merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan merupakan praktik yang secara luas didiskreditkan. Pengujian tersebut mencakup praktik invasif memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menilai apakah wanita tersebut sebelumnya pernah berhubungan seks. Pada November 2014, Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan pedoman yang menyatakan "Tidak ada tempat untuk tes keperawanan (atau 'dua jari') ini tidak memiliki validitas ilmiah," tulis laman Human Rights Watch (HRW).

Namun, belum lama ini, rencananya tes keperawanan akan dihapuskan dalam proses pemeriksaan kesehatan calon Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad). Pernyataan ini diungkapkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Ia menjelaskan, bahwa tes keperawanan tak lagi dilakukan TNI AD terhadap calon Kowad.

"Hymen atau selaput dara awalnya merupakan satu penilaian dalam seleksi pendidikan pertama Kowad, apakah hymen utuh atau ruptur sebagian atau ruptur yang sampai habis. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi," katanya kepada wartawan, Selasa (10/8/2021).

Andika menjelaskan, tujuan penyempurnaan materi seleksi tersebut lebih fokus ke kesehatan. Sehingga yang tidak berhubungan lagi dengan tes kesehatan akan dihapuskan.

"Tujuannya kan penyenpurnaan materi, kalau tidak berhubungan dengan itu, ya tidak perlu lagi," tambahnya.

Selain itu, tujuan pemeriksaan kesehatan calon Kowad adalah menghindari insiden atau hal-hal yang membahayakan nyawa selama pendidikan.

"Jadi hal-hal yang tidak berkaitan dengan tujuan itu, ya tak perlu dilakukan lagi. Kami ingin perbaikan, agar kami fokus, efektif dan tepat. Jangan sampai melebar. Agar memiliki," ungkapnya.

Andika pun memerintahkan proses seleksi prajurit pria dan wanita harus setara. Dan proses rekrutmen harus fokus pada pemeriksaan-pemeriksaan yang berhubungan dengan materi dasar militer.

Arahan penghapusan tes oleh Jenderal Andika ini disambut oleh HRW, mlalui situsnya, HRW menafsirkan arahan Jenderal Andika terkait tes kesehatan prajurit pria dan wanita harus setara dan sebagai sinyal bahwa tes keperawanan akan benar dihapuskan.

HRW pun berharap TNI AL dan TNI AU pun melakukan hal yang sama dalam proses perekrutan Kowad.

"Ini adalah langkah yang benar. Kini tanggung jawab komandan teritorial dan batalyon untuk mengikuti perintah," tulis HRW.

Selain itu, penghapusan tes keperawanan untuk masuk menjadi anggota TNI didukung penuh oleh Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid.

"Ini bukti bahwa TNI khususnya Angkatan Darat (AD) aspiratif terhadap perspektif gender serta mendengarkan masukan dari masyarakat," kata Meutya dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip dari ANTARA.

Meutya kembali mengingatkan, banyak aspek lain yang wajib dimiliki seorang prajurit, seperti kedisiplinan, kecerdasan, kecakapan, kepemimpinan, tanggung jawab, nasionalisme atau aspek-aspek lain yang berkaitan dengan bela negara.

Selain menuai dukungan dari beberapa pihak, adapula yang tidak sependapat dengan keputusan dihapusnya prosedur pemeriksaan genital pada seleksi penerimaan prajurit.

Salah satunya adalah Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi yang menyatakan, jika selama ini TNI telah menerapkan prosedur pemeriksaan genital sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada seleksi penerimaan personel di tiap jenjang.

Fahmi beranggapan, jika polemik pemeriksaan genital pada dasarnya lebih diakibatkan minimnya penjelasan yang menyangkut persoalan prosedur pemeriksaan kesehatan dalam seleksi personel.

Prosedur tersebut, dikatakan Fahmi, dilakukan karena TNI ingin menerapkan standar kesehatan dan moral yang tinggi bagi personelnya.

"Pemeriksaan genital memang dilakukan tidak hanya bagi perempuan, namun juga laki-laki. Pemeriksaan genital memang dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait kondisi kesehatan dan perilaku yang bersangkutan," katanya kepada wartawan. 

Tes dilakukan untuk mengetahui apakah calon prajurit tersebut mengidap penyakit menular seksual, penyakit genital atau tidak. Kemudian juga untuk mengetahui perilaku seksualnya.

Apabila pemeriksaan tersebut dihapus, dikatakan Fahmi, maka TNI akan kesulitan untuk melakukan 'profiling' kesehatan dan moral calon anggotanya secara lebih komprehensif.

"Saya dapat memahami apabila status keperawanan dihapuskan dari persyaratan lolos seleksi, sebab status itu belum tentu relevan dengan kondisi kesehatan calon prajurit,

"Saya tidak setuju apabila pemeriksaan genital dihapuskan, hasil pemeriksaan tersebut dapat menjadi salah satu data atau informasi penting dalam tahapan seleksi berikutnya untuk benar-benar mendapatkan personel dengan standar kesehatan dan moral yang diharapkan," tandasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait