URnews

Sederet Fakta Kasus Korupsi Bansos COVID-19 Juliari Batubara

Nivita Saldyni, Senin, 7 Desember 2020 16.42 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Sederet Fakta Kasus Korupsi Bansos COVID-19 Juliari Batubara
Image: Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara. (Humas Kementerian Sosial)

Jakarta - Nama Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara masih menjadi sorotan usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi bansos COVID-19 di wilayah Jabodetabek, Sabtu (5/12/2020) lalu.

Untuk Urbanreaders yang ketinggalan informasinya, jangan khawatir. Berikut Urbanasia rangkuman tiga fakta di balik penetapan Juliari Batubara sebagai tersangka:

1. Kronologi Kasus

Seperti yang kita ketahui, penyelewengan dana bansos ini berawal dari adanya pengadaan barang di Kemensos. Tepatnya pengadaan bansos COVID-19 di wilayah Jabodetabek pada 2020.

"Diawali adanya pengadaan barang berupa bantuan sosial dalam rangka penanganan COVID-19 di Kemensos pada 2020 dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak 2 periode," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam komferensi pers Minggu (6/12/2020) dini hari.

Dalam pengadaan barang tersebut, Juliari diketahui menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyuni (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial dalam pelaksanaan proyek dengan penunjukan langsung.

Diduga dalam pengadaan tersebut telah disepakati ada fee yang harus disetorkan para rekanan di tiap paket bansos kepada Kemensos melalui MJS. 

"Fee tiap paket bansos disepakati sebesar Rp 10 ribu per paket dari Rp 300 ribu per paket bansos. Selanjutnya, Mei sampai dengan November dibuatkan kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan," jelas Firli.

Adapun rekanan bansos COVID-19 Kemensos yang ditunjuk dalam pengadaan ini adalah PT Rajawali Parama Indonesia. Mereka adalah suplier pemasok sembako dalam pengadaan bansos COVID-19 tersebut yang diduga milik MJS.

Nah, pada penyaluran bansos periode pertama diketahui Juliari CS menerima 'hadiah' sebesar Rp 12 miliar yang dibagi secara tunai oleh MJS ke JPB melalui AW sebesar Rp 8,2 miliar.

"Pemberian uang tersebut kemudian dikelola oleh EK dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi JPB," jelas Firli.

Kemudian, pada penyaluran bansos periode kedua terhitung mulai Oktober - Desember 2020, terkumpul sejumlah uang sebesar Rp 8,8 miliar yang juga diduga untuk keperluan pribadi JPB.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan saksi dan barang bukti, KPK menetapkan lima orang tersangka, sebagai penerima yaitu saudara JPB, saudara MJS, dan saudara AW. Sementara sebagai pemberi adalah AIM dan HS," jelas dia.

Yap, tersangka dalam kasus ini adalah Juliari Peter Batubara (JPB), Matheus Joko Santoso (MJS), Adi Wahyuni (AW) sebagai penerima suap. Kemudian ada juga Ardian I.M (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta yang memberikan uang.

Adapun dalam operasi tangkap tangan (OTT) kali ini, KPK berhasil mengamankan barang bukti berupa uang tunai senilai total Rp 14,5 miliar yang disimpan di dalam tujuh koper, tiga tas ransel, dan amplop.

"Dari hasil OTT ditemukan uang dengan berbagai pecahan uang rupiah, uang dollar Singapura, dan uang dollar Amerika Serikat yang masing-masing Rp 11,9 miliar, 171.085 dollar AS atau setara Rp 2,4 miliar, dan sekitar 23.000 dollar Singapura  atau setara dengan Rp 243 juta," beber Firli.

2. Pasal-pasal yang Menjerat Tersangka 

Dalam kasus ini, para penerima suap yaitu Mensos Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan dua orang tersangka lainnya, yaitu Ardian I M dan Harry Sidabuke selaku pihak swasta yang berperan sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kini, mereka tengah menjalani masa tahanan selama 20 hari di rutan KPK, terhitung mulai 5 Desember 2020 untuk MJS, AIM, dan HS. Sementara untuk JPB dan AW baru dimulai pada 6 Desember 2020.

3. Akankah para Tersangka Mendapat Hukuman Mati?

Menurut Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dalam 'keadaan tertentu' diancam hukuman mati.

Berikut bunyi Pasal 2 UU Nomer 31 Tahun 1999:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Lebih lanjut, dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), tersebut dikatakan bahwa 'keadaan tertentu' yang dimaksud di sini adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Untuk itu, Firli mengaku pihaknya akan terus mengembangkan kasus ini berdasarkan keterangan saksi dan juga bukti-bukti yang ada.

Sehingga nantinya akan diketahui ada atau tidaknya tindakan pidana korupsi yang merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh lima orang tersangka ini.

"Kami paham juga bahwa pandemi COVID-19 ini dinyatakan oleh pemerintah sebagai bencana non-alam. Sehingga kami tentu tidak berhenti sampai di sini, apa yang kami lakukan? Kami akan terus bekerja terkait dengan bagaimana mekanisme pengadaan barang jasa untuk bantuan sosial di dalam pandemi COVID-19. Tentu nanti kami akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti-bukti, apakah bisa masuk ke pasal 2 UU 31 Tahun 1999," terang Firli.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait