URnews

Resmi Disahkan DPR, Ini Beberapa Poin Penting UU TPKS

William Ciputra, Selasa, 12 April 2022 16.06 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Resmi Disahkan DPR, Ini Beberapa Poin Penting UU TPKS
Image: Ilustrasi korban kekerasan seksual. (Pixabay)

Jakarta - Rancangan undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara resmi disahkan menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada hari ini, Selasa (12/4/2022). 

Ketua DPR, Puan Maharani yang memimpin jalannya Rapat Paripurna tersebut menanyakan persetujuan kepada seluruh anggota dewan yang hadir terkait pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang.

"Selanjutnya kami akan menanyakan sekali lagi kepada seluruh peserta sidang yang terhormat, apakah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan sebagai undang-undang?" tanya Puan dikutip Urbanasia dari laman resmi DPR, Selasa.

"Setuju," jawab seluruh anggota dewan secara serempak dan diikuti ketukan palu oleh Puan Maharani.

Dengan disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang, maka Indonesia kini memiliki perangkat hukum yang khusus menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual serta memberikan perlindungan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. 

Berikut beberapa poin penting yang terdapat dalam UU TPKS yang baru saja disahkan tersebut:

1. Mencakup 9 Jenis Kekerasan Seksual

Draf final RUU TPKS yang disahkan hari ini terdiri dari 66 halaman dan 93 pasal. Di dalamnya terdapat 9 jenis tindak kekerasan seksual.

Adapun 9 jenis kekerasan seksual itu meliputi pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). 

Kesembilan jenis kekerasan seksual itu tercatat dalam Pasal 4 ayat 1. Selain sembilan jenis itu, ada pula kekerasan seksual lain yang diatur dalam ayat 2, meliputi perkosaan, perbuatan cabul.

Lalu persetubuhan terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan, pornografi anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang untuk seksual, kekerasan seksual di rumah tangga, pencucian uang yang asalnya dari TPKS, dan tindak pidana lain. 

2. Perlindungan dari Revenge Porn

Dalam UU TPKS ini juga diatur kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), tepatnya pada Pasal 14. Dengan KSBE, maka ada perlindungan terhadap revenge porn

Revenge porn adalah tindakan menyebarluaskan foto, video, atau konten seksual tanpa seizin korban. Biasanya, pelaku dalam tindakan ini didorong oleh motif balas dendam. 

Pelaku yang terbukti melakukan KSBE atau revenge porn dalam UU TPKS diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda mencapai Rp 200 juta.

3. Hukuman Tidak Hanya Penjara dan Denda

Para pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS ini tidak hanya dihukum dengan pidana penjara atau pun denda. 

Tindakan lain yang akan diterima pelaku yaitu Rehabilitasi. Dalam Pasal 17 ayat 2 disebutkan, rehabilitasi pelaku TPKS meliputi medis dan sosial. Pelaksanaannya dilakukan di bawah koordinasi jaksa. 

Selain itu, pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu juga bisa dihukum dengan restitusi atau ganti rugi pada korban. Aturan terkait restitusi ini terdapat dalam Pasal 30. 

4. Perlindungan dan Hak Korban

UU TPKS juga mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Dalam Pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa pihak kepolisian bisa memberikan perlindungan sementara kepada korban dalam waktu 1x24 jam setelah menerima laporan. 

Adapun dalam ayat 2 disebutkan perlindungan sementara ini diberikan selama 14 hari terhitung sejak korban ditangani. Perlindungan yang dimaksud bisa meliputi membatasi ruang gerak pelaku dengan tujuan menjauhkannya dari korban. 

Sementara terkait hak korban diatur dalam Pasal 66. Hak-hak korban kekerasan seksual meliputi hak Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan. 

Dalam Pasal 67 ayat 2 disebutkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual ini merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. 

Adapun jika korban kekerasan seksual merupakan penyandang disabilitas, maka korban berhak mendapat akses dan akomodasi yang layak guna pemenuhan haknya sesuai ketentuan perundang-undangan. 

Tak hanya korban, UU TPKS juga mengatur hak-hak keluarga korban kekerasan seksual pada Pasal 71. 

5. Tidak Ada Opsi Restorative Justice

UU TPKS ini tidak mengatur penyelesaian perkara melalui restorative justice atau keadilan restoratif. 

Restorative justice adalah penyelesaian perkara pidana dengan menggelar pertemuan antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencari solusi bersama. 

Dengan tidak adanya opsi restorative justice dalam UU TPKS ini, maka setiap perkara kekerasan seksual akan diproses hingga pengadilan dan vonis terhadap pelaku. 

Terkait hal ini, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej pernah menjelaskan bahwa tidak adanya restorative justice dimaksudkan untuk menghindari penyelesaian perkara kekerasan seksual dengan uang. 

“Mengapa tidak boleh, ini sering terjadi, mohon maaf, karena pelaku orang berduit, korban orang tidak mampu, diprkosa, dicabuli segala macam, (lalu) dikasih uang, selesai perkaranya. Dianggap restorative justice. Itu nggak boleh,” katanya dalam satu kesempatan pada Selasa 22 Februari 2022 lalu. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait