URtainment

Sayembara Rachel Vennya, Psikolog: Penghina Harus Dishock Terapi

Shelly Lisdya, Senin, 31 Mei 2021 13.45 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sayembara Rachel Vennya, Psikolog: Penghina Harus Dishock Terapi
Image: Rachel Vennya. (Instagram @rachelvennya)

Jakarta - Hujatan yang dilontarkan netizen di media sosial tentunya berdampak pada korban ya, Urbanreaders. 

Seperti yang dialami oleh selebgram Rachel Vennya mendapatkan komentar kasar dari salah seorang netizen. Dalam Instagramnya, Rachel mengaku kerap mendapatkan perkataan kasar dari netizen, hingga menyebut ibu dua anak ini merupakan wanita yang tidak benar.

Lantas, usai liburannya ke Dubai, Rachel pun membuat sayembara untuk mendapatkan informasi biodata netizen yang telah menghinanya.

"Yah kok komenan sgnya dimatiin sih, ngga asik ah. Bersiap jadi lontai," bunyi pesan dari netizen.

Usai diposting ulang oleh Rachel, netizen bernama Fathin ini langsung meminta maaf dan berjanji bakal melakukan apapun yang diminta Rachel. Tak mempedulikan si Fathin, alhasil Rachel pun membuat sayembara.

Sayembara yang dibuatnya adalah voucher Gofood senilai Rp 15 juta untuk mencari biodata lengkap pelaku. Rachel kemudian mengunggah foto profil akun perempuan bernama Fathin yang disebut telah menghinanya tersebut.

"Bayar orang lacak ip address? Mager ah org masih pake akun asli, tinggal bikin sayembara, yang kenal Fathin kalo tau biodata lengkap nama alamat dll aku kasih 15 juta buat gofood sekampung yang paling lengkap yang menang ampe hobby si fathin juga boleh, email ke [email protected]," kata Rachel Vennya.

Menanggapi hal ini, psikolog Intan Erlita mengatakan, tindakan yang dilakukan Rachel Vennya sangat tepat dari sisi psikologis. Sebab, hujatan yang dilontarkan oleh netizen akan membuat kondisi mental seseorang menurun. 

"Kalau dari sisi psikologisnya ini tepat untuk memberikan pelajaran bagi netizen agar kapok. Jadi, netizen lain yang pada nyinyir itu lebih hati-hati. Kalau sosok artis ini merasa sudah kelewatan ya mereka nggak diam. Memang harus dishock terapi, tapi untuk beberapa netizen yang komentarnya tidak baik dan cenderung menghina," katanya kepada Urbanasia, Senin (31/5/2021).

Intan menyebut, bahaya yang ditimbulkan dari hujatan netizen sangat berdampak besar. Ia mencontohkan seperti kasus para selebriti Korea yang mengakhiri hidupnya lantaran hujatan dari netizen di media sosial.

"Ini bahaya terbesar, ambil contoh artis Korea yang bunuh diri. Sebelum bunuh diri menunjukkan kedepresiannya karena komentar-komentar negatif yang dibuat oleh stigma sosial media. Orang itu, kalau diomongin di sosial media bisa menyebabkan stress, depresi hingga merasa hidup di dunia ini nggak ada artinya dan memilih jalan yang salah," bebernya.

"Ditambah kondisi Rachel yang belum stabil, karena divorce dan pernah ngalami gangguan mental. Jadi artinya bisa menimbulkan depresi tinggi, harus ada jeratan kepada netizen yang sudah menghinanya," imbuhnya.

Dari banyak kasus di Indonesia, seseorang yang tega menghina orang lain di media sosial, ketika diproses hukum, orang tersebut hanya minta maaf. Akibatnya, masih banyak netizen yang mencoba untuk berkata kasar dengan menggunakan jarinya di media sosial.

Nah, melihat kasus seperti itu, Intan menyarankan, sebaiknya pelaku penghinaan harus diproses hukum dengan minimal diberi sanksi sosial. 

"Percuma kalau hanya minta maaf, kalau bisa ya proses hukum saja seperti sanksi sosial. Ini kita harus mengajari ke pelaku, bahwa ada impact yang dialami korban. Karena kalau terus dibiarkan, kita punya generasi yang rusak secara moral," ungkapnya.

Baca Juga: Curhat Masalah Rumah Tangga, Rachel Vennya: Bukan Aku yang Khianati

1622435397-Instagram-Stories-Rachel-Vennya-2.jpgSumber: Instagram Stories Rachel Vennya. (Instagram @rachelvennya)

Sementara itu, penghina Rachel Vennya diketahui masih duduk di bangku sekolah atau pelajar dan akan meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Lantas, Fathin pun meminta Rachel untuk memaafkannya, demi masa depannya. 

Sedangkan Intan mengatakan, tidak peduli status dari sang pelaku, apabila ia terbukti bersalah, maka harus ada tanggung jawab yang diterimanya.

"Justru mereka masih pelajar harus dididik, generalnya mereka ini masih pelajar dan generasi penerus bangsa. Kalau mereka nggak diajarin, kalau sudah dewasa mereka akan semena-mena dan tidak tahu mana yang baik dan buruk," katanya.

"Terkait hukuman biar ranah hukum yang memberi kewenangan. Mungkin mereka nggak dipenjara tetapi diberi hukuman sosial seperti di luar negeri. Apa dia magang di panti jompo, membersihkan perpustakaan sembari membaca dan lain-lain. Kita harus komitmen, jangan berprinsip kasihan, justru anak-anak nggak akan belajar atas perbuatan yang ia lakukan, harus ada punishmentnya," imbuhnya.

Tidak hanya berlaku bagi Rachel Vennya, berikut langkah yang tepat buat kamu yang menjadi korban perkataan kasar atau mengacu pada toleransi.

1. Setuju dengan Mencari Data Diri Pelaku

Dengan bantuan netizen seperti yang dilakukan Rachel Venya ini, menurut Intan sudah tepat.

"Zaman media sosial, dengan bantuan netizen ini sudah tepat. Mencari data diri, kemudian diskusikan, apakah kasus ini terbilang berat atau ringan," katanya.

2. Memproses Hukum

Namun, pemberian hukuman tidak langsung diberikan kepada pelaku penghinaan, melainkan dilihat sebatas mana dia melontarkan kata-kata bullyan.

"Kalau sekadar biasa saja boleh dengan permintaan maaf, tetapi harus dipublikasikan agar ada efek jera," singkatnya.

Nah, apabila kalimat yang dilontarkan sudah tidak sesuai etika dan membuat korban naik pitam hingga depresi, bahkan pelaku sudah berkali-kali membulli, maka harus diproses hukum.

"Karakter seperti ini yang bahaya, dia akan berpikir oh saya minta maaf selesai. Ini tidak akan ada efek jera. Kalau sudah lebih tiga kali, nggak bisa dengan permintaan maaf, ya dengan cara hukum," ungkapnya.

"Tapi saya juga menyayangkan hukuman-hukuman tidak pada tempatnya, seperti dipecat dari pekerjaan atau dikeluarkan dari sekolah. Ini berlebihan, mungkin mereka salah tetapi bagaimana dengan nasib masa depan dia? Karena kita sebagai korban, jangan sampai si pelaku juga menjadi korban, di mana dia jadi kurang percaya diri akhirnya dendam dan masa depannya rusak. Hukuman itu bukanlah sesuatu yang bikin kita puas kepada pelaku, etapi kepada pelaku agar tidak mengulanginya lagi," pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait