URamadan

Suka Duka Deby Puasa Pertama Kali di Inggris

Kintan Lestari, Selasa, 27 April 2021 16.13 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Suka Duka Deby Puasa Pertama Kali di Inggris
Image: Potret Deby di depan Emmanuel Centre (University Chaplaincy), University of Leeds. (Nur Deby Putri Maulida for Urbanasia)

Leeds - Menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya merupakan kewajiban bagi seorang Muslim. Meski semua umat Muslim berpuasa, tapi tentunya semua orang punya ceritanya masing-masing.

Begitu pun dengan Nur Deby Putri Maulida, mahasiswi Indonesia yang kini tengah menetap di Leeds, salah satu kota di Inggris, guna mengambil studi S2 di University of Leeds.

Deby, begitu panggilan akrabnya, kini sudah empat bulan menetap di Inggris. Ini menjadi puasa pertamanya di negeri orang. 

Tradisi Ramadan di Inggris diungkapkan Deby tak jauh beda dengan di Indonesia. Ada orang yang membagikan takjil dan buka bersama, hanya saja disesuaikan dengan budaya di sana.

"Kalau tradisi hampir sama dengan di Indonesia. Kita membagikan takjil ke masjid, buka bareng, dan tarawih. Nah, itu pun juga terjadi di Inggris. Kebanyakan teman-teman saya sangat senang dengan party. Jadi kami memanfaatkan budaya orang Inggris yang suka merayakan party dengan melakukan iftar party. Tapi karena masih COVID-19, jumlah orang yang bertemu masih dibatasi," cerita Deby.

1619513375-Deby-PPI-UK-2.jpegSumber: Kebersamaan Deby bersama teman-temannya di Leeds. (Nur Deby Putri Maulida for Urbanasia)

Untuk diketahui, pemerintah Inggris di masa pandemi sudah memperbolehkan orang berkumpul, namun jumlahnya masih dibatasi maksimal 6 orang saja di satu ruangan.

Meski tradisi yang dilakukan mirip, namun tetap saja Deby merasakan beberapa perbedaan di bulan Ramadan tahun ini.

Hal yang terasa perbedaannya tentu saja durasi berpuasa yang lebih panjang. Di Inggris, umat Muslim harus menahan lapar dan haus selama 18-19 jam.

Di hari-hari awal berpuasa, Deby menyebut ia berbuka puasa sekitar pukul 8 malam lebih. Dan untuk sahurnya, Deby bersantap antara pukul 04.00-04.30 waktu setempat.

Namanya berada di negeri orang, tentu makanan yang disantap rasanya berbeda. Selama berada di Leeds, Deby dan juga orang Indonesia di sana seringnya memasak makanan sendiri lantaran mereka jarang menemui masakan khas Indonesia.

"Kalau di Leeds, untuk mendapatkan makanan khas Indonesia sangat sulit dan cita rasanya juga sangat berbeda. Restoran Pakistan di sana rasa karinya juga tidak mirip masakan Indonesia. Maka dari itu puasa ini kebanyakan orang Indonesia memasak sendiri untuk mengobati rindu," ujar mahasiswi jurusan MA Tesol Studies ini. 

1619513348-PPI-UK-Deby.jpgSumber: Potret Deby di depan kampusnya, University of Leeds. (Nur Deby Putri Maulida for Urbanasia)

Namun di minggu pertama Ramadan, Deby menyebut banyak yang memasak bersama untuk dibagi-bagikan ke orang Indonesia di Leeds. Ia mengaku sering mendapatkan makanan untuk berbuka puasa yang dibagikan oleh anggota Kibar (Komunitas Islam Britania Raya). 

Perbedaan lain yang ia rasakan saat berpuasa di negeri orang adalah suasana Ramadan yang 'sepi' tanpa keributan orang membangunkan sahur.

"Yang membedakan di Indonesia dan Inggris itu di sini tidak ada yang membangunkan untuk sahur. Untuk mendengar azan pun hampir tidak pernah. Jadi kami hanya menggunakan handphone. Masjid ada, namun suara azannya tidak di speaker, jadi kalau mau mendengar azan harus masuk ke masjid," cerita Deby. 

Berpuasa di tengah COVID-19, Deby mengungkap semua kegiatan Ramadan, seperti pengajian, umumnya dilakukan secara online. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang bisa salat berjamaah atau tausiah di masjid-masjid yang ada di Leeds. 

Pertama kalinya menjalankan ibadah puasa di negeri orang, Deby pun menceritakan suka duka yang dialaminya. 

"Kalau sukanya merasa tertantang ya karena di sini puasanya lama. Lalu juga tertantang untuk menjelaskan pada orang yang non-muslim puasa itu apa. Dan sukanya, berpuasa di negeri orang tuh semakin menambah keimanan karena kita bener-bener berjuang di sini," ungkap Deby. 

Untuk dukanya, Deby merasa puasa yang dijalaninya tahun ini terasa sepi karena COVID-19. Ia tidak bisa bertemu banyak orang karena pembatasan yang diterapkan. Ditambah lagi, diceritakan Deby, di Leeds tidak ada jasa antar beli makanan seperti GoFood, dan sulit mencari makanan Indonesia.

Bukan hanya mencari makanan Indonesia saja sebenarnya kesulitan yang dirasakan Deby saat berpuasa di Inggris. Ia pun sulit mencari makanan halal. Di city center Leeds saja, makanan halal yang ia jumpai hanya makanan Asia dan Timur Tengah saja.

Dari banyaknya toko di Leeds, hanya ada dua supermarket yang menjual daging halal, yaitu Abu Bakr dan Continental. Di kawasan city center, tepatnya di toko Morrison, juga ada yang menjual daging halal, namun section-nya kecil dibanding daging lainnya. Dan jumlahnya pun dikatakan Deby terbatas sehingga ia sering kehabisan.

Berbeda halnya dengan makanan halal, beruntung di Leeds cukup banyak ada masjid. Yang terbesar adalah Lincoln Green Mosque. Masjid di Inggris kini sudah mulai dibuka, hanya saja jumlah orang yang boleh salat masih dibatasi dan wajib mengikuti protokol kesehatan.

Sebagai minoritas di Inggris, Deby mengaku dirinya tidak pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan. Paling jauh hanya diperhatikan saja.

1619513336-Deby-PPI-UK.jpgSumber: Potret Deby di depan Emmanuel Centre (University Chaplaincy), University of Leeds. (Nur Deby Putri Maulida for Urbanasia)

"Pertama kali saya menginjakkan kaki di London saya dilihatin sama orang karena pakai kerudung. Itu sih yang sering, tapi mereka tidak sampai meng-underestimate dengan bertanya macam-macam. Paling hanya melihat seseorang yang pakai kerudung aneh," curhatnya.

Namun ada temannya yang tidak beruntung dan mendapat hinaan dari oknum tertentu. 

"Yang seperti itu memang ada, tapi nggak banyak. Apalagi di Leeds. Kebetulan di Leeds ini Kota Pelajar, jadi hampir semua orang di sini terbuka. Saya tidak pernah mengalami underestimate dari pihak lain mengenai hijab, malah mereka pengen tahu kenapa berhijab dan berpuasa," curhat Deby.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, Deby menjelaskannya secara ilmiah supaya masuk ke logika orang yang non-muslim. Baru setelahnya ia menjelaskan lebih lanjut mengenai budaya Islam. 

Di Leeds Deby mengaku beruntung berjumpa dengan teman-teman yang open minded dan menghargai dirinya yang tengah berpuasa. Bahkan ada teman Eropanya yang memasakkan makanan bagi Deby dan temannya yang sedang berpuasa, dengan bahan-bahan halal tentunya.

Kotanya sendiri digambarkan Deby juga ikut menghargai Islam. Pasalnya Deby membeli sebuah gelas yang bertuliskan 'Eid Mubarak', yang mana toko-toko di Leeds bertemakan Ramadan.

Kalau dari sisi masyarakat Deby tidak menemui masalah saat berpuasa, tantangan datang dari cuaca. Tidak cukup durasi yang panjang, cuaca di Leeds makin lama makin berat untuk menjalani puasa.

"Untuk awal puasa cuaca masih oke karena cuacanya dingin dan sedang libur kuliah. Jadi belum berasa berat. Diakhir akan lebih berat lagi karena memasuki musim panas. Jadi kita akan berbuka puasa jam 9-10 malam. Apalagi kalau sudah mulai kuliah, karena di sini tidak ada motor jadi harus jalan kaki. Namun semuanya karena niat dan terbiasa," kata Deby.

Tantangan lainnya yaitu saat harus berwudu. Di Leeds sangat sulit mencari toilet, kalau ada hanya ada di mal atau swalayan besar. Kalaupun ada, toiletnya kering sehingga usai berwudu harus dibersihkan setelahnya. Dan berwudu pun dilakukan di wastafel.

1619513363-Deby-PPI-2.jpegSumber: Kebersamaan Deby bersama teman-temannya di Leeds. (Nur Deby Putri Maulida for Urbanasia)

Dari semua kesulitan yang ditemuinya di Leeds, Deby pun cukup rindu dengan Indonesia. Adapun yang ia rindukan di Indonesia adalah suara azan sampai makanannya.

"Yang paling dikangenin azan. Kemudian orang yang bangunin sahur. Padahal dulu di Indonesia sebel sama yang bangunin sahur, di sini malah kangen, sekarang bangunnya karena alarm. Terus juga bukber bareng temen. Di sini ada iftar party, cuma temennya non-muslim jadi obrolannya harus menjelaskan dulu. Dan yang paling dikangenin dari Indonesia adalah makanan," cerita Deby.

Kalau kangen ingin masakan Indonesia, dikatakan Deby dirinya harus effort masak sendiri. Kalaupun beli rasanya berbeda.

Sudah empat bulan tinggal di salah satu negara Eropa, yang mana sering lekat dengan pandangan Islamophobia-nya, Deby mengaku Leeds adalah kota yang tidak terlalu memojokkan orang Islam. 

"Untuk di Leeds saya pribadi belum merasakan yang benar-benar besar pengaruhnya, paling hanya dilihatin. Itu masih wajar. Jadi Islamophobia saya belum mengalami yang sangat mengganggu, mungkin hanya merasa risih. So far kalau sudah kenal dekat dengan warga di sana, akan mudah menjelaskan," tutup Deby. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait