URtech

Mutlaknya Literasi Teknologi Para Pembuat Regulasi

Firman Kurniawan S, Selasa, 23 Mei 2023 10.05 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mutlaknya Literasi Teknologi Para Pembuat Regulasi
Image: Ilustrasi penggunaan teknologi AI di bidang kesehatan (Freepik/rawpixel.com)

PEMBAHASAN soal pentingnya literasi teknologi bagi masyarakat luas, kerap dilakukan. Aneka aksi literasinya pun, tak jarang diselenggarakan. Pelakunya berasal dari pihak yang memang punya tanggung jawab untuk itu, hingga yang merasa punya kepedulian. 

Seluruhnya diupayakan untuk membangun kecocokan, antara teknologi yang baru dikenalkan dengan kondisi masyarakat. Sedangkan peserta literasi, berasal dari berbagai kalangan. Mulai yang intensif memanfaatkan teknologi, hingga kelompok yang diperkirakan rentan bakal jadi korban kemajuannya. 

Pernyataan di atas, relevan dengan ungkapan lama, yang dikemukan Arnold Pacey. Soal organisasi di balik teknologi, harus serius diperhatikan. Pacey menyampaikan pernyataannya dalam buku yang berjudul ‘The Culture of Technology’. Buku ini diterbitkan Cambridge, MA: MIT Press, 1983. 

Disebutkannya, pengaruh penting teknologi tak semata bergantung pada aspek teknisnya. Aspek teknis melekat sebagai fungsi mekanis, kimiawi, maupun elektriknya. Pada teknologi, juga terdapat aspek sosial, budaya, ekologi, dan politik. Seluruhnya mempengaruhi kinerja teknologi. 

Ini saat dikaitkan dengan konteks sosial maupun ekologi, tempat teknologi diperkenalkan. Karenanya, penting memperhatikan aspek budaya maupun organisasi teknologi dalam desain dan penerapannya. Pacey menyesali, jika teknologi hanya dipandang sebagai alat yang bernilai netral.

Relevan dengan uraian di atas, selain soal budaya yang melingkupi tempat teknologi digunakan, pengorganisasian penerimaan teknologi penting dibahas serius. Ini termasuk soal regulasi yang dikenakan di seluruh aspek teknologi. 

Saat teknologi mulai dikembangkan, dipakai, digunakan untuk mendukung kerja, operasinya dalam memperoleh keuntungan bisnis, penerapan sistem keamanannya, mekanisme pengawasan yang dilakukan, hak atas data, hingga mitIgasi manakala teknologi tak sesuai dengan tujuan awalnya. 

Seluruhnya menuntut, selain masyarakat, penyusun regulasi mutlak punya kedalaman pemahaman. Tak sekedar memadai, namun mampu melihat implikasinya hingga jauh ke depan. Peran penyusun regulasi strategis, agar aturan yang disusunnya tak justru menghambat pengembangan teknologi. Juga tak abai terhadap penyimpangan, yang terjadi akibat teknologi.

Suatu pemahaman yang tak selalu ideal soal teknologi, diperlihatkan berulang-ulang oleh para regulator Amerika maupun negara-negara besar lainnya. Peristiwanya mengemuka, justru ketika terjadi keadaan krisis. Keadaan yang dapat merugikan kehidupan orang banyak. 

Salah satu penulis yang mengulas keadaan tak ideal itu adalah Leif-Nissen Lundbæk, 2022. Seluruhnya termuat dalam tulisan yang berjudul ‘Our Politicians Don’t Understand Tech and it's Time to Put Them to the Test’. Pada salah satu bagian tulisannya, Lundbæk mengungkapkan dengan geram, ‘Political animals should be digital savvy’. Binatang politik, harusnya paham digital.  

Pernyataan itu diungkapkan menanggapi serangkaian pertanyaan para penyusun regulasi di Amerika, yang mengindikasikan terbatasnya, bahkan salah kaprah, memahami operasi teknologi. 

Ilustrasi gamblangnya, saat Senator Orrin Hatch mengajukan pertanyaan kepada Mark Zuckerberg: jika Facebook beroperasi memberi layanan gratis pada penggunanya, bagaimana perusahaan dapat mempertahankan bisnis, saat pengguna tak membayar penyelenggaraan layanannya. 

Sambil berusaha menahan tawa geli Zuckerberg menjawab, ‘Senator, kami menjalankan iklan’. Jawaban Zuckerberg atas pertanyaan yang memalukan ini, lantas jadi salah satu soundbytes yang populer, ditemukan lewat kata kunci, ‘Mark-Zuckerberg-explains-the-internet-to-Congress’.

Keadaan yang identik dengan di Amerika, terjadi di Parlemen Inggris. Di negara itu, ungkapan anggota parlemennya, mengindikasikan kelemahan pemahaman terhadap aspek teknologi yang hendak diaturnya. Peristiwanya menimpa David Cameron, anggota parlemen senior Inggris, di tahun 2014. 

Dalam uraian lanjutan Lundbæk itu diungkapkan, Cameron mengajukan permintaan kepada penyedia wifi di Inggris, untuk melakukan pemblokiran terhadap konten pornografi berikut pengawasan penggunaan pemakaiannya. Seluruh persyaratan yang diajukan berlaku pada penggunaan wifi di rumah tangga maupun koneksi pribadi. Dalih Cameron, melindungi anak-anak dari pornografi online. 

Yang terjadi kemudian, permintaan Cameron dicemooh di seluruh Inggris. Ini lantaran, jika permintaannya dipenuhi, seluruh perilaku pengguna internet maupun data pribadinya akan diawasi dan dikumpulkan oleh penyelenggara wifi. Bentuk pengawasan macam ini ditolak di Inggris. Juga jika data pribadi dikumpulkan oleh penyelenggara jaringan wifi. 

Persyaratan Cameron itu tak bakal terwujud, dan justru tujuan memblokir pornografi dari anak-anak dengan menyiapkan database pengawasan, bakal disiasati dengan akses lewat VPN. Implikasi lanjutannya, justru konten yang menawarkan pendidikan seksual bakal terblokir.

Lain pula yang terjadi saat CEO Tiktok, Shou Zi Chew, diundang dalam Sidang Kongres Amerika, Kamis 23 Maret 2023 yang lalu. Lewat tulisan yang berjudul ‘TikTok Congressional Hearing: CEO Shou Zi Chew Grilled by US Lawmakers’, David Shepardson dan Rami Ayyub, 2023, menceritakan yang terjadi di ruang kongres. 

Saat itu dibahas berbagai kekhawatiran Negara Amerika terhadap penggunaan Tiktok. Para anggota parlemen mengemukakan kekhawatiran terhadap pengaruh video-video pendek TikTok, atas memburuknya kesehatan mental anak-anak di negara itu. Maupun merebaknya penyalahgunaan obat terlarang, dan perilaku menyakiti diri sendiri yang luas. 

Demikian pula dengan adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan data pribadi warganegara Amerika, oleh negara induk TikTok, Cina.

Walaupun tak berhasil meredakan kekhawatiran para anggota parlemen, jawaban Chew menyiratkan jaminan, pengembang platform asal Cina itu telah berinvestasi besar atas keamanan data para penggunanya di seluruh dunia. Termasuk di Amerika. 

Tak ada satu pihak pun di luar penyelenggara TikTok yang dapat mengkases, bahkan menggunakan data di luar kepentingan TikTok. Terkait aneka pengaruh buruk yang ditimbulkan TikTok, Chew mengakui keadaan yang diprihatinkan para anggota parlemen itu, sebagai keadaan yang rumit. Namun keadaan rumit itu, tak unik dihadapi TikTok semata. Platform lain juga mengalaminya. 

Dari interaksi yang tejadi, secara jitu Chew menyatakan: Amerika yang merupakan negara pengembang aneka platform global: Facebok, Youtube, Instagram, Twitter maupun aneka aplikasi informasi lainnya, semacam Spotify maupun Netflix, juga dapat dituduh sebagai penyebab keadaan buruk yang sama. 

Jika itu dikeluhkan dan harus ditemukan jalan keluarnya, maka keharusan itu juga berlaku bagi platform asal Amerika. Negara Amerika, tak seharusnya menerapkan standar ganda. Demikian yang tersirat.

Interaksi para penyusun regulasi dengan pelaku pengembang teknologi yang cukup menyita perhatian, kembali terjadi pekan lalu. Sam Altman CEO OpenAI, perusahaan yang didirikan bersama Elon Musk dan ada di balik teknologi artificial intelligence (AI) ChatGPT, memberikan pendapatnya di Sidang Parlemen Amerika. 

Laporan tentang interaksi Altman ini  dituliskan James Clayton, 2023, dalam artikelnya yang berjudul ‘Sam Altman: CEO of OpenAI calls for US to regulate artificial intelligence’. Dikemukakan pada artikel itu, Altman mengakui AI dapat memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan mesin cetak saat ditemukan. 

Kekuatannya berpengaruh di seluruh dunia. Keberadaannya mengubah peradaban secara mendalam. Namun demikian, Altman juga mengakui adanya potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya. ‘Saya pikir, jika teknologi ini salah, ini bisa salah. Dan kami ingin bersuara tentang itu. Kami ingin bekerja sama dengan pemerintah untuk mencegah hal itu terjadi’. 

Bahaya-bahaya yang dimaksud CEO OpenAI ini, tak jauh berbeda dengan kekhawatiran yang selama ini banyak beredar. Kekhawatiran digantikannya tenaga kerja manusia secara massal oleh seperangkat mesin berbasis AI. 

Juga pengaruh buruknya pada demokrasi saat AI digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilu, lewat pengiriman berbagai pesan palsu. Ini dengan mudah diproduksi oleh perangkat AI, dengan kesempurnaan yang nyaris tak terbedakan dari keadan yang dimanipulasi. 

Para anggota parlemen, antara lain Senator Richard Blumenthal, menanggapi bahwa masa depan dengan AI, yang makin mewarnai berbagai aspek kehidupan, belum tentu merupakan masa depan yang diinginkan umat manusia. 

Karenanya, momentum perlombaan pengembangan AI hari ini, harus digunakan untuk memposisikan teknologi AI. Dengan cara memaksimalkan hal baik AI, daripada yang buruknya. Kongres punya pilihan sebagaimana saat berhadapan dengan media sosial. Sayangnya momentum saat itu gagal dimanfaatkan. 

Kegagalan momentum yang dimaksud Blumenthal nampaknya terkait dengan penyalahgunaan media sosial, saat digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan Presiden Amerika, tahun 2017. Pemilihan yang mengantarkan Donald Trump sebagai pemenang, namun justru banyak membuat heran masyarakat Amerika maupun dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Cukupkah pengetahuan para penyusun regulasi, memahami teknologi pada berbagai urusannya? Pertanyaan macam ini perlu diajukan dan segera memperoleh jawaban. Sebab pada berbagai perkembangan teknologi yang berlangsung cepat, terdapat nasib warga negara yang digantungkan. 

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait