URstyle

Jurnalis Rentan Terkena Gangguan Kesehatan Mental, tapi Tak Banyak yang Peduli

William Ciputra, Selasa, 19 Desember 2023 16.04 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Jurnalis Rentan Terkena Gangguan Kesehatan Mental, tapi Tak Banyak yang Peduli
Image: Ilustrasi jurnalis ((Freepik/Freepik)

Jakarta - Kesehatan mental merupakan masalah yang bisa dialami oleh siapa saja dari berbagai profesi. Tuntutan dalam pekerjaan dan tekanan dari atasan bisa menjadi depresor yang membuat seseorang depresi. 

Salah satu profesi yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental adalah jurnalis. Menurut data dari Canadian Journalism Forum tentang Kekerasan dan Trauma, 69% dari 1000 pekerja media mengaku menderita kecemasan dan 46% mengak depresi. 

Menurut Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, Lahargo Kembaren, jurnalis merupakan profesi yang dekat dengan gangguan kesehatan mental. Peliputan berita, kata dia, bisa menjadi stressor terhadap kesehatan mental. 

Begitu pula dengan aktivitas jurnalis yang seringkali meliput peristiwa traumatis. Namun jurnalis kurang mendapatkan support system untuk kesehatan mentalnya. 

“Jurnalis juga kurang mendapat profesional-personal life balance. Nggak terlalu banyak orang yang peduli terhadap kesehatan mental jurnalis,” katanya dalam Year-End Media Gathering Johnson & Johnson Indonesia 2023 ‘Minds The News: Supporting Mental Health in the Media Landscape, Kamis (14/12/2023). 

Lahargo menambahkan, untuk itu penting bagi jurnalis untuk memahami betapa pentingnya kesehatan mental. Selain itu, gangguan kesehatan mental seperti depresi merupakan masalah kejiwaan yang bisa ditangani dan disembuhkan. 

Dalam kesempatan tersebut Lahargo turut memberikan tips bagaimana seorang jurnalis dan masyarakat umum agar bisa menjaga kesehatan mental dalam kondisi prima. 

Cara pertama, kata Lahargo, masyarakat bisa mencoba untuk tidak fokus pada apa yang tidak bisa dikontrol, melainkan fokus pada sesuatu yang bisa dikontrol seperti tidur, makanan, dan hubungan. 

1702976565-JnJ.jpg Leader of Communication & Public Affairs Johnson & Johnson Pharmaceutical for Indonesia, Malaysia & Philippines, Devy Yheanne. (Urbanasia)

“Pastikan untuk tidur pada jam yang sama, sehingga tubuh akan terlatih. Tubuh memiliki ritme sirkadian yang unik, dimana jumlah hormon kortisol bisa meningkat pada pagi hari dan menurun di malam hari,” imbuh Lahargo. 

Mengatasi depresi juga bisa dengan mengonsumsi makanan dengan nutrisi lengkap dan seimbang. Jurnalis juga bisa mengalokasikan waktu untuk menjalin hubungan yang baik dengan seseorang. 

Penting juga bagi seorang jurnalis untuk mengambil cuti dan berhenti dari rutinitas peliputan berita. Waktu cuti bisa digunakan untuk refreshing bersama keluarga, pasangan, atau teman. 

“Rasa cemas dan stres memang sangat normal, tetapi apabila sudah mulai mengganggu kinerja, maka sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter,” lanjut Lahargo. 

Dalam kesempatan yang sama, Leader of Communication & Public Affairs Johnson & Johnson Pharmaceutical for Indonesia, Malaysia & Philippines, Devy Yheanne menuturkan, jurnalis merupakan profesi yang krusial di tengah-tengah masyarakat. 

Namun sayangnya, jurnalis seringkali justru mengorbankan kesehatan mental mereka sendiri ketika harus melakukan peliputan peristiwa traumatis seperti konflik, bencana alam, atau tekanan berlebih. 

"Meskipun tugas mereka memerlukan ketangguhan dan ketahanan, kesehatan mental jurnalis sering luput dari perhatian. Padahal berita yang berkualitas dapat dihasilkan apabila kesehatan mental dan fisik jurnalis terjaga,” kata dia. 

Menurut Devy, alasan itulah yang membuat Johnson & Johnson Indonesia berkomitmen untuk mendukung kesehatan mental pelaku media dengan memberikan edukasi tentang kesehatan mental. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait