URnews

Tagih Keringanan UKT, Mahasiswa UB Minta Kampus Patuhi Permendikbud Baru

Nunung Nasikhah, Senin, 22 Juni 2020 22.56 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Tagih Keringanan UKT, Mahasiswa UB Minta Kampus Patuhi Permendikbud Baru
Image: Aksi unjuk rasa mahasiswa UB menuntut pemotongan UKT hingga 50 persen, beberapa waktu lalu. (twitter/@amarahbrawijaya)

Malang – Unjuk rasa menuntut keringanan uang kuliah tunggal (UKT) kembali terjadi. Kali ini tuntutan kembali datang dari mahasiswa Universitas Brawijaya (UB).

Sebelumnya, massa yang mengatasnamakan diri Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Brawijaya telah menggelar aksi unjuk rasa mendesak pimpinan UB untuk mengeluarkan kebijakan memotong UKT dan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar 50 persen untuk seluruh mahasiswa UB.

Aksi unjuk rasa yang telah dilakukan sebanyak dua kali tersebut sebagai respon sikap universitas yang dinilai tidak peka terhadap kondisi mahasiswa di tengan pandemi COVID-19.

“Mahasiswa menuntut agar rektorat mengeluarkan kebijakkan akibat masa pandemi. Adapun kebijakan Peraturan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 17 Tahun 2019 dinilai belum mengakomodir keinginan mahasiswa,” ungkap Humas Amarah Brawijaya, Ragil Ramadhan.

Dalam unjuk rasa tersebut, mahasiswa melakukan aksi di gerbang Jalan Veteran, lalu pindah ke depan gedung rektorat. Massa kemudian diterima oleh Wakil Rektor 3 UB, Prof Abdul Hakim.

Sayangnya, respon pihak kampus dinilai kurang memuaskan oleh Amarah Brawijaya. Mereka menilai bahwa pihak kampus telah melakukan blunder dengan sikapnya yang tetap mengikuti Peraturan Rektor No 17 Tahun 2019 tentang Penundaan, Penurunan dan Keringanan Biaya Pendidikan.

“Amarah Brawijaya melihat adanya sikap yang tidak patuh terhadap keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,” kata Ragil.

Ragil mengatakan, Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud No 25 Tahun 2020, sedangkan Peraturan Rektor No 17 Tahun 2019 tidak berdasarkan itu.

Dalam Permendikbud No 25 Tahun 2020 itu, diterangkan bahwa pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa.

“Amarah Brawijaya menilai keterangan keringanan dan/atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa tersebut sudah sesuai dengan aspirasi para mahasiswa yang berharap agar rektor bisa membuat kebijakkan baru, yakni memotong UKT,” ucap Ragil.

“Namun sikap Universitas Brawijaya yang masih kukuh pada Peraturan Rektor No 17 Tahun 2019, dinilai tidak selaras dengan semangat Permendikbud No 25 Tahun 2020,” imbuhnya.

Selain itu, UB juga dinilai tidak merespon baik tuntutan atau aspirasi yang telah disuarakan oleh mahasiswa.

Padahal, dengan hadirnya Permendikbud No 25 Tahun 2020, universitas memiliki keleluasaan untuk membuat regulasi yang mampu meringankan beban mahasiswa dan orang tuanya.

“Dengan adanya Permendikbud No 25 Tahun 2020, seharusnya Universitas Brawijaya tidak perlu berbelit menetapkan peraturan. Kami mempertanyakan, apakah kampus memiliki keinginan baik (good willing) atau tidak?” jelas Ragil.

Oleh karenanya, Amarah Brawijaya mendesak agar pemimpin UB untuk membuat Peraturan Rektor (Pertor) baru yang sesuai dengan Permendikbud No 25 Tahun 2020.

“Amarah Brawijaya juga masih kukuh pada tujuan aspirasi yakni salah satunya terkait keterbukaan informasi publik pengelolaan anggaran yang suratnya telah berada di tangan rektorat saat ini,” tandas Ragil.

Menurut Amarah Brawijaya, kebijakan untuk melakukan pengajuan penundaan, pengurangan maupun pembebasan UKT juga dinilai kurang ideal.

Tidak sedikit pengajuan mahasiswa yang ditolak oleh kampus, padahal dampak pandemi ini dirasakan oleh semua mahasiswa.

“Para pejabat di rektorat hingga dosen yang mengajar di dalam kelas pun turut terdampak. Amarah Brawijaya menghendaki dialog yang menjadi ciri tempat pendidikan untuk menyelasaikan persoalan,” pungkas Ragil.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait