URtech

Menilik Posisi Produk Pers di Tengah Gempuran Teknologi

Firman Kurniawan S, Selasa, 7 Februari 2023 13.40 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Menilik Posisi Produk Pers di Tengah Gempuran Teknologi
Image: Koran atau surat kabar merupakan salah satu produk jurnalisme yang terancam kemajuan teknologi. (Pixabay)

INI berasal dari pernyataan lama oleh penggagas teori media massa yang tersohor: Denis McQuail. Dalam bukunya yang berjudul ‘Mass Communication Theory’, 1987, teori ini menyebut 5 fungsi media massa.

Ia menyebutnya sebagai sarana informasi, sarana pengawasan sosial, sarana pewarisan nilai-nilai, sarana hiburan dan sarana penggerak masyarakat. Produk pers sebagai bagian media massa, mengikuti fungsi-fungsi ini. Kelima hal yang dikemukakan McQuail itu, diuraikan jauh sebelum teknologi informasi menggempur eksistensi produk budaya ini.

Hari ini, saat teknologi informasi makin jadi realitas peradaban, tekanan pada media massa terasa makin kuat. Juga, sumber penekanannya yang lebih beragam. Namun jika seluruhnya dikonseptualisasikan sebagai 1 kalimat pertanyaan, dapat dimampatkan sebagai: masih relevankan media massa?

Begini gambarannya. Seiring menanjaknya popularitas media digital, peran media massa kian redup. Hubungan media digital dengan media massa berbanding terbalik. Tanpa diorganisasi, tiap orang yang punya akses pada fasilitas internet maupun platform informasi dapat memproduksi dan mendistribusi material ini. Topiknya tentang apapun, di waktu kapan pun. Soal kualitasnya, memang sering jadi masalah. Punya spektrum yang amat lebar, mulai berkualitas tinggi, sampai yang menimbulkan kekacauan informasi.

Istilah ‘citizen journalism’ menandai munculnya produk informasi individu yang bermedia digital, menjangkau khalayak massal. Sarananya blog, website, content aggregator, dan hari ini media sosial. Saat ini media sosial jadi game changer yang paling mengubah eksistensi media massa. Media sosial jadi pengubah permainan, lantaran karakteristiknya: dapat jadi milik tiap orang dengan nyaris tanpa biaya.

Setiap orang di seluruh dunia, langsung dari pusat-pusat peristiwa tanpa perlu upaya signifikan melaporkan aneka peristiwa. Mengunggahnya ke berbagai jenis platform media sosial, real time. Bahkan mengedarkan peristiwa yang belum jelas kepastiannya.

Gempa yang baru dirasakan di sebuah tempat, hadir lewat unggahan Twitter berbentuk tanya: ‘Gempa?’. Berselang sekian detik dari unggahan itu, segera dikonfirmasi oleh lembaga yang punya otoritas, BMKG. Memang ada gempa.

Baca Juga: Cari Cuan Instan

Demikian pula dengan jatuhnya pesawat. Sesaat setelah menara pengawas mengumumkan kehilangan kontak dengan sebuah pesawat, cukup menyebut lokasi terakhir kontak, kepastian hadir. Laporan berbentuk video, visualisasi kepingan-kepingan pesawat yang hancur sudah beredar lewat produksi unggahan media sosial Youtube. Unggahannya lengkap dengan lokasi pasti, peristiwa naas terjadi. Tentu ini memudahkan tim pencari dan penyelamat.

Kecepatan informasi media sosial, sebagai akibatnya, tak pernah mampu disaingi media massa. Juga keragaman informasinya. Jika pemakai sosial media di Indonesia hari ini, yang menurut We Are Social-Hootsuite, 2022, berjumlah 191,4 juta, ini setara dengan 68,9% populasi penduduk Indonesia, memproduksi unggahan bersamaan, maka ada 191,4 juta unggahan peristiwa yang dihasilkan, saat peristiwa berlangsung. Organisasi media sekuat apa pun tak akan sanggup mengimbangi kecepatan maupun keragaman produksi dan distribusi informasi macam ini.

Gempuran macam di atas, menjadikan media massa mengalami guncangan relevansi pertama kalinya. Khalayak yang memerlukan informasi jadi bertanya: mengapa masih menggunakan media massa, jika media sosial dapat menyediakan informasi lebih cepat dan beragam? Juga produksinya yang langsung dari tempat peristiwa? Ini menjamin kedekatan dengan peristiwa. Terjadi eksodus pengguna media massa ke media sosial.

Menyikapi tekanan ini, selain media massa mutlak malih rupa jadi media massa online, juga menempuh aneka taktik lain. Sebut saja, dilakukan kolaborasi resmi dengan akun-akun media sosial, mengutip topik dari akun media sosial, mengulas dari angle yang berbeda trending topic maupun yang viral di media sosial, turut memproduksi unggahan berita di media sosial. Juga, media massa tak jarang terlibat dalam permainan clickbait. Ini jadi gejala luas yang mudah dijumpai. Walaupun tak seluruh media massa demi relevansinya, menjalankan strategi buruk ini.

Gempuran lainnya datang belum lama berselang. Diluncurkannya aplikasi ChatGPT oleh perusahaan OpenAI, bulan November 2022, kian mempertegas hadirnya ancaman pada relevansi manusia di berbagai bidang pekerjaan. Juga pada pekerjaan di bidang media massa. Memang, keperkasaan AI yang membawa ancaman di bidang media massa bukan hal baru. Adanya mesin yang mampu melakukan pekerjaan menulis dengan hasil serupa pekerjaan manusia, bukan ChatGPT yang jadi perangkat pertamanya.

Lewat tulisannya yang berjudul ‘Written Out of The Story: The Robots Capable of Making the News’, Matthew Jenkin, 2016 menguraikan soal penulis artifisial. Wujudnya berupa mesin, yang diberi nama Wordsmith.

Perangkat cerdas yang dikembangkan oleh perusahaan Automated Insights yang kantor pusatnya berbasis di North Carolina ini bekerja dengan cara memilih elemen dari kumpulan data, yang kemudian digunakan untuk menyusun artikel. Produk artikel yang dihasilkan, sangat serupa dengan yang dihasilkan manusia. Wordsmith selain dapat menggunakan bahasa yang emosional, juga mampu melakukan pilihan kata maupun kalimat. Ini membuatnya mudah lebih dimengerti.

Berbagai perusahaan besar telah lama menggunakan Wordsmith. Beberapa di antaranya Gannett, yang menerbitkan USA Today. Juga Yahoo News, yang menggunakan Wordsmith untuk membuat draf teks untuk artikel olahraga, yang dimainkan dalam kompetisi game fiktif, dengan tim pemain virtual.

Sedangkan Associated Press mengumumkan akan menggunakan teknologi sejenis untuk menghasilkan produk media massanya. Dengan cara ini, perusahaan mengaku telah membuat luang waktu bagi jurnalisnya. Ini bermanfaat agar para jurnalis, berkonsentrasi menghasilkan artikel yang lebih ringan. Wordsmith juga tahu cara menyusun laporan tentang pemasaran, aktivitas bisnis, dan hasil keuangan.

Soal ancaman ChatGPT pada kerja media massa, ditulis oleh Michał Kasjanowicz, 2022, lewat tulisannya yang dimuat pada The WarsawPost, dengan judul ‘Why ChatGPT Can be a Threat to Journalists’. Perangkat yang mengundang tanggapan luas dari berbagai bidang ini berpotensi mengancam jurnalis.

Ancamannya bersumber dari kemampuannya menghasilkan teks yang mirip dihasilkan manusia. Lebih tinggi kemampuannya dari Wordsmite, ChatGPT mampu menghasilkan artikel, laporan, maupun konten tertulis lainnya. Seluruhnya dengan kerumitan tinggi, maupun kemendalaman yang sulit dibedakan dari hasil produksi manusia.

Dengan seluruh kemampuan itu, ChatGPT sangat potensial untuk membuat berita palsu. Ini jadi hal yang serius untuk diperhatikan. Produksi berita palsu yang nampak realistis dapat merembes di berbagai media, menghadirkan realitas palsu namun sulit dibedakan kebenarannya dari berita nyata. Sebuah keadaan yang berujung pada kebingungan dan ketakpastian di masyarakat.

Tentu saja, kehadiran ChatGPT yang dapat difungsikan untuk menghasilkan produk media massa secara otomatis, seperti laporan berita dan artikel dapat menyebabkan berkurangnya kebutuhan terhadap jurnalis manusia. Tak relevannya kerja jurnalis manusia, ada di hadapan mata. Juga tentu saja ancaman pada kualitas produk media massa yang disebabkan perbedaan standar, saat diproduksi AI dengan ketika manusia yang ada di balik proses produksinya.

Relevan dengan itu semua, tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional di Indonesia. Biasa dirayakan dengan Presiden yang memberikan sambutan. Tak berlebihan jika pada peringatannya tahun ini, dijadikan sebagai momentum memetakan relevansi produk media massa di tengah gempuran teknologi informasi. Tidak mudah memposisikannya.

Produk media sosial, media massa dan artikel ramuan artificial intelligence, seluruhnya adalah informasi. Manakala informasi dibutuhkan, sesuai fungsinya, untuk memberi kepastian: produk media sosial bersifat cepat dan beragam. Sedangkan artikel produk AI dapat dihasilkan dengan murah, efisien dan jaminan big data yang kian hari kian terakumulasi jumlahnya. Akurasi dan karakternya sangat mampu menghasilkan produk yang lebih baik dari yang dihasilkan manusia. Lalu kekosongan posisi informasi apa yang dapat diisi oleh media massa?

Mungkin jawabannya dapat bersumber dari pertanyaan: ketika kualitas produk media massa tergantung pada pengenalan profesional media massa dengan sumber beritanya, baik sumber berita manusia maupun bukan manusia, dapatkah tuntutan ini dipenuhi oleh media sosial maupun AI? Bukankah ketika produk media sosial maupun ramuan AI tercemar oleh berita palsu, pengenalan profesional dapat memosisikan status informasi?

Artinya, terhadap berita yang diragukan kebenarannya, segera terkonfirmasi manakala jurnalis media massa mengenal betul sumber informasinya. Mungkin produk berciri pengenalan profesional macam ini, yang diharapkan dari media massa sekarang.

Akhirnya, selamat merayakan Hari Pers Nasional.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait